Jakarta (Antara Babel) - Sunan Kalijaga melakukan penyebaran Islam dengan
cara yang "up to date", paling mutakhir waktu itu, "nut jaman kelakone"
(menurut semangat zaman), seperti kata Ki Dalang Narto Sabdo (alm) atau
"Zeitgeist", kata orang Jerman.
Njeng Sunan Kali (jaga) memperkenalkan Islam selapis demi selapis
melalui pendekatan budaya dan kearifan lokal (local wisdoms) Jawa yang
waktu itu masih didominasi oleh agama Syiwa-Budha.
Beliau tidak sekaligus memperkenalkan Islam secara frontal,
melainkan dengan memadukan istilah-istilah Islam dengan istilah-istilah
dalam agama yang masih berlaku. Hasilnya, Islam diadopsi orang Jawa
secara damai, tanpa kekerasan dan perang yang memakan korban jiwa dan
harta benda serta trauma.
Banyak teori yang menyatakan mudahnya orang Jawa masuk agama Islam.
Antara lain, karena Islam tidak mengenal kasta, tidak seperti agama
yang mereka anut sebelumnya. Beberapa bentuk seni budaya diadopsi dan
disinergikan dengan seni budaya yang berasal dan bernuansa Arab, tempat
asal Islam.
Beliau menciptakan seni-budaya baru yang menggabungkan keduanya.
Gamelan, tembang dan wayang dipertahankan dan bahkan diperkaya dengan
perangkat dan lakon-lakon baru. Misalnya, lakon Wahyu Jamus Kalimasada
untuk memperkenalkan Kalimat Syahadat.
Budaya, dapat dipahami merupakan serangkaian nilai-nilai yang
menjadi pedoman hidup manusia untuk mempertahankan hidup dan
meningkatkan kualitas hidup menuju kebahagiaan. Ini tidak hanya
menyangkut seni-budaya, tapi segala aspek kehidupan, termasuk
pengobatan, herbal terutama, dan pijat (fisioterafi).
Sunan Kalijaga mempergunakan falsafah "empan papan" atau "local
setting", di mana bumi dipijak, di situ adat dijunjung. Sunan Drajat,
juga seorang wali, yang berdakwah di Lamongan, pantura Jawa Timur,
menyampaikan nasihat agar orang suka tolong menolong dengan idiom-idiom
lokal, bukan Arab.
Berikut adalah nasihatnya: "Menehana payung marang wong kang
kodanan, menehana teken marang wong kang kalunyon, menehana pangan
marang wong kang kaluwen lan menehana sandang marang wong kang kawudan".
Nasihat itu mengandung ajakan: Berilah payung kepada orang yang
kehujanan, berilah tongkat kepada orang yang berjalan di tempat licin,
berilah makan kepada orang yang kelaparan dan berilah pakaian kepada
orang yang telanjang.
Yang banyak hujan dan tanahnya licin kalau kena air adalah Pulau
Jawa, termasuk Lamongan dan sekitranya. Arab Saudi jarang mendapat hujan
dan wilayahnya berupa padang pasir. Jadi, orang jarang mengalami
berjalan di tanah yang licin.
Sunan Drajat tidak langsung menyebut ayat Al-Quran yang mewajibkan
muslim untuk membayar zakat, infaq dan sedekah serta wakaf.
Tawarkan Keselamatan
Dengan piawainya, Njeng Sunan Kali meramu kidungnya dengan pembukaan
yang pas untuk semua orang di setiap jaman, lebih-lebih waktu itu, yakni
keselamatan. Islam sendiri bermakna selamat dan pasrah kepada kehendak
Allah.
Kidung itu dibuka dengan kata-kata yang bermakna mistis, magis
untuk menolak bala: penyakit, bencana dan gangguan makhluk halus.
Guna-guna, tenung, teluh, santet, niat jahat, pencuri, binatang buas,
senjata tajam, kayu dan tanah wingit dan hama penyakit, semuanya
menyingkir, tidak mempan.
Perawan tua dapat segera dapat jodoh dan orang gila dapat sembuh.
Semua musuh menjadi sayang, jatuh cinta kepada yang membaca kidung ini.
Maka tembang itu juga disebut "sarira ayu" (badan sehat segar,
bugar, cantik). Pengidung dikelilingi bidadari, dijaga malaikat, semua
rasul. Semua "manunggal", menyatu dalam dirinya.
Sejumlah nama nabi disebut: Adam sebagai hati, Syits sebagai otak,
Musa sebagai ucapan, Isa sebagai nafas, Yakub sebagai telinga, Yusuf
sebagai rupa, Daud sebagai suara, Sulaiman sebagai kesaktian, Ibrahim
sebagai nyawa, Idris sebagai rambut, Nuh di jantung, Yunus di otot dan
Muhammad (SAW) sebagai mata/penglihatan.
Disebut juga nama para sahabat dan keluarga Muhammad telah menyatu
dalam dirinya. Patimah (Fatimah) putri Nabi Muhammad sebagai sumsum,
Baginda Ngali (Ali) kulit, Abubakar darah, Ngumar (Umar) daging, dan
Ngusman (Usman) sebagai tulangnya.
Penyebutan nama-nama dalam bait 3 sampai 5 itu, masih perlu tafsir
atau penjelasan lebih luas, walau itu mungkin pemahaman atas pengalaman
gaib pribadi yang tidak bisa difahami orang lain, lebih-lebih bagi
banyak orang sekarang. Setiap "salik" (pelaku suluk) mempunyai
pengalaman masing-masing yang unik.
Mungkin, nama-nama mulia itu disebut karena semangat, sifat dan
karomah mereka agar masuk, merasuk dalam diri sang pengidung sebagai
pelindung atau tolak bala, sesuai sikon lokal dan keperluan masyarakat
saat itu, yakni keselamatan.
Penyebutan nama itu mungkin juga dikaitkan dengan ungkapan; "Allah
melihat, mendengar dan berucap dengan mata, telinga dan mulut saya".
Inti maknanya, masuk Islam berarti terjaminnya keselamatan lahir-batin.
Penyebutan nama-nama itu jelas untuk mempermudah cara
memperkenalkan malaikat, para nabi, Muhammad (SAW), keluarga dan empat
sahabatnya dalam penyebaran Islam kepada orang Jawa yang semula beragama
Syiwa-Budha.
Kidung itu diyakini punya banyak kesaktian: mudah cari rezeki,
jodoh, mudah mencari pekerjaan (mengabdi), mau terkena denda bebas dan
yang punya hutang tidak jadi ditagih. Musuh menyingkir, semuannya
takluk. Pokoknya, banyak manfaatnya. Kalau tidak percaya, ya silahkan
membaca sendiri!
Sunan Kali melalui kidung juga memperkenalkan beberapa surat dan
ayat Al-Quran yang dianggap ampuh. Di antaranya surat Al-Ikhlas yang
disebutnya Surat Kulhu, karena dibuka dengan Qulhu, surat An' Aam yang
disebut suratul Ngam Ngam.
Maklum, orang Jawa dulu sulit mengucap bunyi huruf Arab ain.
Sehingga, ada orang Jawa yang namanya Sangidu (dari Sayyidu), Sangit
(dari Sayyid), Fatongah (dari Fathonah). Ayat Kursi juga dikenal luas
ampuh untuk mengusir segala macam godaan.
Kidung itu diyakini begitu ampuh, hingga jika dibaca di laut, air
laut pun mengering (segara asat). Mungkin berlebihan. Tapi, itulah yang
tertulis dan dipercaya banyak orang untuk mencapai keselamatan hidup.
Tapi keampuhan atau kesaktian itu akan mewujud jika yang
menyanyikan kidung itu menjalani laku tertentu, seperti berpuasa "mutih"
(makan nasi putih tanpa garam), berpuasa selama 40 hari dan kidung itu
disenandungkan pada malam hari tatkala sunyi-sepi. Artinya, pelantun
harus menjalani "laku", seperti berpuasa dan mengurangi tidur.
Sunan Kali juga mengenalkan Allah, sebutan Tuhan dalam bahasa Arab,
bahasa yang dipakai Quran. Orang Jawa sebelummya mempunyai beberapa
sebutan untuk Tuhan, seperti Pangeran, Gusti Pangeran, Hyang Widhi Wasa,
Hyang Kang Murbeng Dumadi, Gusti Kang Maha Kuwasa, Hyang Tunggal (nama
dewa dalam pewayangan), Hyang Suksma Kawekas dan setelah Islam masuk,
yang sering digunakan adalah Gusti Allah.
Beberapa sebutan itu dipakai Sunan Kali. Maksud dari berbagai
sebutan nama Tuhan itu adalah sama, yakni Yang Satu, Yang Tunggal, Yang
Maha Esa, seperti disebut dalam Suratul Kulhu. (Bersambung)
*)Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin
Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio
Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Dakwah Dengan Pendekatan Budaya Ala Sunan Kalijaga (2)
Jumat, 24 Februari 2017 22:28 WIB