Jakarta (Antara Babel) - Postur rencana Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla ditanggapi beragam. Selain jumlah kementeriannya sama dengan Kabinet Indonesia Bersatu II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, proporsi menteri profesional nonpartai politik dan kader parpol kabinet mendatang juga diperdebatkan.
Dalam jumpa pers di Rumah Transisi, Senin petang (15/9), Jokowi-JK mengumumkan postur kabinet pemerintahan mereka, yaitu terdiri atas 34 kementerian. Sebanyak 18 kementerian akan diisi profesional nonpartai politik dan 16 diisi profesional kader partai politik.
"Sudah final, hanya nama masih ada yang belum sesuai," ujar Jokowi saat itu.
Menurut Jokowi, belum diumumkannya nama-nama jajaran kabinetnya itu karena masih menunggu masukan atau partisipasi publik.
Hal lain yang kemudian hangat dibicarakan publik adalah kabar Jokowi-JK yang akan menghapus Kementerian Agama dan mengganti dengan Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf. Kabar itu juga ditanggapi beragam. Beberapa organisasi kemasyarakatan Islam menolak rencana tersebut.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh Partaonan Daulay menilai rencana penggantian nama Kementerian Agama menjadi Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf oleh Jokowi-JK tidak perlu dan kurang tepat.
"Nama itu menimbulkan kesan persoalan agama hanya berkaitan dengan haji, zakat dan wakaf. Padahal, persoalan agama menyangkut hampir semua dimensi kehidupan, terutama bagaimana membumikan ajaran-ajaran suci agama," katanya.
Saleh mengatakan keberadaan Kementerian Agama merupakan wujud implementasi sila pertama Pancasila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Kementerian Agama juga merupakan wujud pelayanan pemerintah kepada umat beragama.
Walau tidak boleh mencampuri keyakinan agama seseorang, tetapi menurut Saleh negara wajib memfasilitasi pengamalan ajaran agama yang diakui di Indonesia.
"Pembangunan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga rohani. Pembangunan infrastruktur harus diimbangi dengan pembangunan rohani. Kalau kedua hal itu timpang, kesejahteraan rakyat akan sulit diwujudkan," tuturnya.
Saleh menilai, Jokowi-JK tidak perlu mengganti nama Kementerian Agama. Selama ini, keberadaan kementerian tersebut masih dibutuhkan oleh masyarakat. Tinggal bagaimana posisi menteri agama diisi orang-orang terbaik dan berintegritas.
Potensi diskriminasi
Saleh menilai kabar rencana Jokowi-JK mengganti nama Kementerian Agama menjadi Kementerian Haji, Zakat dan Wakaf juga berpotensi menimbulkan diskriminasi bagi umat beragama selain Islam.
"Haji, zakat dan wakaf hanya ada di dalam agama Islam. bagaimana urusan agama-agama lain yang seharusnya juga difasilitasi negara. Apakah mereka tidak merasa dikesampingkan?" katanya.
Saleh mengatakan Kementerian Agama saat ini sudah menfasilitasi seluruh agama yang diakui di Indonesia dengan keberadaan lima direktorat jenderal pembinaan masyarakat, yaitu Ditjen Bimas Islam, Ditjen Bimas Katolik, Ditjen Bimas Kristen, Ditjen Bimas Hindu dan Ditjen Bimas Buddha.
"Kalau nama kementeriannya diubah, ditjen-ditjen itu akan ditempatkan di mana? Apakah bisa di kementerian lain?" tanyanya.
Saleh mengatakan di negara-negara Timur Tengah memang tidak ada kementerian agama, tetapi bernama kementerian haji dan wakaf. Hal itu karena di sana agama Islam lebih dominan.
"Indonesia tidak bisa seperti itu karena di sini banyak umat beragama selain Islam yang juga diakui oleh negara," ujarnya.
Bagian dari sejarah
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Muhammad Sulton Fatoni mengatakan keberadaan Kementerian Agama tidak dapat dipisahkan dari sejarah panjang bangsa Indonesia, tepatnya perebutan ideologi bangsa pascakemerdekaan.
"Sejarah bangsa ini masih mudah ditelusuri dan dibaca, termasuk sejarah keberadaan Kementerian Agama yang sangat berkaitan dengan perdebatan tentang Pancasila, Islam, Nasionalisme, Komunisme, dan Sekulerisme. Saya yakin duet Jokowi-JK tidak akan menghapus Kementerian Agama," katanya.
Di balik tugasnya saat ini, kata Sulton, Kementerian Agama adalah simbol atas substansi kesepakatan anak bangsa dalam menempatkan Pancasila sebagai dasar negara. Kementerian Agama,merupakan jalan tengah antara paham negara agama dengan negara sekuler.
"Saya ingat pernyataan Kiai Wahid Hasyim, salah seorang Pendiri Republik ini, Kementerian Agama pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara," tuturnya.
Penghapusan Kementerian Agama, jika benar dilakukan, dikhawatirkan akan memicu terbukanya problem lama anak bangsa atas perebutan ideologi negara.
"Ingat, sejarah juga mencatat siapa saja yang setuju dan tidak setuju saat Kementerian Agama dibentuk puluhan tahun lalu," kata Sulton.
Mengenai Kementerian Wakaf, Haji, dan Zakat, menurut Sulton hanya akan mendorong terjadinya pendangkalan substansi Kementerian Agama.
"Kementerian Agama itu menyangkut ideologi masyarakat Indonesia, sedangkan Kementerian Wakaf, Haji, dan Zakat tak jauh-jauh dari urusan materi. Selama ini soal materi kan sudah ada yang mengurus," katanya.
Senada dengan Sulton, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengatakan Kementerian Agama sangat dibutuhkan untuk mengurusi semua persoalan yang berkaitan dengan agama di Tanah Air dan menjauhkan dari bentuk negara sekuler.
"Kalau nama kementerian seperti itu, lantas mengurusi pernikahan, pendidikan agama dan lainnya bagaimana? Menurut kami harus tetap namanya Kementerian Agama," kata Guru Besar Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut.
Jokowi membantah
Sementara itu, Jokowi membantah kabar pemerintahannya akan menghapus Kementerian Agama dari kabinet. Menurut dia, kabar tersebut tidak benar.
"Siapa bilang mau dihapus? Itu tidak benar," ujar Jokowi di Balai Kota, Rabu.
Jokowi menyatakan belum ada keputusan untuk menghapus, melebur atau menambah kementerian di dalam kabinetnya. Pembahasan kabinet, kata dia, belum final. Dia menjanjikan akan menyampaikan kepada publik bila pembahasan kabinet sudah selesai.
Di tengah polemik mengenai kabar penghapusan Kementerian Agama, sebenarnya yang lebih penting dikedepankan adalah kemandirian umat masing-masing agama. Pada dasarnya, negara hanyalah fasilitator bagi warga negara untuk menjalankan ibadah dan mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan yang dianut.
Umat Islam misalnya, sebenarnya memiliki kekuatan yang cukup besar bila zakat dan wakaf dikelola dengan baik untuk kemaslahatan umat. Masih banyak potensi bidang tersebut yang belum tergarap dengan maksimal untuk memberdayakan umat Islam.
Kementerian Agama Dilanjutkan Atau Diganti?
Rabu, 17 September 2014 22:20 WIB