Surabaya (Antara Babel) - Jangan dikira antara Mendikbud Anies Baswedan
dengan mantan Mendikbud Mohammad Nuh itu memiliki perbedaan dalam
menyikapi Kurikulum 2013.
Keduanya sepakat bahwa Kurikulum 2013 itu sangat baik, karena
kurikulum itu lebih komprehensif dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya.
Keduanya berpendapat, kurikulum yang ada selama ini hanya
menghasilkan kompetensi kognitif siswa, namun Kurikulum 2013 justru
menghasilkan tiga kompetensi sekaligus yakni kognitif (pengetahuan),
ketrampilan, dan sikap (spiritualitas).
Kurikulum 2013 mengubah proses pembelajaran yang selama ini
berpusat pada guru menjadi berpusat pada siswa (bahkan juga mendorong
proses pembelajaran yang melibatkan orang tua siswa).
Selain itu, kurikulum itu juga mengubah proses pembelajaran yang
selama ini menghasilkan siswa yang pintar secara kognitif dengan
mengandalkan hafalan menjadi siswa yang kreatif dan berkarakter.
Namun, kedua pejabat yang sama-sama peduli dengan dunia pendidikan
itu memiliki perbedaan dalam teknis implementasi di lapangan.
Saat menjabat, Mohammad Nuh menerapkan implementasi Kurikulum 2013
pada 6.221 sekolah percontohan pada tahun ajaran 2013/2014 (April 2013),
dan pada tahun ajaran 2014/2015 langsung diberlakukan untuk seluruh
sekolah (218.000-an sekolah).
Namun, di tengah perjalanan atau saat Kurikulum 2013 berlaku
"setengah jalan" pada tahun ajaran 2014/2015 (seharusnya berakhir April
2015), Mendikbud Anies Baswedan mengeluarkan putusan pada Desember 2014
untuk kembali pada Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Dalam putusan itu, penggagas Indonesia Mengajar itu tidak
menghentikan pemberlakukan Kurikulum 2013, namun membatasi pemberlakuan
pada 6.221 sekolah percontohan, karena siswa dan guru dinilai belum
siap.
"Kurikulum itu hal yang berbeda sama sekali dengan BBM. Kalau BBM
itu sekarang diumumkan naik, maka esoknya sudah dapat langsung
dieksekusi (harga naik)," kata Anies setelah berbicara dalam Leader for
Change Program BEM Unair Surabaya (23/11).
Dalam konteks itu, mantan Rektor Universitas Paramadina Jakarta itu
menghendaki hasil penerapan Kurikulum 2013 pada 6.221 sekolah
percontohan itu dievaluasi terlebih dulu untuk mengetahui perbaikan apa
yang perlu dilakukan untuk tahap berikutnya.
Artinya, Anies Baswedan tidak sepakat bila Kurikulum 2013 langsung
diberlakukan untuk seluruh sekolah pada tahun ajaran berikutnya.
"Ibaratnya, pelaksanaan Kurikulum 2013 itu terlalu prematur," katanya.
Di hadapan 100 peserta "Leader of Change Program 2014" BEM Unair
itu, Anies menyatakan dirinya ingin menciptakan proses pembelajaran yang
menyenangkan dan menghasilkan para pembelajar.
"Pembelajar itu merupakan orang yang mengalami dan bukan sekadar
menjalani. Pembelajar itu selalu belajar dari pengalaman, tidak terpaku
pada program, dan berpikir kreatif, karena itu pendidikan harus mengarah
ke sana," katanya.
Beda Evaluasi
Pandangan di atas membuktikan bahwa Nuh
dan Anies memiliki kesamaan dalam melihat Kurikulum 2013 secara
substansial, yakni pembelajaran yang mencetak pembelajar yang kreatif,
bukan sekadar pintar.
Namun, keduanya memiliki perbedaan dalam implementasi teknis di
lapangan. Anies menghendaki ada evaluasi terlebih dulu pada 6.221
sekolah percontohan untuk akhirnya kurikulum yang bagus itu disebarkan
ke sekolah lain.
Sebaliknya, Nuh menilai pemberlakuan bisa langsung untuk
seluruhnya, karena pihaknya sudah melakukan evaluasi yang hasilnya
memungkinkan ada perbaikan sambil jalan, bahkan kalau kembali ke KTSP
2006 adalah langkah mundur.
"Guru itu lebih siap dengan Kurikulum 2013 daripada KTSP 2006,
karena hasil UKG (uji kompetensi guru) untuk KTSP 2006 itu 43,82 persen
(dalam penguasaan materi), sedangkan hasil UKG untuk Kurikulum 2013
mencapai 70,33," katanya di Surabaya (11/12).
Artinya, kata Guru Besar ITS Surabaya itu, secara akademik,
kesiapan guru untuk kembali pada KTSP 2006 itu patut dipertanyakan,
karena nilai UKG-nya hanya 43,82 persen.
"Apa perlu latihan lagi, padahal nilai UKG untuk Kurikulum 2013
sudah mencapai 70,33 persen, bahkan sensus pada siswa untuk implementasi
Kurikulum 2013 itu juga positif," katanya.
Oleh karena itu, kalau kembali pada Kurikulum 2006 atau KTSP itu
justru mundur, karena secara substansi belum tentu lebih baik, lalu
butuh waktu lagi untuk melatih guru lagi (dengan KTSP) dan bahkan orang
tua harus membeli buku KTSP, padahal buku Kurikulum 2013 itu
digratiskan.
Dengan tegas, Nuh yang juga penggagas Kurikulum 2013 itu menyatakan
KTSP 2006 itu tidak sesuai UU Sisdiknas, karena itu pihaknya merumuskan
Kurikulum 2013.
"Itu pun, KTSP 2006 tidak langsung kami ganti, karena kami ingin
menjaga kesinambungan, lalu kami lakukan evaluasi hingga 2012 sebagai
bahan untuk membenahi kurikulum yang baru nanti (Kurikulum 2013),"
katanya.
Ditemui di Rumah Sakit Islam (RSI) Jemursari Surabaya, Nuh yang
juga Ketua Umum Yayasan RSI Surabaya (Yarsis) itu menjelaskan UU
Sisdiknas mengamanatkan tiga kompetensi pendidikan yakni pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap.
"Tiga kompetensi itu tidak ada dalam KTSP, karena itu kami
merancang kurikulum baru, bahkan Kurikulum 2013 itu juga disesuaikan
dengan amanat dalam UU Sisdiknas tentang konsep kesatuan atau integrasi
dalam pendidikan," katanya.
Bahkan, konsep integratif itu mulai ditiru Malaysia. "Presiden
Obama pun pada tahun 2014 mulai memasukkan konten nonfiksi dari mata
pelajaran IPA, IPS, dan PKN ke dalam mata pelajaran Bahasa. Jadi, kita
sudah sejak 2013, tapi Amerika baru memulai tahun 2014," katanya.
Oleh karena itu, katanya, tiga kompetensi dan sistem tematik
integratif yang diterapkan dalam Kurikulum 2013 itu sudah sesuai UU
Sisdiknas, bahkan sesuai dengan konsep pendidikan yang maju.
"Artinya, kalau bukan konsep pendidikan dengan integrasi tiga
kompetensi itu, maka kita akan tertinggal. Ingat, kompetensi sikap itu
jangan diartikan agama-isasi, tapi pembentukan karakter. Itu cita-cita
UU Sisdiknas dan juga cita-cita Sila 1 Pancasila," katanya.
Jalan Tengah
Dalam kesempatan itu, Nuh membongkar evaluasi
yang sudah dilakukan terhadap KTSP 2006. "Jadi, tidak benar kalau kita
merancang Kurikulum 2013 tanpa melakukan evaluasi terhadap KTSP 2006,
tapi sengaja kita rahasiakan untuk etika," katanya.
Menurut dia, hasil evaluasi mendasar KTSP 2006 adalah
ketidaksesuaian dengan UU Sisdiknas, lalu evaluasi teknis terkait
kesalahan materi, kesalahan ketrampilan, kesalahan metode dan sistem
pembelajaran, dan kesalahan sistem penilaian.
"Kesalahan materi terkait kemampuan nalar dan analisa data yang
lemah pada pelajar Indonesia sesuai hasil survei PISA dan TIMSS, karena
itu kita benahi sistem hafalan menjadi sistem kreatif melalui tematik
integratif," katanya.
Selain itu, materi sejarah untuk SMK tidak ada dalam KTSP 2006,
materi budi pekerti dan karakter juga tidak ada, materi Bahasa Indonesia
hanya dua jam pelajaran, tapi Bahasa Inggris ada empat jam pelajaran
dalam KTSP 2006, dan sebagainya.
Sementara itu, kesalahan dalam ketrampilan adalah menyederhanakan
ketrampilan dengan prakarya, padahal ketrampilan itu juga menyangkut
ketrampilan berpikir.
"Itu terjadi, karena Kurikulum 2013 tidak berpusat pada buku atau
guru, Kurikulum 2013 juga bukan hafalan tapi mendorong berpikir kreatif,
dan Kurikulum 2013 juga mengalihkan kurikulum yang berpusat pada guru
menjadi berpusat pada siswa," katanya.
Apalagi, guru itu lebih siap dengan Kurikulum 2013 daripada KTSP
2006 sesuai hasil UKG (uji kompetensi guru) untuk KTSP 2006 itu 43,82
persen (dalam penguasaan materi), sedangkan hasil UKG untuk Kurikulum
2013 mencapai 70,33.
Agaknya, perbedaan teknis implementasi yang dibesar-besarkan itu
justru tidak bijak, karena persoalan substansi dalam menyikapi Kurikulum
2013 itu tidak ada.
Alangkah indahnya bila beda teknis implementasi yang sama-sama
didasarkan pada evaluasi dengan "mazhab" berbeda itu dipertemukan untuk
menyusun peta jalan perbaikan Kurikulum 2013 secara bertahap yang
semakin cepat.
Tentu, evaluasi itu tidak dilakukan "di tengah jalan" dan juga
tidak "sambil jalan", karena itu perlu "jalan tengah" yang lebih bijak
untuk mewujudkan cita-cita Kurikulum 2013 itu sendiri.
Barangkali, jalan tengah terbaik adalah mendengar respons langsung
dari sekolah, dinas pendidikan, atau lembaga pendidikan swasta yang
merupakan "pelaksana langsung" dari Kurikulum 2013.
Agaknya, cara Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya dalam
menyikapi Kurikulum 2013 atau KTSP 2006 patut diteladani, yakni
membebaskan sekolah untuk memilih Kurikulum 2013 atau Kurikulum 2006
(KTSP), lalu dinas pendidikan akan melakukan pemetaan. "Pemetaan itu
penting untuk kepentingan buku dan pelatihan guru," kata Kepala Dinas
Pendidikan Surabaya Dr M Ikhsan.
Hal itu juga sejalan dengan pandangan Lembaga Pendidikan (LP)
Maarif NU Jawa Timur yang meminta izin diperbolehkan melaksanakan
Kurikulum 2013, karena lembaga yang menaungi 6.752 madrasah se-Jatim itu
sudah melatih 4.756 guru dan menyiapkan buku secara mandiri dengan dana
tidak sedikit.
"Ribuan guru itu kami latih dua kali, yakni pelatihan konten dan
pelatihan sistem penilaian," kata Wakil Ketua PW LP Maarif Jatim, Drs H
Abdullah Sani MPd.
Walhasil, jalan tengah untuk Kurikulum 2013 adalah mengembalikan
polemik terkait perbedaan cara evaluasi dan implementasi itu pada
pilihan sekolah/pelaksana.
Andai jalan tengah itu pun ditepis, tentu patut diduga ada kepentingan di luar pendidikan yang menyertai polemik itu.
Jalan Tengah Untuk Kurikulum 2013
Sabtu, 13 Desember 2014 13:12 WIB
Presiden Obama pun pada tahun 2014 mulai memasukkan konten nonfiksi dari mata pelajaran IPA, IPS, dan PKN ke dalam mata pelajaran Bahasa. Jadi, kita sudah sejak 2013, tapi Amerika baru memulai tahun 2014."