Jakarta (Antara Babel) - Kunjungan seorang raja Arab Saudi ke Indonesia
dalam 47 tahun terakhir hanya berlangsung dua setengah bulan sejak
Presiden Joko Widodo mengunjungi Iran, musuh terbesar Saudi di Timur
Tengah.
Di tengah kritik beberapa kalangan di Indonesia yang
mengkhawatirkan kedekatan Iran yang Syiah dengan Indonesia yang Sunni,
kunjungan itu menghadiahi pemerintahan Jokowi serangkaian kesepakatan,
termasuk kerja sama energi.
Sulit menyebut manuver Jokowi di Iran
itu tidak masuk radar pengamatan Saudi, apalagi muhibah diplomatik itu
diadakan ketika pendulum konflik di Irak, Suriah, dan Yaman sedang tidak
menguntungkan posisi Saudi.
Saudi tentu tak menginginkan negara
muslim terbesar di dunia yang hampir seratus persen Sunni dan sekaligus
salah satu aktor penting dunia itu asyik masyuk dengan Iran.
Secara
politik dan ideologis, Saudi memang agak terkepung oleh Iran; agak jauh
di utara melintasi Yordania ada Suriah di bawah rezim Bashar al-Assad
yang Syiah alawiyah, di timur laut ada Irak yang kini rezim mayoritas
Syiahnya mesra dengan Iran dan sukses membalikkan arah konflik, dan
Houthi di Yaman yang berbatasan dengan wilayah selatan Saudi di Provinsi
Timur yang kaya minyak dan berpenduduk sebagian besar Syiah.
Saudi
masih memiliki Turki yang sama-sama Sunni, tetapi secara historis Saudi
tak bisa 100 persen mempercayai Turki, yang sebagaimana Iran, bukan
bangsa Arab dan sama-sama mengincar status aktor penentu di Timur
Tengah. Demikian pula Mesir yang kini berusaha melepas
kesangat-tergantungannya kepada Saudi dengan mendekati Iran dan Turki.
Sementara
itu kemenangan Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat kian
merumitkan posisi Saudi. Trump memang ingin bersekutu dengan Saudi untuk
melawan Iran, namun dia tidak lebih baik dari Barack Obama dalam
menempatkan Saudi pada konteks persaingannya dengan Iran. Mengutip CNBC,
kabar bahwa Saudi menggelontorkan jutaan dolar untuk memenangkan
Hillary Clinton makin membuat Trump curiga kepada Saudi yang disebutnya
telah mengendalikan politisi-politisi AS.
Saudi sendiri tidak
terlalu nyaman dengan AS karena meloloskan UU yang memungkinkan korban
Serangan 11 September 2001 bisa mengajukan kepada pemerintah Saudi. Ini
ditambah oleh satu tangan Trump lainnya berusaha menjabat erat Rusia,
padahal Rusia adalah sekutu dari musuh Saudi, Iran. Rusia juga
merongrong pasar besar energi Saudi, China, yang kini lebih banyak
meminta minyak dari Rusia ketimbang Saudi.
Di tengah kompleksnya
masalah yang dihadapi Saudi itu, tour Jokowi ke Iran dan Timur Tengah
beberapa waktu lalu agaknya telah membantu meyakinkan Saudi untuk
secepatnya mengeksekusi kebijakan "melihat ke timur" yang sudah digagas
oleh anasir-anasir muda Saudi dalam kurang dari dua tahun terakhir ini.
Oleh
karena itu, tak berlebihan jika lawatan Raja Salman bin Abdul Azis ke
Indonesia sebagai salah satu situs tujuan dari kebijakan melihat ke
timur itu, sebagai kemenangan politik Jokowi.
Visi 2030
Baik
pemerintah Indonesia maupun Kerajaan Arab Saudi menyatakan kunjungan
Raja Salman ke Indonesia adalah tindak lanjut dari undangan yang
disampaikan Presiden Jokowi kepada Raja Salman pada 2015.
Namun
momen terjadinya pembalikkan arah konflik di Timur Tengah, kian
agresifnya Iran setelah sanksi internasional dicabut, tidak lebih
baiknya pemerintahan Donald Trump dalam menempatkan posisi Saudi di
Timur Tengah, realitas-realitis global termasuk fakta Saudi tak lagi
menjadi penentu harga minyak dunia, dan keatraktifan Asia tepi barat
Pasifik, adalah faktor-faktor yang juga tak bisa dikesampingkan untuk
menjelaskan kunjungan Raja Salman. Agaknya, faktor dalam negeri Saudi,
bukan eksternal, yang lebih menjadi pendorong Raja Salman melawat ke
Indonesia dan Asia.
Faisal Al-Shammeri, pakar Saudi di
Washington, dalam laman al-Arabiya, bahkan menyebutkan kunjungan Raja
Salman ke Asia adalah ilustrasi dari keinginan Saudi untuk segera
mengimplementasikan Visi 2030 yang digagas Pangeran Mahkota Muhammad bin
Salman, putra Raja Salman yang disebut-sebut raja masa depan dan
penguasa di belakang layar Kerajaan Saudi saat ini.
Visi 2030
adalah rencana Saudi mengurangi ketergantungan kepada minyak dan
diversifikasi ekonomi dalam sektor apa saja, termasuk kesehatan,
pendidikan, infrastruktur, dan pariwisata. Visi ini juga
mengidealisasikan Saudi sebagai pusat investasi dan titik temu
perdagangan serta logistik dunia.
Saudi mencari tempat paling
cocok untuk mewujudkan visi itu dan Asia tepi barat Pasifik terpilih
karena inilah kawasan di mana ekonomi dunia berpusat.
Di kawasan
ini Saudi melihat ruang lapang untuk mencetak pertumbuhan ekonomi dalam
jangka panjang dan menatap era ketika Saudi tak bisa lagi tergantung
kepada minyak.
Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan,
Taiwan, Filipina, Indonesia, Malaysia dan Vietnam yang ada di bagian
barat Pasifik sudah menghimpun potensi pasar luar biasa karena disesaki
oleh 679 juta manusia dan total PDB per tahun 5,78 triliun dolar AS.
Jika digabung dengan Jepang dan China, itu menjadi 30 triliun dolar AS,
plus 2 miliar lebih manusia.
Dua miliar lebih manusia dan PDB 30 triliun dolar AS adalah potensi mahaseksi untuk negara superkaya seperti Saudi.
Apalagi,
pelabuhan modal Saudi di Eropa dan AS terusik oleh risiko-risiko non
ekonomi akibat garis politik nasionalistis oleh naiknya Trump, keluarnya
Inggris dari Uni Eropa dan kecenderungan esktrem kanan mengalahkan para
pendukung internasionalisme perdagangan di negera-negara seperti
diprediksi terjadi di Prancis nanti.
Tak heran jika Raja Salman
kemudian menggelar lawatan hampir sebulan ke Asia karena kawasan ini
adalah fakta yang akan membantu Saudi bertahan dalam skenario era
pascaminyak. Ini juga kawasan yang tepat untuk mengalihkan portofolio
modal dari Barat ke Timur.
Go public Aramco
Salah
satu wujud ambisi Saudi untuk Visi 2030 adalah privatisasi Aramco atau
Saudia Arabian Oil Co, walaupun jumlah saham yang akan ditawarkan ke
publik (go public) hanya 5 persen dari total saham perusahaan minyak terbesar di dunia itu.
Perusahaan
ini bervaluasi sekitar 2 triliun dolar AS, menguasai seperlima cadangan
minyak dunia, dan memberi 90 persen dari total penerimaan negara, namun
dalam beberapa tahun terakhir menghadapi cobaan hebat ketika minyak
serpih AS membanjiri pasar minyak dunia sehingga memukul harga. Itu
ditambah oleh pencabutan sanksi kepada Iran yang membuat negara ini bisa
lagi mengekspor minyak dan ekspansi energi Rusia yang bahkan mendorong
negara ini melancarkan petualangan militer di Suriah demi persaingan
Iran-Qatar dalam menyalurkan gas ke Eropa.
Harga minyak yang
rendah, antara 50-60 dolar AS, belakangan ini telah membuat Saudi
tersengal-sengal karena menggerus pemasukan dan anggaran keuangan,
sampai akhirnya Saudi membayangkan skenario sebuah era yang tidak lagi
tergantung minyak seperti dilukiskan dalam Visi 2030.
Petualangan-petualangan
politik Saudi di dunia --mulai Trans-Kaukasia di Rusia sampai Afrika,
Libya dan Mesir sampai Irak, Suriah dan Yaman, bahkan di Barat dengan
diam-diam memompakan dana guna menyokong rezim pro internasionalisasi
perdagangan-- kian menguras kemampuan keuangan Saudi.
Dalam
kerangka keuangan ini dan demi mewujudkan Visi 2030, Pangeran Muhammad
bin Salman lalu mengusulkan penjualan saham Aramco ke publik yang oleh
para analis modal ditaksir bernilai 100 miliar dolar AS. IPO atau
penawaran saham perdana atau go public 5 persen saham Aramco diperkirakan terjadi paling lambat 2018.
Dana
hasil "go public" Aramco itu kemungkinan dialihkan kepada sebuah
lembaga investasi yang bertindak sebagai lengan bisnis dan investasi
Saudi untuk dibenamkan di berbagai negara dalam mempersiapkan era tanpa
minyak, mulai sektor teknologi informasi dan infrastruktur, sampai
pariwisata.
Tidak heran jika Raja Salman menawarkan kerja sama
investasi dalam bidang pendidikan, infrastruktur, pariwisata, kesehatan,
usaha kecil dan menengah, kepada Indonesia dan Malaysia.
Bahkan
Bali mendapat keistimewaan karena selama lima hari rombongan raja akan
di sini, kendati resminya untuk liburan belaka. Tetapi ingat, di
Maladewa yang sebagaimana Bali menjadi situs pariwisata utama dunia,
uang Saudi telah dibenamkan dalam skala besar-besaran.
Saudi
sendiri tampaknya tak mau tergesa-gesa menarik insentif dari investasi
hasil penjualan 5 persen saham Aramco itu. Mengapa begitu? Karena,
"Jika dana (hasil penjualan saham Aramco) diinvestasikan di luar negeri
dan terlindung dari intervensi politik, maka akan lebih bermanfaat dalam
jangka panjang," kata Carole Nakhle, pakar pada Carnegie Middle East
Center, dalam laman Bloomberg.
Tetapi, seandainya tidak tepat
sasaran, maka dampaknya akan buruk. "Jika saham-saham itu dijual kepada
pemegang saham yang tidak sejalan dengan kebijakan Saudi maka konflik
bisa muncul," sambung Nakhle.
Malaysia, Brunei dan Indonesia yang
sama-sama Sunni, jelas bersahabat dengan Saudi, selain tentu memiliki
kemampuan keuangan yang cukup. Indonesia dan Malaysia bahkan punya
nilai lebih karena memiliki kepakaran dalam bidang energi, lewat
Petronas dan Pertamina. Tak heran dua perusahaan minyak nasional ini
menjadi subjek penting perjanjian dagang dengan Saudi.
Sedangkan
Jepang dan China jelas menjadi bidikan utama Raja Salman. Keduanya
adalah pasar paling atraktif untuk minyak Saudi, sekaligus menghimpun
dana luar biasa besar demi kepentingan IPO Aramco. Dua negara itu juga
memiliki tradisi yang tidak terlaku suka mencampurkan urusan politik
dengan perdagangan dan investasi.
Itulah mungkin alasan Raja Salman memilih mengunjungi Indonesia, Malaysia, Brunei, Jepang dan China.
Negara-negara
ini, seperti prasyarat pembeli saham Aramco yang diungkapkan Nakhle di
atas, adalah calon-calon investor paling aman untuk Aramco yang tak akan
mengusik Aramco ketika ada isu-isu di luar fundamental perusahaan.
Negara-negara ini juga tempat investasi paling nyaman bagi modal Saudi
demi mewujudkan Visi 2030.
Ekonomi yang bertumbuh cepat, penduduk
yang sangat melimpah, dan pemerintahan yang bersahabat, menjadi
pertimbangan Raja Salman memilih Asia ketimbang kawasan lain di dunia.
Dan fakta bahwa HSBC menjadi salah satu dari tiga penjamin emisi saham
IPO Aramco adalah petunjuk Saudi berniat besar menggaet Asia karena HSBC
memiliki koneksi kuat di Asia.
Khusus Malaysia dan Indonesia
di mana Raja Salman menekankan narasi Islam, ada tujuan selain
perdagangan, yakni mengartikulasikan lagi aliansi antiterorisme yang
membidik 34 negara Islam bermayoritas Sunni. Banyak yang berhati-hati
menanggapi inisiatif Saudi ini, termasuk Indonesia dan Malaysia,
terutama karena aliansi ini tak melibatkan negara-negara Syiah sehingga
kerap dianggap sebagai upaya tersembunyi Saudi menetralisir pengaruh
Iran di Timur Tengah dan dunia Islam.
Namun pernyataan singkat
Raja Salman di DPR RI yang tidak menyinggung masalah keamanan regional
dan 11 kesepakatan yang ditandatangani dengan Indonesia, memperlihatkan
bahwa Saudi lebih menekankan aspek ekonomi, perdagangan, teknologi,
riset dan pendidikan dalam merekatkan hubungan dengan Indonesia,
ketimbang militer dan politik serta aspek ideologistis, kecuali
kerjasama antiterorisme.
Perebutan pengaruh
Lawatan
Raja Salman, putra terakhir raja pertama Saudi Abdul Aziz al Saud, ke
Asia adalah juga dipesankan ke dalam negeri Saudi, khususnya keluarga
kerajaan.
Jika Salman yang sudah sepuh itu suatu saat ini
mangkat, kepemimpinan Saudi akan diteruskan oleh generasi baru kerajaan
yang mungkin tidak akan membahagiakan seluruh anggota kerajaan, terutama
karena manuver-manuver Raja Salman yang di antaranya menunjuk
keponakannya, Mohammed bin Nayef sebagai putra mahkota, sebaliknya
memecat adik tirinya Mugrin bin Abdul Aziz dari jabatan serupa segera
setelah Raja Abdullah meninggal dunia pada 2015.
Raja Salman
juga melimpahkan banyak pos kekuasaan kepada putranya yang masih berusia
31 tahun, Pangeran Muhammad bin Salman, mulai dari jabatan deputi
perdana menteri, menteri pertahanan, dewan ekonomi dan pembangunan,
sampai bos Aramco.
Mengutip laman Herald Tribune, 50 tahun lebih
muda dari Raja Salman, pangeran muda ini dibesarkan dan dididik di Arab
Saudi. Kemudaannya menjadi daya tarik bagian besar rakyat Saudi yang
separuhnya berusia di bawah 25 tahun dan tengah gelisah menatap masa
depan negerinya.
Muhammad menangkap kekhawatiran rakyatnya bahwa
keluarga kerajaan telah membelanjakan uang hasil minyak melebihi dari
takarannya, dan untuk inilah dia aktif mendorong akuntabilitas dan
transparansi, mulai dari IPO Aramco.
Dia juga peduli kepada
gejolak yang menimpa negara-negara tetangga Saudi dan berani menghadapi
garis keras Wahabi dengan meyakinkan rakyat bahwa dia mampu
memodernisasi pemikiran mereka.
Namun tetap ada faksi-faksi dalam
tubuh kerajaan yang tidak puas kepada cara Raja Salman melimpahkan
banyak pos kekuasaan kepada Muhammad bin Salman. Salah satu dari 40-an
anak mendiang raja pertama Saudi, Pangeran Talal bin Abdul Aziz yang
disebut pendukung pemisahan agama dari politik seperti berlaku di Barat,
adalah di antara yang tidak senang pada gerak gerik keluarga Salman
dalam mengonsentrasikan kekuasaan.
Oleh karena itu banyak
pengamat memperkirakan jika Raja Salman mangkat, maka proses suksesi
dalam tubuh kerajaan Saudi akan cenderung bergejolak.
Pangeran
Muhammad sendiri dikenal visioner dan berani. Dialah yang mendorong
Saudi intervensi langsung di Yaman, menyatakan Saudi siap mengirim
pasukan darat ke Suriah, dan tentu saja menggagas rencana ambisius, Visi
2030.
Seandainya semua itu gagal diwujudkan, sang pangeran akan
ditekan berbagai faksi dalam keluarga kerajaan dan masyarakat Saudi
yang melihat dia sudah telah terlalu jauh dan terlalu cepat menghimpun
kekuasaan, kata Cristian Coates Ulrichsen, pakar Timur Tengah dari
lembaga think-thank Chatham House di London.
Konflik Yaman
sendiri sudah memasuki tahun kedua di mana belum ada tanda-tanda
keberhasilan koalisi Saudi menyingkirkan Houthi yang didukung Iran. Ini
tentu menjadi catatan kelompok kepentingan di dalam negeri Saudi dan
membuat Raja Salman berpacu dengan waktu guna demi menunjukkan
kompetensinya dalam berkekuasaan.
Dari kerangka itulah kunjungan
ke Asia ini bisa dipahami. Persisnya, mengutip al-Arabiya, lawatan Raja
Salman adalah tentang mengenalkan potensi dinamis dan perdagangan Arab
Saudi serta kestrategisan negeri ini kepada negara-negara Asia demi
mewujudkan Visi 2030 yang krusial bagi keberlangsungan rezim dan Arab
Saudi yang tetap makmur.
Tujuan Raja Salman Melawat Indonesia dan Asia
Kamis, 2 Maret 2017 23:47 WIB