Cilacap (Antara Babel) - Eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus
narkoba yang terdiri atas empat laki-laki dan dua perempuan telah
dilaksanakan secara serempak di dua lokasi berbeda pada Minggu (18/1)
dini hari.
Dalam hal ini, lima terpidana mati yang terdiri atas Namaona Denis
(48) warga negara Malawi, Marco Archer Cardoso Mareira (53) warga negara
Brasil, Daniel Enemua (38) warga negara Nigeria, Ang Kim Soei (62)
warga negara Belanda, dan Rani Andriani atau Melisa Aprilia (38) warga
negara Indonesia dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa
Tengah.
Sementara eksekusi terhadap satu terpidana mati atas nama Tran Thi
Bich Hanh (37) warga negara Vietnam dilaksanakan di Boyolali, Jawa
Tengah.
Pelaksanaan eksekusi mati itu justru menjadikan catatan
tersendiri bagi sejumlah pihak, beberapa di antaranya merupakan anggota
Kepolisan Republik Indonesia.
Salah seorang perwira polisi yang enggan disebutkan namanya
mengritik kebijakan Jaksa Agung H.M. Prasetyo yang menggelar konferensi
pers pada hari Kamis (15/1) guna mengumumkan hari H pelaksanaan eksekusi
yang jatuh pada tanggal 18 Januari 2015.
Menurut dia, apa yang dilakukan Jaksa Agung justru dapat memicu
kerawanan salah satunya gangguan keamanan menjelang pelaksanaan
eksekusi.
"Mereka yang akan dieksekusi itu terlibat kasus narkoba dan tidak
menutup kemungkinan masih punya banyak uang meskipun berada dalam
penjara. Mereka bisa saja membayar orang untuk menggagalkan eksekusi itu
sebelum atau pada hari H karena telah tahu kapan eksekusi akan
dilaksanakan," katanya di Cilacap.
Selain itu, kata dia, koordinasi antar instansi sejak diumumkannya
jadwal eksekusi hingga H-1 pelaksanaan eksekusi juga belum jelas
sehingga pengamanan di Dermaga Wijayapura (tempat penyeberangan menuju
Pulau Nusakambangan, red.) masih berlangsung normal.
"Kalaupun ada sedikit peningkatan, itupun atas inisiatif polisi," katanya.
Peningkatan pengamanan di Dermaga Wijayapura dan sekitarnya baru
terlihat jelas sejak hari Sabtu (17/1), sekitar pukul 11.10 WIB, yang
ditandai dengan kedatangan satu peleton personel Pengendali Massa
Kepolisian Resor Cilacap bersenjata lengkap.
Mereka segera disebar ke sejumlah lokasi di sekitar Dermaga
Wijayapura termasuk pos penjagaan tempat penyeberangan menuju Pulau
Nusakambangan itu.
Selain itu, Satuan Polisi Air Polres Cilacap dan Pangkalan TNI
Angkatan Laut Cilacap menggelar patroli untuk sterilisasi wilayah
perairan sekitar Pulau Nusakambangan khususnya kawasan laguna Segara
Anakan.
Berdasarkan peristiwa eksekusi sebelumnya yang beberapa di
antaranya dilaksanakan di Pulau Nusakambangan, Kejaksaan Agung
mengumumkan waktu eksekusi beberapa jam sebelum pelaksanaan.
Awak media pun hanya bisa menduga-duga hari H pelaksanaan eksekusi
berdasarkan perhitungan tiga hari sejak terpidana mati yang akan
dieksekusi itu menjalani masa isolasi.
Kabar mengenai masuknya terpidana mati ke ruang isolasi itu dari
sumber-sumber yang dapat dipercaya, baik dari kepolisian maupun petugas
lembaga pemasyarakatan (lapas).
Dugaan awak media terkait waktu eksekusi di Nusakambangan jika ada
peningkatan pengamanan dan sterilisasi di sekitar Dermaga Wijayapura,
Cilacap, yang biasanya dilakukan beberapa jam sebelum pelaksanaan.
"Eksekusi kali ini memang lain, jadwalnya sudah diumumkan beberapa
hari sebelum pelaksanaan. Biasanya, baru diketahui beberapa jam sebelum
pelaksanaan," kata salah seorang wartawan media cetak, Wagino.
Wartawan lainnya, Heri Susanto mengatakan bahwa awak media sering
kesulitan akses informasi setiap kali ada eksekusi di Nusakambangan
karena banyak pejabat yang bungkam dengan alasan bukan kewenangannya
untuk memberikan keterangan.
Menurut dia, pejabat-pejabat itu beralasan jika yang berwenang
memberi keterangan adalah Kejaksaan Agung karena Cilacap khususnya
Nusakambangan hanya ketempatan.
Selain itu, kata dia, area peliputan wartawan dibatasi hingga pintu
gerbang Dermaga Wijayapura sehingga awak media hanya bisa menduga-duga
siapa yang baru datang ke tempat itu.
Oleh karena itu, awak media mengandalkan informasi dari
sumber-sumber yang disembunyikan identitasnya maupun rohaniwan
pendamping terpidana mati terkait persiapan hingga pelaksanaan eksekusi.
"Masih mending kalau ada yang bisa dikenali. Kalau tidak ada, kita
hanya bisa menduga-duga saja sehingga di sini (Dermaga Wijayapura, red.)
seharusnya ada juru bicara dari kejaksaan sehingga wartawan tidak salah
dalam membuat berita," kata kontributor salah satu televisi swasta
nasional itu.
Dalam kesempatan terpisah, dosen Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Hibnu Nugroho mengatakan bahwa
konferensi pers yang dilakukan Jaksa Agung H.M. Prasetyo pada hari Kamis
(15/1) guna mengumumkan hari H pelaksanaan eksekusi yang jatuh pada
tanggal 18 Januari 2015 merupakan aspek politik pencitraan.
Menurut dia, pengumuman jadwal eksekusi itu dilakukan karena selama ini gaung Kejaksaan Agung tidak ada sama sekali.
"Eksekusi itu bagian dari menjalankan pidana, tidak perlu
diumumkan. Harusnya malah media yang mengumumkan, bukan negara. Ini kan
negara seolah-olah tampil," kata dia yang pernah mengikuti seleksi calon
hakim agung hingga tahap ketiga pada tahun 2012.
Menurut dia, pengumuman jadwal eksekusi beberapa hari sebelum
pelaksanaan memiliki dampak yang besar terhadap pelaku-pelaku lainnya
sehingga bisa ramai.
Bahkan, kata dia, bandar-bandar narkoba yang akan dieksekusi dan
masih memiliki banyak uang dapat berupaya menggagalkan eksekusi itu
karena mereka telah mengetahui kapan waktu pelaksanaannya.
"Eksekusi kali ini bentuk pencitraan. Eksekusi merupakan bagian
dari sistem peradilan, sehingga saya kira negara tidak perlu
mengumumkan," tegasnya.
Kendati demikian, dia mengatakan bahwa eksekusi terhadap enam
terpidana mati kasus narkoba yang dilaksanakan secara serempak di dua
lokasi berbeda pada Minggu (18/1) dini hari menunjukkan komitmen
pemerintah dalam pemberantasan narkoba.
Dalam tujuan pemidanaan, kata dia, eksekusi mati itu dilakukan sebagai penjeraan.
"Cuma yang harus segera dilakukan adalah percepatan eksekusi mati
karena jangan sampai orang yang sudah diputus lama tidak segera
dieksekusi mati. Masih ada lima puluhan yang menunggu eksekusi mati itu,
kan kasihan," katanya.
Sementara dari sisi masyarakat, kata dia, tertundanya pelaksanaan
eksekusi mati yang terlalu lama dapat menimbulkan penilaian bahwa negara
tidak berani.
Lebih lanjut, Hibnu mengatakan bahwa yang menjadi permasalahan
sekarang adalah terpidana yang menjalani eksekusi mati pada Minggu
(18/1) dini hari hanya bertindak sebagai kurir.
"Belum menyangkut pada bos-bosnya. Itu yang sekiranya harus
dikritik, harus ada skala prioritas terhadap eksekusi mati," katanya.
Ia mengaku prihatin terhadap terpidana mati Rani Andriani alias
Melisa Aprilia yang turut dieksekusi di Nusakambangan pada Minggu (18/1)
dini hari.
Menurut dia, Rani hanyalah kurir dari bandar narkoba bernama
Meirika Franola alias Ola yang juga masih sepupu perempuan asli Cianjur
itu.
Akan tetapi, kata dia, Ola yang juga divonis mati justru mendapat
grasi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2012 sehingga
hukumannya menjadi seumur hidup.
Demikian pula dengan Deni Setia Marhawan yang juga kurir narkoba
dari Ola mendapat grasi pada tahun 2012 sehingga hukuman mati yang harus
dia jalani berubah menjadi seumur hidup.
"Pemerintah harus peka, mana yang diberikan grasi dan mana yang
tidak diberi. Jangan sampai orang tidak tahu, tidak mendapat grasi
tetapi bandarnya malah mendapat grasi," katanya.
Terkait hal itu, dia mengharapkan pelaksanaan eksekusi terhadap
para terpidana mati kasus narkoba berikutnya seperti yang dijanjikan
Jaksa Agung dapat menyentuh pada bandar-bandarnya.
"Yang ditunggu malah bos-bosnya sebagai perusak negara dan generasi
muda. Selain itu, jadwal eksekusi tidak perlu diumumkan," katanya.
Dibalik Pelaksanaan Eksekusi Mati Terpidana Narkoba
Minggu, 18 Januari 2015 12:17 WIB
Belum menyangkut pada bos-bosnya. Itu yang sekiranya harus dikritik, harus ada skala prioritas terhadap eksekusi mati