Jakarta (Antara Babel) - Pengesahan revisi Undang Undang Pemilihan Kepala
Daerah 2 Juni 2016 lalu dianggap sudah mempersempit celah untuk
petahana melakukan kecurangan.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Lukman Edi hal tersebut
di antaranya diatur dengan keharusan cuti bagi petahana selama empat
bulan ketika dirinya menjalankan proses sebagai calon kepala daerah.
Selama ini petahana setelah ditetapkan sebagai calon hanya cuti tiga hari sebelum hari pemilihan.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa ini menuturkan cutinya kepala daerah
tersebut juga disertai pencabutan haknya sebagai petahana seperti
pengawalan dan fasilitas lainnya.
Pemerintah juga nanti menunjuk pelaksana harian ketika yang bersangkutan cuti.
Meski cukup efektif, Lukman mengakui jika aturan ini memang belum
maksimal karena dia berpandangan akan lebih baik jika petahana mundur
ketika ingin mencalonkan kembali sebagai kandidat kepala daerah.
Tapi hal itu tak bisa dilaksanakan karena terbentur Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Idealnya petahana saat menjadi calon kepala daerah harus mundur, karena
menurutnya jabatan PNS lain harus mundur saat menjadi calon kepala
daerah.
Kuasa yang dipegang oleh petahana dapat menimbulkan konflik kepentingan,
karena petahana dapaf mengatur APBD, mengangkat kepala dinas dan
memiliki jaringan sampai ke desa.
Melalui UU Pilkada baru, petahana wajib cuti saat tahap pemilihan kepala
daerah berlangsung, tapi menurut dia sebenarnya banyak pihak yang
menginginkan petahana wajib mundur saat menjadi calon kepala daerah.
Untuk menghindari calon boneka atau politik dinasti bagi petahana yang
tak bisa lagi mencalonkan diri, diakui Lukman sampai saat ini pihaknya
belum punya solusi.
Menciptakan calon boneka sulit diantisipasi, Komisi II DPR RI telah
mengingatkan pemerintah akan kemungikinan adanya calon boneka, tetapi
RUU Pilkada yang telah direvisi dan disahkan pada 2 Juni lalu belum
memiliki jawabannya.
Sementara itu, Heroik Muttaqien Pratama dari Perkumpulan Masyarakat
Untuk Demokrasi menuturkan, petahana memang menjadi paradoks dalam
proses Pilkada.
Dibanding kandidat lain, petahana mengusai sumber daya yang lebih tinggi baik dalam pengetahuan struktur APBD dan PNS.
Tak dapat dipungkiri, saat kampanye menjadi proses yang sulit untuk
memantau petahana apakah melakukan kecurangan atau tidak, seperti
pemanfaatan APBD yang disalurkan menjelang kampanye atau terkait
netralitas birokrasi.
Namun, jika dilihat dari UU sekarang, titik pentingnya ruang persaingan
ini sudah dipetakan dan cenderung adil untuk semua pihak. Selebihnya
tinggal mengawasi proses ke depannya.
Celah-celah itu di UU kita sudah jelas bahwa aparatur sipil TNI dan
Polri harus netral misalnya. Selebihnya proses pengawasan di lapangan
untuk memantau apakah calon-calon itu memlakukan kecurangan atau tidak.
Tapi dalam pelaksanannya tetap harus melibatkan lembaga pengawas di masing-masing instasi.
Heroik mebgatakan tidak bisa hanya mengandalkan Bawaslu atau KPU saja,
pada Pilkada 2015 kita sempat dengar nota kesepahaman penyelenggara
pemilu dengam Kemenpan RB, semoga pada Pilkada 2017 juga bisa dilakukan.
Sementara itu Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Padjadjaran
Lely Arrianie berpendapat semua aturan yang ada saat ini membuat posisi
KPU dan Bawaslu harusnya semakin kuat.
Untuk petahana, UU Pilkada saat ini juga bisa membatasi kemungkinan
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petahana yang hendak kembali maju
baik dari jalur partai maupun perseorangan.
Hal ini menurut dia
membuat proses politik jadi adil. Sepanjang punya kapasitas dukungan
yang ditetapkan siapapun bisa melaju dengan sukses. Verifikasi masif
yang dilakukan penyepenggara pun akan meyulitkan kandidat untuk
meyiasati KTP palsu dan mobilisasi massa.
Sebelunmnya, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan RUU Pilkada
yang telah disetujui menjadi UU disesuaikan dengan keputusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 bahwa anggota DPR, DPD dan DPRD harus
mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon kepala
daerah.
Sebagian besar sepakat bahwa revisi ini disesuaikan dengan putusan MK.
Taufik mengatakan, hal-hal krusial dalam pembahasan UU Pilkada telah
dilalui dan dari pembahasan panjang akhirnya disampaikan ada dua hal
yang menjadi pertimbangan.
Dua hal itu, menurut dia, mengenai presentase partai politik atau
gabungan parpol dan terkait anggota DPR, DPD, DPRD harus mundur atau
tidak ketika maju dalam Pilkada.
Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman menjelaskan hasil yang
dicapai Panitia Kerja Pilkada seperti Komisi II dan Pemerintah
menyepakati jika terpenuhi unsur-unsur memberikan uang atau
materilainnya dikenai pidana penjara dan/atau pidana denda.
Rambe menjelaskan Komisi II dan Pemerintah menyepakati untuk syarat
dukungan pasangan calon dari partai politik/gabungan partai politik
tetap sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari
akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu.
Dia mengatakan terkait syarat untuk pasangan calon perseorangan
Komisi II dan Pemerintah sepakat yakni paling sedikit 6,5 persen dan
paling banyak 10 persen dari daftar pemilih tetap.
Selain itu, menurut dia, Komisi II dan Pemerintah sepakat untuk
mengatur lebih lanjut ketentuan cuti bagi petahana yang mencalonkan diri
dalam pilkada atau cuti diluar tanggungan negara selama masa kampanye
yaitu tiga hari setelah penetapan pasangan calon hingga tiga hari
menjelang pencoblosan.
Sedangkan bagi pejabat Negara yang terlibat dalam kampanye
pemilihan pasangan calon yang diusung, dia mengatakan cukup mengajukan
izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, UU No 08 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang dinilai lemah.
Keberadaan
UU itu dinilai menguntungkan calon petahana yang maju pada Pilkada
serentak tahun lalu dengan tidak diwajibkannya petahana yang hendak
kembali maju di daerahnya untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Beberapa pihak pun menilai kemenangan yang diraih petahana di sejumlah
daerah pada Pilkada 2015 salah satunya akibat lemahnya undang-undang
tersebut.
Dalam Pilkada serentak 2015 lalu, tak dimungkiri, masih
ada petahana yang mencalonkan diri berkedok dari program-program
pemerintah yang dibawanya, sehingga mempermudah sosialisasi di tengah
masyarakat, dan pastinya bertambah dikenal.
Padahal secara logika petahana sudah terlebih dahulu melakukan
sosialisasi selama lima tahun menjabat melalui tugas pokoknya sebagai
kepala daerah.
UU Pilkada Persempit Kecurangan Petahana
Minggu, 12 Juni 2016 18:37 WIB