Jakarta (Antara Babel) - Keluarga petahana dimungkinkan kembali
mengikuti pemilihan kepala daerah setelah Mahkamah Konstitusi
mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Permonan uji materi tersebut diajukan ole Adnan Purichta Ichsan yang merupakan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Permohonan uji materi tersebut terkait ketentuan UU Pilkada yang
melarang hubungan kekerabatan petahana untuk mencalonkan diri dalam
pilkada serentak 2015.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua Hakim
Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan amar putusan MK di Gedung
Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (8 Juli 2015). Pemohon mengajukan uji
materi dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s.
Dalam hal ini Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 7 huruf r beserta
penjelasannya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Begitu pula dengan Pasal 7 huruf s yang kemudian harus dimaknai
bahwa seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan
Daerah, atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, harus mengundurkan
diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU atau KIP
sebagai calon Kepala Daerah.
Mahkamah mengatakan bahwa dengan adanya norma dalam Pasal 7 huruf r
dan Penjelasannya dalam Undang-Undang a quo, memuat norma hukum yang
tidak jelas, bias, dan menimbulkan multi tafsir, karena menimbulkan
ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di
hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.
Pasal 7 huruf r UU nomor 8 tahun 2015 menyebutkan calon kepala
daerah harus tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Pasal
ini lebih dikenal dengan penghapusan politik dinasti.
Pasal 1 angka 6 perubahan pasal 7 huruf r itu berbunyi: Warga negara
Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur,
Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: r.
tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Sedangkan penjelasan pasal huruf r adalah: yang dimaksud dengan
tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah tidak memiliki
hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu)
tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah,
ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah
melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Tentu saja putusan itu tentu disambut baik oleh Adnan Purichta
Ichsan, anak dari Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, yang mengajukan uji
materi tersebut.
Ia mengatakan putusan itu tepat dan adil.
Dengan adanya putusan itu, Adnan yang juga legislator DPRD Sulsel
dua periode itu manyatakan siap untuk kembali maju dalam pemilihan
kepala daerah.
"Saya kembali menegaskan siap bertarung di Pilkada Kabupaten Gowa
dan tidak akan mengecewakan dukungan masyarakat," katanya.
Namun putusan MK tersebut langsung mendapot soratan karena dinilai
akan menurunkan kualitas demokrasi. Selain itu juga akan menimbulkan
kembali politik dinasti yang ingin dikurangi oleh UU Pilkada tersebut.
Anggota Pansus RUU Pilkada Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani memberikan catatan atas putusan MK tersebut.
"Putusan MK yang menggugurkan aturan mengenai pembatasan politik
dinasti menjadi catatan tersendiri khususnya dalam hal membangun
demokrasi yang sehat dan berkemajuan," kata Miryam.
Miryam menekankan, pada awalnya pasal itu dibahas dan dikaji para anggota dewan dengan menguras pikiran dan tenaga.
"Kami di DPR dan di Pansus Pilkada waktu itu menyusun pasal ini
dengan pertimbangan yang sangat mendalam dan menyeluruh, bahkan kami
harus siap diteror oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan pasal ini
dihapuskan," tutur dia.
Pada akhirnya, kata Miryam, pasal itu menjadi sebuah keputusan yang
diambil melalui pansus karena keinginan anggota dewan untuk membangun
demokrasi yang jauh lebih substansial, serta menjadikan kontestasi dalam
pilkada lebih terbuka.
Miryam yang kini duduk di Komisi V DPR RI memandang, selama ini
pilkada cenderung hanya menjadi ruang segelintir orang yang memiliki
akses kuat dalam dunia politik, termasuk petahana dalam rangka
melanggengkan kekuasaan yang dimilikinya.
"Padahal jika kami mau egois maka partai politik tidak akan mau
mengambil risiko ini, namun demi kepentingan bangsa yang lebih besar
akhirnya kami bersepakat untuk membatasi dinasti," ujar dia.
"Mimpi kami untuk membangun demokrasi yang lebih substansial dan
berkualitas ini akhirnya harus dikubur dengan adanya putusan MK ini.
Sudah tentu pihak yang sangat dirugikan dalam masalah ini adalah rakyat
Indonesia, sebab mereka akan kembali kehilangan kesempatan dalam
memunculkan alternatif pemimpin pilihan yang ideal dan sesuai harapan
mereka dalam pilkada akibat adanya dinasti ini," ujar Miryam.
Pengamat politik Ray Rangkuti juga mengkritik putusan itu. "MK
hanya berpatokan pada undang-undang dan tidak mempertimbangkan aspek
sosiologi, antropologi serta kenyataan yang ada di lapangan," ujar Ray.
Padahal, menurut Ray, ketentuan yang dibatalkan oleh MK tersebut
menjadi andalan untuk mencegah petahana menggunakan kekuasaan untuk
kepentingannya sendiri.
Beberapa cara penyelewengan kekuasaan itu seperti mengadakan acara
resmi pemerintah daerah, yang dikerjakan oleh para PNS jajarannya,
kemudian memanfaatkan acara tersebut untuk berkampanye.
"Nah, dalam acara itu petahana bisa memberikan kesempatan anaknya
untuk berbicara. Sudah hampir putus asa mencari cara agar pemerintah
daerah tidak menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya,"
katanya.
Hal ini, lanjut Ray, tidak terjangkau oleh hukum karena acaranya
bersifat resmi, seperti program bayi sehat dan acara resmi lain, namun
dibumbui kampanye oleh petahana.
"Para PNS yang mengorganisir tidak bisa disalahkan karena itu resmi
kegiatan pemerintah dan mereka tidak bertanggung jawab atas jalannya
acara," ujar dia.
Hormati
Namun bagi mantan Ketua MK Mahfud MD putusan MK itu sudah tepat.
"Menurut saya, putusan MK ini sudah sangat tepat bahwa tidak boleh
keluarga pejabat itu dilarang menjadi calon kepala daerah. karena bisa
jadi dia punya kapasitas yang lebih bagus dari yang akan diganti," kata
Mahfud ditemui di Istana Wakil Presiden Jakarta.
Dia menjelaskan dalam Undang-undang Dasar 1945 diatur mengenai hak
setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama dalam hukum
dan pemerintahan.
"Maka tidak boleh ada larangan itu dan MK sudah benar memutuskan
itu. Karena di dalam UUD 1945 itu disebut hak setiap orang, bukan
setiap keluarga," jelasnya.
Menanggapi putusan MK tersebut Wakil Presiden Jusuf Kalla
menghormati putusan tersebut. "Kita menghormati keputusan MK itu, namun
juga masyarakat memilih siapa saja calon itu berdasarkan kemampuan,
bukan karena kekerabatan."
Wapres tidak memberikan opini tertentu terkait putusan tersebut,
namun dia menyatakan bahwa keputusan MK adalah final dan mengikat.
Terkait politik dinasti dan kekhawatiran penyalahgunaan wewenang,
Wapres mengatakan penyalahgunaan wewenang bukan hanya karena saudara
atau kekerabatan, sebab yang bukan kerabat juga banyak yang
menyalahgunakan kewenangan.
"MK itu sudah mengubah undang-undang, kalau begitu ya sudah jalankan saja," kata Wapres.
Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto juga meminta semua pihak
menghormati putusan Mahkamah Konstitusi. "Namun, dengan lembaga yang ada
(MK) harus kita hormati dan juga mengikuti apa yang sudah diputuskan di
dalam peraturan-peraturan maupun undang-undang," katanya.
Ia menjelaskan bahwa MK merupakan lembaga yang berhak memutuskan uji materi terhadap undang-undang.
Keluarga Petahana Boleh Ikuti Pilkada
Kamis, 16 Juli 2015 0:10 WIB