Perserikatan Bangsa-Bangsa (Antara Babel) - Uni Eropa, Jumat, memuji
perkembangan hak asasi manusia di Myanmar di bawah kepemimpinan Aung San
Suu Kyi dan mengatakan bahwa untuk pertama kali dalam 15 tahun mereka
tidak akan mengajukan resolusi PBB yang mengecam catatan HAM negara
tersebut.
Dalam pidatonya di hadapan Kelompok Partner Myanmar Majelis Umum
PBB, Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Federica Mogherini menyebut
perkembangan yang dibuat Suu Kyi dari tahanan politik ke pemerintah
merupakan "kesaksian kuat bagi perubahan luar biasa yang tengah dialami
Myanmar", lapor Reuters.
"Pemerintah telah mengambil langkah-langkah tegas memperbaiki hak
asasi manusia dan menggiatkan kembali proses perdamaian. Tahanan-tahanan
politik sudah dibebaskan," katanya.
Mogherini mengatakan tindakan-tindakan "juga diambil terhadap mereka
yang memicu kebencian", dan sebuah komisi dibentuk di bawah
kepemimpinan mantan Sekjen PBB Kofi Annan untuk mengatasi kekerasan
antara warga mayoritas Buddha dan Muslim Rohingya di provinsi Rakhine.
Sebagai pengakuan atas perkembangan tersebut, untuk pertama kali
dalam 15 tahun, UE tidak akan mengajukan resolusi HAM untuk Myanmar di
Majelis Umum PBB, katanya.
Kepada Suu Kyi, Mogherini mengatakan: "Limabelas tahun adalah jarak
luar biasa yang sudah dilalui Myanmar, ukuran seberapa banyak negara
Anda sudah berubah."
Mogherini mengatakan Uni Eropa memahami "kompleksitas" situasi di
Rakhine dan mengatakan kepada Suu Kyi: "Saya tahu bahwa Anda bekerja
keras untuk menemukan solusi berkelanjutan bagi kedua masyarakat itu."
Suu Kyi dikritik karena tidak berbuat banyak untuk menangani nasib kaum Muslim Rohingya.
Dalam pidato pertamanya di Majelis Umum sebagai pemimpin nasional,
Rabu, ia membela upaya negaranya untuk menyelesaikan krisis di negaranya
dan meminta "pengertian" serta "kontribusi konstruktif" negara-negara
lain.
Ia mengatakan pemerintah akan bertahan dalam upayanya mencapai
perdamaian di Rakhine dan berdiri tegak melawan kekuatan prasangka dan
intoleransi".
Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power mengatakan dalam sesi yang
sama, komitmen Suu Kyi untuk melawan intoleransi dan janjinya di
Washington pekan lalu bahwa mereka yang berhak akan mendapatkan
kewarganegaraan, adalah sesuatu yang "kuat dan penting".
Meski demikian, ia dan Sekjen PBB Ban Ki-moon mengatakan masalah
nyata masih ada dan keduanya menekankan kembali seruan bagi pemerintah
untuk membolehkan pendirian kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB
dengan mandat penuh.
Meningkatnya kebebasan berbicara sejak militer mundur dari
pemerintahan langsung di Myanmar pada 2011 memungkinkan terlepasnya
sentimen anti-Muslim yang sudah lama tertahan.
Sekitar 125 ribu warga Rohingya masih ditempatkan di kamp-kamp
sementara setelah gelombang kekerasan pada 2012 antara penganut Buddha
dan Muslim menewaskan lebih dari 100 orang.
Rohingya oleh sebagian besar populasi Buddha dilihat sebagai imigran
gelap dari Bangladesh, meskipun banyak yang sudah beberapa generasi
tinggal di Myanmar. Mereka kebanyakan dilucuti haknya untuk memilih
dalam pemilihan umum 2015, yang membawa kemenangan bagi Suu Kyi sebagai
pemimpin de facto.
UE Gugurkan Resolusi HAM Myanmar
Sabtu, 24 September 2016 22:36 WIB