Jakarta (ANTARA News) - Ini lebih soal rasa daripada rasio.
Perasaan lebih berperanan daripada pikiran. Menurut kajian
psikologi, pikiran dan perasaan saling mempengaruhi dan atau melengkapi.
Karena itu, sebagian orang berujar: "Saya rasa". Padahal, maksudnya:
"Saya pikir". Kedua kata secara maknawi sering saling berkelindan.
Berbicara soal agama dan keyakinan serta hal-hal yang bersifat
spiritual, menurut saya, menyoal sesuatu "beyond logic". Di luar atau
melampaui logika atau jangkauan akal (logika manusia biasa yang belum
mengalami pencerahan spiritual). Perasaan, lebih tepatnya, penghayatan,
memegang peranan penting.
Demikian pula ketika membaca buku "Suluk Kidung Kawedar: Jalan
Makrifat Sunan Kalijaga" karya Mas Bambang Wiwoho yang biasa saya
panggil Mas Wie.
Suluk berasal dari kata Arab yang berarti cara, jalan, dan atau
laku untuk mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan yang Maha Kuasa. Dalam
agama Islam, Suluk adalah bagian Tasawuf yang berarti ajaran tentang
tata laku untuk memahami dan mendekatkan diri menuju kepada Allah.
Pelaku Tasawuf disebut sufi.
Suluk yang saya kenal sejak kecil adalah nyanyian oleh dalang
sebelum membuka atau memulai babak (adegan) baru dalam pertunjukan
wayang. Cara menyanyi sang dalang berbeda dengan penyanyi lainnya, yakni
pesinden (penyanyi wanita) dan wiraswara (penyanyi pria), sekalipun
dalam pertunjukan yang sama.
Suluk terdengar lain, menggiring ke sebuah suasana batin
pendengarnya sesuai suasana yang akan ditampilkan dalam pertunjukan:
gembira, sedih, mengibur dan memberi semangat. Suluk berfungsi memimpin,
membuka jalan.
Sama dengan dalang yang juga berfungsi sebagai pemimpin dan
penanggung jawab seluruh pertunjukan dan para pendukung pertunjukan.
Dalam kehidupan sehari-hari dikenal istilah dalang atau "mastermind",
otak, sebuah peristiwa yang sering tidak kelihatan atau tidak mau muncul
alias di belakang layar.
Dalam pertunjukan wayang kulit, dalang duduk di depan layar,
membelakangi penonton yang berada di depan, di halaman luar. Sang dalang
hanya tampak blangkon (tutup kepala)-nya serta punggung dan keris yang
diselipkan dalam sabuknya.
Ia menghadap layar atau kelir (tabir) dan penonton yang duduk di
dalam rumah, biasanya sang tuan rumah yang menanggap, sesepuh, tokoh
yang dihormati dan kerabat dekatnya.
Sang dalang tidak dapat melihat dengan jelas wajah penonton di
depannnya karena terhalang layar atau kelir (tabir atau hijab). Demikian
pula para penonton. Namun tentu dalang dan sang penanggap tempat
duduknya lebih dekat dan lebih mudah berkomunikasi dibanding penonton
umum.
Dalam dunia spiritual, Tuhan sering dilukiskan sebagai dalang,
sedangkan manusia dan makhluk lain ciptannya sebagai wayang.
Kidung sama dengan tembang, nyanyian atau lagu. Tapi, karena didahului
dengan kata suluk, ini lagu tidak sembarang lagu. Ini lagu tentang tata
laku mencapai makrifat, memahami hal-ihwal yang gaib-gaib, misterius dan
bersifat spiritual.
Kidung ini diyakini mengandung tuah atau daya yang membawa
keselamatan bagi yang menyanyikan, mendengarkan, dan bahkan hanya
menyimpannya. Kidung ini mengandung kekuatan magis. Kidung ini diyakini
oleh penggubah dan pengikutnya sebagai mantera tolak bala.
Kawedar berasa dari kata bahasa Jawa. Artinya: tergelar atau
digelar, terbuka atau dibuka agar mudah difahami. Jadi, Suluk Kidung
Kawedar bisa dimaknai sebagai penjelasan tentang cara atau laku
mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui kidung
tembang (dan atau mengidung/ menembang).
Manusia terpilih
Orang yang memberi penjelasan atau juru penerang dalam bahasa Jawa
disebut pamedhar. Karena itu, dalam kosa kata bahasa Jawa ada pamedhar
sabda atau penceramah atau orang yang menyampaikan pidato.
Biasanya, yang berpidato itu orang yang dianggap memiliki
pengetahuan dan kemampuan lebih daripada rata-rata hadirin atau
pendengarnya.
Umumnya, tugas memberikan pidato diserahkan kepada orang yang
usianya sudah tua, sesepuh atau pinisepuh, seorang yang dianggap
memiliki banyak pengetahuan karena pengalaman hidupnya yang lama, dan
atau seorang ahli di bidangnya. Tegasnya, orang yang mumpuni.
Nah, yang medhar (menjelaskan) kidung ini adalah Kanjeng Sunan
Kalijaga, salah seorang dari "Wali Songo", penyebar agama Islam di Pulau
Jawa pada abad ke-15 sampai 16 Masehi. Seorang Wali, biasa disebut
Waliyullah atau Awliya (jamak) adalah wakil Allah.
Seorang wali adalah manusia terpilih (janma pinilih). Yang
memilih Allah sendiri. Manusia pilihan ini umumnya pernah mengalami
beban hidup yang tidak tertahankan oleh orang biasa. Ia tahan ujian
fisik, otak dan mental lewat berbagai macam godaan.
Hal itu dilakoni oleh Sunan Kalijaga (diduga lahir tahun 1430M)
yang bernama kecil Raden Mas Said, putra Adipati Tuban, Wilwatika.
Berdarah biru, tapi pernah menjalani hidup sebagai kecu (begal,
berandal, maling) dengan nama Begal Lokajaya, sebelum berjumpa dengan
Sunan Bonang, waliyullah, yang kemudian menjadi gurunya.
Menurut sejumlah legenda dan atau mitos, Lokajaya disuruh sang
guru menunggui tongkatnya di pinggir kali selama beberapa waktu (tahun),
hingga tongkat itu tumbuh menjadi dhapuran pring (serumpun pohon
bambu). Ia setia menunggui tongkat itu dan sekaligus menjaga kali,
hingga ia mendapat julukan Sunan Kalijaga.
Apa yang dituangkan dalam kidung yang tediri dari 46 pupuh (bait)
itu adalah pengalaman batin (spiritual) ketika beliau menunggu tongkat
dan kali itu. Di situ Lokajaya mendapat pencerahan batin, "spiritual
enlightenment", penglihatan batin.
Ia dikaruniai kemampuan melihat sesuatu yang gaib-gaib, tidak
kasat mata, berkat kasih sayang Allah, yang telah memilihnya. Ia
mencapai makrifatullah, memahami rahasia Allah, Sang Maha Gaib.
Ia sudah merasa mengalami asarira tunggal (beberapa dzat Tuhan
menyatu dalam dirinya) atau Manunggaling Kawula-Gusti, bersatunya hamba
dan Khalik (Sang Pencipta) dalam rasa, bukan seperti menyatunya
benda-benda yang kasat mata.
Bagi manusia terpilih, semuanya telah manunggal menjadi satu
seperti hakikat Allah Yang Tunggal adanya, sekalipun disebut dengan
berbagai nama oleh manusia sesuai tempat, budaya dan keyakinannya.
Bagi Sunan Kalijaga, Suluk, Kidung, Wedaran (ajaran), dan dirinya
telah menjadi satu terliput dalam dzat Allah. "The song, the content,
the composer and the singer are one in God" (Lagu, pesan, komponis dan
penyanyinya adalah satu dalam liputan dzat Tuhan).
Ini tercermin dalam ungkapan salah satu bait "kidung angidung"
(tembang yang menembang). "A singing song" (lagu yang menyanyikan
dirinya sendiri).
Jadi Sunan Kalijaga adalah penggubah dan pelantun, sekaligus isi
lantunan itu sendiri berkat kuasa Allah yang terlibat di dalamnya. Sunan
Kalijaga berfungsi sebagai penafsir dan sekaligus juru penerang apa
yang dialaminya sendiri berkat kehendak Allah. Beliau manusia terpilih.
Demikian pula, Mas Wie, penulis buku Suluk Kawedar Sunan
Kalijaga. Ia menafsirkan apa yang telah ditafsirkan oleh Jeng Sunan Kali
atas apa yang dipahaminya tentang Allah. Mas Wie telah terpilih oleh
Allah sebagai penafsir ajaran Sunan Kalijaga.
Mas Wie, sama dengan Sunan Kali, tapi dengan derajat (maqam)
mungkin berbeda, adalah salah satu dari penafsir Allah, yang tak pernah
bakal bisa ditafsirkan secara sempurna oleh manusia karena Tuhan
bersifat "tan kena kinoyo ngopo" (laisa kamitslihi syaiun) alias Allah
tidak sama dengan sesuatupun atau tak terlukiskan dengan apa pun jua.
Saya yakin, Mas Wie juga pernah mendapat pengalaman batin luar
biasa, yang tak sembarang orang memperolehnya. Kalau ditanya, Mas Wie
tentu tidak akan mau menceritakannya karena itu pantangan, kecuali
sesama murid tunggal guru dan tunggal ilmu (pemahaman atas suatu ajaran)
Sebetulnya, karya Mas Wie sudah lengkap. Setiap pupuh (bait) yang
tertulis dalam bahasa Jawa diikuti terjemahan artinya dalam Bahasa
Indonesia. Rujukan atau referensi pustakanya juga berjibun.
Maklum ia seorang wartawan senior, yang kini berusia 68 tahun.
Rujukan utama adalah Al Quran dan Hadits, buku-buku karya tokoh sufi
tingkat dunia, termasuk Al-Ghazali, dan kitab-kitab karya tokoh Islam
Indonesia terkemuka Prof. Dr. Hamka, mistikus Islam Jawa, terutama Raden
Ngabehi Ronggowarsito.
Bertebaran kutipan dari buku piwulang (ajaran) falsafah Jawa
seperti Wedhatama, Wulangreh dan Centhini. Juga beberapa ajaran yang
disebut Kejawen, Islam Jawa atau Islam "rasa" Jawa perguruan ilmu
kebathinan dan spiritual merujuk atau bersumber dari Suluk Kidung
Kawedar.
Mas Wie mengutip langsung dari buku-buku dan atau yang sudah
tersiar di media on-line. Jadi, sebenarnya buku karyanya ini tidak perlu
kata pengantar lagi. Ibarat nguyahi segara (menggarami lautan).
Tapi, dengan rendah hati ia meminta saya tetap membuat pengantar.
Alasannya, tidak ada sesuatu yang dapat dibilang sudah legkap kalau
berbicara tentang Tuhan. Ibarat daun seluruh jagad sebagai kertas dan
air seluruh samudera sebagai tinta tidak akan cukup untuk mengulas
tentang Allah yang maha segalanya. (Bersambung)
*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin
Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik
Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Dakwah Dengan Pendekatan Budaya ala Sunan Kalijaga (1)
Kamis, 23 Februari 2017 22:24 WIB