Jakarta (Antara Babel) - Kartel adalah kerja sama antara pihak yang memproduksi dan memasarkan barang sejenis dengan tujuan mengurangi persaingan atau meniadakan persaingan.
Pengusaha penggemukan sapi di sekitar Jakarta yang saling bersepakat untuk tidak melepas sapi potong mereka ke rumah potong hewan (RPH) juga bisa dikategorikan melakukan praktik kartel.
Aksi mereka itu berhasil membuat pasokan daging sapi berkurang sehingga harga melonjak.
Tujuan akhirnya kelompok itu adalah mendesak Pemerintah untuk membuka lebih lebar impor sapi bakalan, padahal Pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi impor itu.
Pemerintah ingin memberikan kesempatan peternak lokal untuk berkembang menikmati harga jual sapi yang kompetitif.
Seperti diketahui Pemerintah mengurangi impor sapi bakalan untuk Kuartal III 2015, dari 270.000 ekor menjadi hanya 50.000 ekor, dengan dasar bahwa populasi ternak sapi di Indonesia sudah mendekati swasembada sapi dan kebijakan itu untuk merangsang budi daya ternak sapi.
Polri sudah melakukan penyelidikan di sejumlah tempat penggemukan sapi bakalan yang didatangkan importir dari Australia dan terindikasi sejumlah perusahaan penggemukan sapi (feedloter) menahan sapi mereka tidak masuk RPH.
Presiden RI Joko Widodo juga berang dengan aksi importir sapi yang sengaja mempermainkan pasokan daging sehingga diputuskan kuota 50.000 ekor sapi berikutnya tidak diserahkan kepada importir, tetapi diserahkan kepada Bulog. Bulog akan menyalurkan sapi ke sejumlah rumah potong hewan agar harga daging di pasaran stabil kembali.
Usut Tuntas
Presiden juga memerintahkan kepolisian untuk melakukan penyelidikan kasus tersebut agar importir sapi yang telah lalai mengamankan suplai daging juga dihukum.
"Presiden instruksikan silakan dilakukan penelitian. Kalau memang ada yang melanggar undang-undang, silakan diproses secara hukum karena ada UU Pangan, ada UU Perdagangan," kata Kapolri Jenderal Polisi Badrodin.
Kepolisian Daerah Metro Jaya kemudian bergerak cepat melakukan sidak ke "feedloter" di sejumlah tempat yang sebelumnya direkomendasikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diduga menahan penyaluran sapi potong ke rumah potong hewan.
Kepala Subdit Industri dan Perdagangan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya AKBP Agung Marlianto mengungkap ada 24 tempat penggemukan sapi di wilayah Jabodetabek yang diduga menjalankan praktik kartel sapi.
Polisi menemukan ribuan ekor sapi di dua lokasi penggemukan sapi di Tangerang dan Cileungsi, Kabupaten Bogor, yang tidak salurkan.
Dalam penyelidikanya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Victor Simanjuntak menemukan surat edaran yang dikeluarkan Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI) yang meminta rumah pemotongan hewan mogok massal pada tanggal 8--11 Agustus lalu.
Surat edaran itu juga meminta pemerintah membuat kepastian kebijakan dalam menentukan angka impor tiap tahunnya sehingga ada upaya mengintervensi kebijakan pemerintah.
Pidana yang akan dikenai, kata dia, adalah tindakan penimbunan sapi agar kuota bisa diatur oleh pengusaha dan supaya pemerintah mau menuruti tuntutan "feedloter".
Meski belum ada tersangka, menurut dia, pemilik sapi tersebut bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. "Kalau memang terbukti, ya, bisa saja dikenai Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan. Akan tetapi, itu tentunya bergantung pada hasil pemeriksaan nanti," terangnya.
Dalam Pasal 29 Ayat (1), disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Selanjutnya, pada Pasal 107 UU Perdagangan, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 29 Ayat (1), pelaku akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50 miliar.
Belum Pidana
Namun, sayangnya sudah setengah bulan penyelidikan berjalan, penyidik Badan Reserse dan Kriminal Polri belum menemukan adanya unsur pidana dalam dugaan kasus penimbunan sapi tersebut walaupun unsur meresahkan masyarakat dengan mudah dibuktikan.
Bahkan, tiga orang saksi ahli dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian, yang dimintai pendapat oleh penyidik kepolisian, justru menilai jumlah sapi yang disimpan perusahaan di Tangerang itu belum melebihi ambang batas seperti yang diatur Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Berdasarkan Pasal 11 Perpres itu, tindakan penimbunan didefinisikan sebagai penyimpanan barang kebutuhan pokok atau barang penting dengan waktu paling lama 3 bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
Perusahaan yang disidak kepolisian mengirimkan 175 ekor sapi per hari ke rumah potong hewan sehingga dalam 3 bulan, perusahaan tersebut menyalurkan 15.000 ekor. Jika menimbun sampai 15.000 ekor plus satu, bisa masuk kategori penimbunan. Akan tetapi, karena jumlah yang ditimbun dalam sidak hanya 4.000 ekor, belum masuk kategori penimbunan.
Inilah anehnya ketentuan perpres yang justru bisa membuat pengusaha bisa melakukan penimbunan tetapi terbebas dari jeratan hukum.
Jika waktu penimbunan sudah masuk 3 bulan kurang 1 hari, pengusaha bisa melepas stok sehingga terhindar sanksi hukum. Padahal, dengan melepas stok di tengat waktu itu, pengusaha sudah menikmati harga yang lebih baik dan merugikan konsumen.
Jadi, tidak heran setelah kasus penimbunan sapi potong selesai, kemudian para peternak ayam melakukan modus serupa, yaitu mengurangi pasokan ke rumah potong ayam sehingga harga ayam di sejumlah daerah juga ikut melonjak. Mereka mengetahui ada kelemahan dari sisi hukum bagi pengusaha yang melakukan kartel.
Adanya kasus penahan stok sapi itu menjadi pelajaran berharga bahwa perpres yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo pada tanggal 15 Juni 2015 itu ternyata mempunyai kekurangan karena hanya mengandalkan hitungan waktu penimbunan tanpa melihat dampak yang sudah terjadi, seperti lonjakan harga dan keresahan masyarakat.
Perpres itu justru menekankan pada kewajiban pemerintah mengontrol harga kebutuhan pokok karena melalui perpres ini, pemerintah pusat wajib menjamin stabilitas harga dan pasokan barang kebutuhan pokok dan barang penting.
Barang kebutuhan pokok yang diatur perpres tersebut, antara lain hasil pertanian, seperti beras, kedelai, bahan baku tahu dan tempe, cabai, dan bawang merah. Kemudian, hasil industri, seperti gula, minyak goreng, dan tepung terigu; serta hasil peternakan dan perikanan, misalnya daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar.
Adapun barang penting yang dimaksud dalam perpres itu meliputi benih tanaman pangan, seperti padi, jagung, dan kedelai. Selain itu, juga pupuk, elpiji kemasan 3 kilogram, tripleks, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.
Maklumat Kapolri
Untuk menghindari kasus serupa, Kepala Polri Jenderal Polisi Badrodin Haiti telah mengeluarkan Maklumat Kapolri Nomor MAK/01/VIII/2015 tentang Larangan Melakukan Penimbunan atau Penyimpangan Pangan dan Barang Kebutuhan Pokok.
Maklumat ditujukan kepada para pengusaha guna mencegah adanya penimbunan kebutuhan pokok seperti daging yang terjadi baru-baru ini.
Kapolri meminta semua jajaran di bawahnya mengawasi. Jika ada pelaku usaha yang masih melakukan penimbunan, Polri tidak segan untuk memproses secara hukum.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan berharap maklumat tersebut ditanggapi serius oleh kepala satuan wilayah (kasatwil) seluruh Indonesia, yakni dengan menyelidiki setiap ada informasi soal penimbunan komoditas.
"Kita harap, begitu ada laporan penimbunan, minimal dicek dahulu, baru kalau sudah jelas soal pelanggaran, kami selidiki, kami sidik," kata Anton.
Wakil Ketua KPPU Prof. Dr. Tresna Sumardji menyambut gembira maklumat itu. "Ke depan perlu diperkuat jajaran penyidik kepolisian di bidang ekonomi, khususnya ikut mengamati pergerakan harga bahan kebutuhan masyarakat yang tidak wajar," katanya.
Hal itu mengingat, lanjut dia, relatif banyak pengusaha di Indonesia yang melakukan kartel harga sehingga merugikan masyarakat.
"Kalau kami tidak bisa masuk langsung ke gudang logistik milik pengusaha, tetapi penyidik ekonomi bisa masuk paksa demi penyelidikan aksi-aksi penimbunan barang," katanya.
Ia mengaku pernah kesulitan masuk RPH untuk mencari data berapa ternak yang sudah dipotong.
Keberadaan serse ekonomi itu, menurut dia, penting untuk menjaga stabilitas harga agar tingkat inflasi bisa dikendalikan, apalagi di Indonesia relatif banyak penguasaan barang dari hulu sampai hilir oleh segelintir pengusaha.
"Adanya tim serse ekonomi yang kuat di setiap polda akan bisa mengawasi permainan kartel yang merugikan konsumen," katanya.
Penyidikan Dugaan Kartel Sapi Terbentur Perpres
Selasa, 1 September 2015 23:59 WIB