Setelah Ratu Atut Chosiyah jatuh dari "kursi empuknya" sebagai Gubernur Banten akibat ulahnya melakukan korupsi, maka kini giliran dua gubernur lainnya diperiksa oleh pihak berwajib.
Kedua gubernur tersebut, yakni Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho dan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah diperiksa oleh pihak yang berwajib dalam kasus yang lagi-lagi berujung pada hal yang sama yaitu kasus korupsi.
"Diputuskan melalui gelar perkara bahwa JH (Junaidi Hamsyah) sebagai tersangka dalam kasus ini selaku Gubernur Bengkulu," kata Kepala Subdirektorat I Direktorat Direktorat Tindak Korupsi Badan Reserse dan Kriminal Polisi Komisaris Besar Polisi Ade Deriyan di Jakarta, Selasa(14/7).
Kombes Ade menjelaskan Gubernur Bengkulu disangka melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tanun 2001. Ia diduga terlibat dalam kasus pembangunan Rumah Sakit Daerah (RSUD) Mohammad Yunus pada tahun 2011 yang nilainya Rp5,4 miliar.
Ketika mengomentari kasus yang dihadapi anak buahnya itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta semua pihak untuk memegang prinsip azas praduga tak bersalah.
"Saya kira biar yang bersangkutan menjalani pemeriksaan terlebih dahulu," kata Tjahjo Kumolo yang juga merupakan politisi senior sebuah partai politik besar di Tanah Air. Ternyata kasus yang dihadapi Junaidi bukan pertama kalinya yang dihadapi di Bengkulu, karena pada tahun 2008,gubernur Agusrin Nadjamuddin juga tersangkut kasus korupsi.
Selain Junaidi, maka pejabat daerah lainnya yakni Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho tersangku kasus yang sama. Bahkan ia akhirnya sudah diperiksa Oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gatot disangkakan terlibat dalam kasus pemberian uang kepada tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) serta seorang panitera di Medan.
KPK baru-baru ini melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap seorang anak buah pengacara terkenal di Tanah Air, OC Kaligis terhadap tiga hakim dan panitera yakni M Yagari Bhastara Guntur atau Gerry. Saat OTT itu, petugas KPK menemukan uang 5.000 dolar AS atau sekitar Rp195 juta dan uang dolar Singapura bernilai 5000 dolar atau Rp45 juta.
Kemudian KPK menetapkan enam tersangka, masing masing Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro, dua hakim Amir Fauzi dan Dermawan Ginting, panitera Syamsir Yusfan serta orang yang diduga sebagai pemberi suap, Gerry.
Kasus ini mulai terungkap ketika Pemerintah Daerah Provinsi melalui Kepala Biro Keuangan Ahmad Fuad Lubi menggugat kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumut yang menerbitkan surat perintah penyidikan atas kasus dugaan korupsi bantuan sosial tahun 2012,2013 dan 2014 yang nilainya bisa mencapai miliaran rupiah.
Kasus ini ternyata tidak hanya melibatkan para hakim dan terduga pemberi suap tapi juga atasan Gerry tapi juga atasannya yakni pengacara "kelas kakap" OC Kaligis serta istri Gatot yang bernama Evy Susanti. Akibatnya, OC Kaligis harus ditahan, sebuah impian buruk yang mungkin tidak pernah dibayangkan pengacara terkenal ini.
Selama beberapa tahun terakhir ini, sejumlah pejabat daerah telah ditangkap atas dugaan kasus korupsi yang melibatkan bupati, wali kota, hingga anggota dewan perwakilan rakyat daerah atau DPRD yanh hampir semuanya terkait dengan fulus atau korupsi.
Bahkan di tingkat pusat atau di Jakarta, masyarakat pasti tidak bisa lupa terhadap mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan menpora Andi Alifian Mallarangeng, mantan ketua umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum serta mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang saat ditangkap malahan sudah menjadi gubernur Akademi Kepolisian (Akpol) yang harus menghasilkan perwira kepolisian yang bebas dari korupsi.
Selalu yang muncul pada benak masyarakat adalah mengapa korupsi tetap saja bahkan sudah meluas ke berbagai lapisan pejabat padahal lembaga antirasuah KPK sudah beroperasi selama bertahun-tahun? Tidak takutkah atau tidak malukah para koruptor itu terhadap aroma bui dan hukuman sosial dari rakyat di Tanah Air?
Jika pada masa lalu ada lelucon bahwa korupsi dilakukan "di bawah meja" maka kini penyalahgunaan itu juga sekaligus "membawa mejanya".
Gaya hidup
Irjen Joko Susilo dalam pemeriksaan di pengadilan diketahui memiliki beberapa rumah, tanah yang tersebar di berbagai kota, hingga peternakan, bus dan uang yang nilainya mencapai miliaran rupiah. Sedangkan Akil Mochtar selama menjadi ketua MK terbukti menerima suap dari beberapa orang yang kalah di dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada yang kemudian tetap berusaha menjadi bupati atau wali kota.
Bahkan Anas Urbaningrum pernah dengan sesumbar berkata "kalau saya terbukti menerima suap atau uang, maka saya siap digantung di Monas". Anas terbukti secara sah menerima suap dalam rangka pembangunan berbagai proyek yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
Jika merenungkan berbagai kasus korupsi atau penyalahgunaan uang negara, maka masyarakat mungkin hanya bisa berpikir apakah gaji dan honor- honor yang diterima para pejabat negara itu tidak cukup untuk membiayai kehidupan mereka sehari- hari?
Seorang mayor jenderal atau perwira tinggi yang pernah bertugas di Istana Kepresidenan pernah bercerita bahwa uang yang diterimanya setiap bulan bisa mencapai kurang lebih Rp15 juta.
"Uang itu bisa cukup atau juga bisa tidak cukup," kata sang jenderal kepada wartawan. Uang itu harus dipakai untuk membiayai istri dan beberapa anaknya yang kuliah serta di sekolah menengah atas atau SMA.
Jika uang Rp15 juta/bulan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya maka uang itu sudah cukup atau memadai. Namun jika "godaan" yang datang bertubi-tubi itu akhirnya bisa "menggoda iman" maka uang jutaan itu akhirnya menjadi tidak cukup, kata sang jenderal yang kini menjadi seorang politisi.
Jika membandingkan cerita sang perwira tinggi dengan puluhan juta orang miskin di Tanah Air yang masih didera kemiskinan, maka terdapat gambaran bahwa di satu pihak jutaaan orang masih harus membanting tulang setiap detik hanya demi makan dua kali atau tiga kali sehari, maka di lain pihak sudah banyak warga yang tiap bulannya mendapat uang jutaan hingga ratusan juta rupiah setiap harinya.
Kelompok kedua ini juga memiliki rumah atau rumah-rumah yang mewah atau bahkan sangat mewah serta deposito di bank yang juga nilainya sangat "aduhai" atau besar.
Sementara itu kelompok masyarakat lainnya sampai sekarang harus harus mandi keringat hanya untuk mencari uang Rp10.000 hingga Rp20.000 setiap harinya.
Jika kembali ke "curhat" sang jenderal berbintang dua itu, maka kelompok pejabat itu seharusnya tahu diri untuk tidak korupsi karena selain mendapat gaji yang besar maka kehidupan mereka juga dilengkapi oleh berbagai fasilitas mulai dari rumah dinas serta mobil. Namun pertanyaannya adalah kenapa masih juga tergoda untuk mencuri uang rakyat yang dikelola pemerintah.
Setiap harinya warga di Tanah Air disuguhi oleh berbagai iklan atau reklame mulai dari barang yang merupakan kebutuhan sehari- hari seperti sabun mandi, odol, tisu hingga rumah dan mobil mewah. Coba perhatikan iklan- iklan tentang rumah atau apartemen mewah yang umumnya menyebutkan " hanya dengan uang muka atau angsuran Rp10 juta hingga Rp15 juta maka anda sudah bisa memiliki rumah atau apartemen".
Jika para pejabat itu imannya goyah atau runtuh gara- gara iklan atau melihat rekan- rekannya sudah terlebih dahulu memiliki fasilitas yang sangat nikmat itu, maka akhirnya yang terjadi adalah melakukan korupsi terhadap uang negara atau "minta setoran" dari pengusaha untuk memenuhi dompetnya itu. Kasus Akil Mochtar yang memenangkan para tokoh masyarakat untuk menjadi pejabat menjadi bukti bahwa peluang pejabat tinggi untuk mencari uang "tambahan" tidaklah terlalu sulit. Namun ternyata risikonya juga sangat besar.
Memang ucapan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar masyarakat memegang prinsip "azas praduga tak bersalah" harus dipegang memang tak salah. Namun sebaliknya juga rakyat bisa menyaksikan bahwa para pejabat yang diseret oleh KPK hampir semuanya terbukti secara hukum telah menyalahgunakan amanah rakyat.
Karena itu, kembali ke kasus Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Broto dan Gubernur Bengkulu Junaedi Hamsyah, maka masyarakat harus sabar menunggu lanjutan penjelasan KPK tentang tuduhan yang disangkakan terhadap mereka sehingga akhirnya mereka jadi diajukan ke pengadilan atau tidak.
Apabila akhirnya Gatot dan Junaedi tetap diseret ke pengadilan maka rakyat harus sabar menunggu amar atau vonis yang menyatakan mereka bersalah atau tidak. Kalau mereka dinyatakan bersalah tinggal dilihat apa saja hukumannya dan sebaliknya mereka dinyatakan tidak bersalah maka masyarakat perlu menerimanya.
Karena sudah banyak pejabat daerah yang terbukti korupsi dan mungkin ada lagi pejabat yang juga disangkakan melakukan tindak pidana korupsi, maka tentu rakyat sangat berharap agar Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri melakukan berbagai upaya atau mengambil tindakan agar tidak ada lagi gubernur, bupati, wali kota atau anggota DPRD yang diseret "ke meja hijau" sehingga kemudian terpaksa "menginap" di belaik jeruji selama beberapa tahun akibat ulah mereka sendiri.
Presiden Joko Widodo juga harus membuktikan tekad mereka untuk melakukan "revolusi mental" terutama terhadap seluruh jajaran pemerintahan mulai dari yang yerbawah hingga tertinggi bahwa tugas utama mereka adalah melayani rakyat dan bukannya menjadi koruptor.
Memprihatinkan Dua Gubernur Diperiksa "Soal Uang"
Sabtu, 25 Juli 2015 13:35 WIB