Jakarta (Antara Babel) - Prinsip-prinsip Islam purba, istilah yang
digunakan dalam buku "Nonviolent Soldier of Islam" karya Eknath
Easwaran, menyebut persaudaraan universal, ketakwaan kepada Tuhan, dan
mengabdi kepada Tuhan dengan cara memelihara seluruh ciptaan-Nya.
Buku itu diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta tahun 2008 dengan
judul "Badshah Khan, Kisah Pejuang Muslim Anti Kekerasan yang
terlupakan". Ia adalah sahabat dan pengikut setia Mahatma Gandhi,
sehingga ada yang menjuluki keduanya sebagai "Dua Gandhi".
Menggubah tembang (dan atau puisi) sebagai alat penyampai
gagasan dalam pendidikan tasawuf, sufisme dan makrifat dilakukan sejak
dahulu kala, sebelum Sunan Kali Jaga lahir (diperkirakan lahir 1430 M).
Berikut beberapa contoh: Bhagavad Gita (bagian Mahabaratha) karya
Resi Vyasa, Minhajul Abidin (Menuju Mukmin Sejati) karya Al Ghazali
(1058-1111M), Mastnawi karya Jalaluddin Rumi (1207-1273M), Gitanjali
karya Rabindranath Tagore, peraih hadiah Nobel bidang sastra pertama
dari Asia tahun 1913 serta penyair pemula, perintis sastra Indonesia
(Nusantara) seperti Nuruddin Araniri dan Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang, guru Sunan Kalijaga juga menggubah tembang "Suluk
Wujil" dan mencipta alat musik gamelan Jawa, yakni bonang.
Tentang penyatuan dengan Tuhan, Kidung Sunan Kali mulai
membahasnya di bait 15 sampai 18. Manunggaling Kawula Gusti adalah hal
yang musykil. Banyak orang yang mencela itu keliru dengan alasan tidak
mungkin hamba bertemu dengan Khalik, Tuhan Sang Maha Pencipta.
Mereka yang pro menjawab, ini bukan pertemuan fisik, tetapi
pertemuan "rasa", sesuatu yang gaib, misterius, mistik, unik dan hanya
bisa dicapai para salik dan manusia terpilih dan hanya dengan ijin Tuhan
belaka.
Soal manunggalnya manusia dengan Tuhan itu, seorang tua pernah
berkata "Allah iku sak jatine ora liya ya Ingsun". Artinya, Allah itu
sejatinya tidak lain Ingsun (Saya).
Konon itu kutipan dari sebuah hadits yang berbunyi "waman arafa
nafsahu faqad 'arafa rabbahum (Siapa yang tahu dirinya, sungguh ia tahu
Tuhannya)".
Ungkapan ini jika diterima harfiah bisa geger. Syeh Siti Jenar,
salah seorang wali, konon dihukum mati karena ucapannya tentang hal itu,
yang menganggap dirinya Allah.
Karena itu, buku "Kunci Swarga" (Miftahul Jannati), melengkapi
ungkapan itu dengan: waman arafa rabbahu faqad jahilla nafsahu.
Artinya, Siapa (yang merasa) tahu Tuhannya, sejatinya ia benar-benar
bodoh dalam ilmu).
Buku karya Ki Brata Kesawa dalam Bahasa Jawa yang terbit tahun
1952 ini mengungkapkan, yang dianggap sebagai Allah oleh orang yang
mengaku tadi hanyalah "bayangan"-Nya.
Buku ini mengibaratkan ada seribu "jembangan" (tempayan dari
tanah liat) berisi air di alun-alun, di masing-masing jembangan ada
"bayangan" matahari. Mataharinya, tetap satu, bukan seribu. Ini ajaran
tentang Tauhid (ke-Maha-Esa-an Tuhan). Agar bisa melihat bayangan
matahari dengan jelas, air harus dijaga tetap bening, tidak keruh, dan
tenang, tidak beriak.
Sunan Kali dalam kidung itu mempergunakan diksi Mami,Wang
(ingwang) dan Ingsun, yang berarti aku atau saya. Ini sesuatu yang
pelik, rumit dan susah, tapi dilukiskan secara indah dengan ungkapan
bertanya tentang sarangnya angin, "galih kangkung" (inti batang
kangkung), mengambil air dengan pikulan yang terbuat dari air, mengambil
api dengan pelita dan batas antara samudera dan langit. Sesuatu yang
sudah "jumbuh" (manunggal).
Dalam cerita wayang kulit, kisah itu terdapat dalam lakon "Dewa
Ruci". Bima menyemplungkan dirinya ke dalam samudra yang bergolak
(lambang nafsu) dan di kedalaman samudera ia menemukan Dewa Ruci,
Tuhannya, yang rupanya persis seperti dirinya.
Walau wujudnya kecil, sepert "anak bajang" sebesar kelingking
Bima, tapi Bima bisa masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci melalui kuping
kirinya dan di dalam diri Dewa Ruci, ia mendapatkan ajaran kesempurnaan
hidup.
Bima telah mencapai makrifat dan katrem (tenggelam) dalam nikmat
Ilahiah yang tidak ada bandingannnya. Ia tidak merasa lapar, haus,
khawatir. Yang ada hanya perasaan tenteram, aman dan damai.
Ia tidak punya keinginan apapun. Ia minta ijin untuk menetap di
dalam diri Dewa Ruci, tapi ditolak karena tugas atau darma hidupnya di
dunia belum selesai, yakni melalukan amar ma'ruf dan nahi mungkar untuk
membinasakan angkara murka yang menjelma dalam wujud Kurawa lewat Perang
Bharatayudha.
Istilahnya Bima harus "tapa ngrame" (bertapa di tempat ramai dengan melalukannya tanpa pamrih.
Untuk mengendalikan hawa nafsu dan menjernihkan serta menenangkan
pikiran, perasaan dan jiwa, Sunan Kalijaga menyarankan sang pencari
Allah berpuasa, menahan hawa nafsu sambil berzikir. Zikirnya berbunyi :
"Ya Hu Dat (Dzat)", yang kemudian berkembang dalam praktek menjadi: "Ya
Hu Allah, Hu Allah, Allahu".
Rumi (1207-1273M) dalam "Fihi ma Fihi" melukiskan dualisme yang
manunggal itu. Dr Wheeler Thackson menerjemahkan "Fihi ma Fihi", yang
berisi ceramah, diskursus and dialog tentang berbagai topik sebagai
"Signs of the Unseen" (Tanda-Tanda Yang Tidak Dapat Dilihat). "In It,
What is In It" (Di dalam, tapi apa yang di dalam).
Orang Jawa memilih ungkapan "Ana ning ora ana, ora ana ning ana"
(Ada, tapi tidak ada, tidak ada, tapi ada). Bingung? Tidak perlu
bingung, coba lakukan mengidung dan atau berzikir dengan penuh perasaan
(penghayatan), Insya Allah, akan terbuka hijab atau tabir itu dengan
bimbingan seorang guru (mursyid), yang sudah mengalami sendiri.
Selalu bersama Tuhan
Zikir dan wirid adalah mengucapkan secara berulang-ulang (reciting)
sebagai sarana untuk mengingat Tuhan. Ada yang berpendapat zikir atau
wirid di dalam hati (batin) dan atau boleh sambil berguman lebih baik
daripada dibaca keras-keras.
Isi zikir dan wirid adalah puji-pujian persembahan kepada
keagungan Tuhan, sekaligus doa. Demikian pula kidung. Di agama Hindu
dikenal ada mantra, dan Mazmur di agama Kristen.
Tujuan semuanya adalah agar kita selalu ingat kepada Tuhan. Orang
Jawa mengatakan eling (sadar, terjaga, waspada) atas kehadiran Tuhan di
sembarang tempat dan waktu, karena Tuhan tidak pernah mengantuk dan
tidur.
Bagi kaum pencari hakikat, sholat (sembahyang) yang terbaik
adalah "sholat daim", yakni sholat sepanjang waktu, di sembarang tempat
dan sedang melakukan apa saja. Apa yang dipikirkan, dikatakan dan
dikerjakan diniatkan sebagai ibadah, menyembah Tuhan dalam pengawasan,
penjagaan, penyelenggaraan dan pemeliharaan Allah.
Apa manfaat Suluk Kidung Kawedar di era modern, teknologi
digital, dan medsos (media sosial) yang serba instan kini? Tentu ada dan
bahkan banyak, di-antaranya memperluas wawasan pemikiran, mengetahui
sejarah bangsa yang kaya, mempelajari strategi penyebaran ilmu atau
sesuatu yang baru, bahkan berbeda dengan yang sebelumnya, secara damai
dengan pendekatan budaya (kearifan) lokal dengan khasanah tak
terbayangkan yang perlu dilestarikan dan dapat "dijual" sebagai obyek
wisata spiritual.
Yang paling pokok, kidung itu menawarkan keselamatan sebagai
sumber kebahagiaan dan kedamaian batin (peace of mind), dan yang saya
maksud dengan wisata spiritual, tentu bukan "klenik", tapi sesuatu yang
bisa diverifikasi secara ilmu pengetahuan modern, terutama medis.
Bentuknya, layanan pengobatan holistis (meneluruh), yang
menggabungkan cara pengobatan medis Barat dan Timur, khususnya
Nusantara, meliputi obat herbal, pijat (fisioterafi), layanan kesehatan
jiwa (psikologi) dalam bentuk kontemplasi dan meditasi dengan mengidung
dan berzikir yang diiringi alunan musik Nusantara yang ritmistis,
kontemplatif dan meditatif.
Gamelan Jawa, hanya dengan beberapa alat, yakni siter, gender dan
gambang, mampu menyajikan situasi kebersamaan, kerukunan dan
keselarasan hidup bersama seluruh alam semesta (hablun min alam). Untuk
gamelan Sunda, mungkin bisa dengan kecapi dan suling.
Untuk jenis musik Nusantara lainnya dapat menyesuaikan. Perlu
keterlibatan etnomusikolog. Untuk Itu, Mas Wie dkk tengah menyusun
Jejaring Macapatan Nusantara, sebab Macapat (membaca empat-empat dengan
bersenandung dan iringan musik/gamelan) terdapat di beberapa wilayah
Nusantara.
Pelayanan pengobatan holistik perlu keterlibatan dokter, ahli
farmasi, psikolog, fisioterafis, budayawan dan ruhaniawan, terutama
"salikien" (para pelaku suluk) lintas agama/keperacayaan. Plus peralatan
uji klinis modern.
Media massa, baik yang konvensional (cetak dan elektronika:
koran, majalah, radio dan televisi) dan media baru (sms, facebook,
youtube, WA, BBM dan beberapa jenis layanan medsos lainnya) perlu
dilibatkan dalam dakwah dengan pendekatan budaya ini karena lebih ampuh
kecepatan dan daya jangkauanya, apalagi kalau di "viral" kan.
Lebih bagus lagi jika para praktisi media menerapkan "Jurnnalisme
Profetik" (kenabian), yang berfungsi memberitahu, mendidik, menghibur,
mengadvokasi, menginspirasi, mencerahkan dan memberdayakan.
Apakah Suluk Kidung Kawedar tidak perlu "purifikasi" (pemurnian),
mengingat sudah berusia lima abad lebih dan ada kesan bernuansa
campuran praktek ritual berbasis budaya Jawa dan Islam? Sebagai orang
yang bukan ahli agama Islam, saya lebih cenderung memakai istilah
"penyempurnaan".
Peminat, pembelajar, dan mungkin pengikut (yang mempraktekkan)
kidung meliputi berbagai pengikut agama dan kepercayaan. Sejumlah "romo"
(pastur), pimpinan agama Katholik melakukan riset mendalam tentang
budaya Jawa.
Diantaranya, Romo J.P. Zoetmulder, yang desertasinya berjudul
"Manunggaling Kawula Gusti", yang sudah dibukukan. Sebelumnya, ia
menulis buku "Kalangwan" (Mempesembahkan yang serba indah).
Pengalaman batin merasa bersatu dengan Tuhan, bagi yang pernah
mencicipinya, sungguh sangat menggairahkan, membahagiakan, dan
mendamaikan, tiada bandingannya dengan kenikmatan duniawi. Serba indah
dan damai.
Rabindranath Tagore dalam salah satu puisinya melukiskan dengan indah kemanunggalan setiap saat dengan Tuhan sbb:
They who are sitting near me, do not know that You are nearer than they are,
They who are speaking with me, do not know that my heart is full with Your unspoken words,
They who are crowding in my path, do not know that I am walking only with You,
And they who love me, their loves bring You into my heart.
Terjemahan bebasnya: Mereka yang duduk di dekat saya tidak tahu bahwa Engkau lebih dekat daripada mereka,
Mereka yang berbicara denganku, tidak tahu bahwa hatiku penuh dengan kata-kata Mu yang tak terucapkan,
Mereka yang berjubel di jalanku, tidak tahu bahwa aku berjalan sendirian bersama Engkau,
Dan, mereka yang mencintaiku, cinta mereka membawa Mu ke dalam hatiku.
Yang dimaksud You atau Engkau di sini adalah Tuhan. Tentu selalu
mengingat Tuhan membuat seseorang selamat dan terjaga dari perbuatan
tercela atau maksiat, seperti korupsi.
Selalu eling memang penting. Tapi, tidak berarti sholat wajib,
lima waktu tidak perlu atau boleh ditinggalkan. Tetap perlu, bahkan
harus. Kitab piwulang (ajaran) Wedhatama sendiri menganjurkan agar
Syariat (terutama sholat wajib, yang disebut sembah raga ) harus tetap
dijalani sebagai tangga pertama, sebelum Tarekat (sembah cipta/kalbu)
dan Hakikat (sembah jiwa) menuju Makrifat (sembah rasa).
Nabi Muhammad SAW, sang sufi agung, tetap menjalankan syariat.
Contoh kongkrit dari manusia biasa, yang terpilih dan masih hidup kini
dan dapat dijadikan mursyid (guru pembimbing) dalam belajar Tasawuf
adalah Prof. Kyai Ali Yafie yang terkenal dengan motto hidupnya BSM
(Bersih, Sederhana, dan Mengabdi). Mas Bambang Wiwoho pernah menuliskan
itu dalam bukunya "Bertasawuf di Zaman Edan".
Rumi yang dikenal sebagai mistikus Islam paling top di dunia
saja, sebagai penganjur cinta saja pernah dikutip sebagai mengatakan:
"Saya cuma debu di jalan Muhammad".
Kanjeng Nabi Muhammad diyakini para pengikutnya sebagai manusia
terpilih, paling mulia sedunia, yang pernah mencapai puncak makrifat
tertinggi melalui peristiwa spiritual paling agung, Isra' Mi'raj
Ada orang Jawa yang menyamakan dan menyebut Isra' Mi raj,
terutama Miraj, dengan laku merogoh suksma (ngrogoh suksma), melakukan
"mati sajroning urip" (mati dalam hidup), masih berbadan wadag, tapi
suksma (nyawa) nya bisa pergi mengembara ke alam gaib.
Nabi Muhammad dikisahkan dalam mi'raj dapat berjumpa Allah. Tapi
karena tugas hidupnya belum selesai, suksmanya diperintahkan Allah untuk
kembali lagi ke dunia untuk mengajak pengikutnya, kaum Muslimin,
melakukan sholat lima waktu. Begitu ceramah yang pernah saya dengar dari
kyai di kampung sekitar 60 tahun lalu.
Imam Al Ghazali menegaskan kaum Muslimin perlu "thaat", disiplin
dalam melaksanakan tata tertib, untuk menyembah Allah, mulai tertib
bangun tidur, wudhu, sholat, berpuasa dan sebagainya sampai tetib dalam
pergaulan.
Itu tertuang dalam salah satu buku Al Ghazali yang diterbitkan
dalam bahasa Indonesia dengan judul "Bimbingan Permulaan Mencapai
Hidayah", karya alih bahasa Hm Asa'ad EH. Jadi, untuk belajar Suluk
Kidung Kawedar karya Sunan Kalijaga juga perlu pembimbing. Wallahu alam.
(Selesai).
*Penulis adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin
Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik
Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Dakwah Sunan Kalijaga: Fenomena Universal (4)
Rabu, 1 Maret 2017 23:30 WIB