Jakarta (Antara Babel) - Berlatar sebuah desa kecil di Prancis, ada rasa
yang berbeda dalam "Beauty and the Beast" ketika Emma Watson yang
bertransformasi menjadi si cantik Belle membuka pintu.
Kisah
Belle sebenarnya dimulai jauh sebelum itu, seorang pangeran Prancis
tengah mengadakan pesta di kastilnya dan seorang perempuan tua lusuh
datang memberikan hadiah setangkai mawar merah, namun mendapat penolakan
keras dari sang pangeran karena penampilannya.
Perempuan tua
tersebut kemudian bertransformasi menjadi seorang penyihir cantik dan
mengubah sang pangeran menjadi si buruk rupa untuk memberi pelajaran
agar tidak melihat orang hanya dari penampilan.
Kutukan sang
penyihir tersebut telah ada sejak 1991 ketika Walt Disney Pictures
mengangkat dongeng klasik si cantik Belle dan si pangeran buruk rupa
dalam film animasi musikal, yang 26 tahun kemudian bertransformasi
menjadi Emma Watson dan Dan Stevens.
Pertanyaan besar saat Emma
Watson diumumkan memerankan Belle pada Januari 2015 seakan terjawab
setelah Emma yang memerankan Belle melangkahkan kaki keluar rumah.
Kecerdasan perempuan yang lama dikenal sebagai Hermione Granger dalam film seri "Harry Potter" itu seakan memenuhi aura Belle.
Terlebih
ketika para penduduk desa menggambarkan tidak hanya secara visual namun
juga nyanyian bahwa Belle adalah gadis yang berbeda; seorang yang tak
pandai bergaul, kutu buku dan haus akan ilmu.
Emma, yang ditunjuk
sebagai duta besar oleh PBB pada Juli 2014 dan telah banyak melakukan
penyuluhan tentang pentingnya pendidikan untuk perempuan, dengan
mengunjungi Bangladesh dan Zambia misalnya, seolah mengampanyekan hal
tersebut di "Beauty and the Beast."
Relevan dengan kondisi sekarang
Belle
yang pintar kedapatan mengajari seorang anak perempuan membaca buku
yang pada jaman itu dianggap masih sangat tabu, kemudian diusir oleh
sebagian warga yang mayoritas laki-laki.
Hal tersebut masih
sangat relevan dengan keadaan saat ini di mana Emma berjuang menyuarakan
kesetaraan gender, tidak hanya hak untuk mendapat pendidikan tetapi
juga kesempatan berpolitik bagi perempuan, yang belakangan sering dia
utarakan dalam berbagai kesempatan, terakhir World Economic Forum pada
Januari 2015.
Tak hanya isu feminisme, "Beauty and the Beast"
nampaknya peka terhadap keberagaman yang sempat menjadi perdebatan di
ajang bergengsi Academy Awards, bahkan saat ini menjadi isu hangat di
Amerika Serikat.
"Itu (keberagaman) sangat penting. Kami memiliki
pasangan antar ras," ujar sang sutradara Bill Condon dalam wawancara
dengan Fox News, Kamis (16/3).
Peraih Oscar untuk naskah film
adaptasi terbaik dalam "Gods and Monster" itu mem-visualisasikan
pasangan maestro Cadenza sang piano dengan istrinya penyanyi opera
Madame de Garderobe sang lemari pakaian sebagai pasangan antar ras.
Keberagaman
pemain juga terlihat ditransformasikan kepada kepala asisten rumah
tangga Lumiere yang berubah menjadi tempat lilin dan pacarnya Plumette
yang berubah menjadi kemoceng karena kutukan sang penyihir.
Terkait
isu homoseks yang banyak dibicarakan, bahkan menjadi pengganjal
penayangan film tersebut di Malaysia, Condon mengatakan, "Nah,
orang-orang belum melihat filmnya. Mereka harus melihat dilmnya dan
mereka akan mengerti bahwa itu bukan tentang hal itu."
Condon
menggambarkan sosok Le Fou, teman karakter antagonis Gaston, sebagai
sosok yang memuja dan ingin seperti Gaston, namun juga memiliki perasaan
kepada Gaston.
Dalam hal yang tidak berlebih seperti
penggambaran Le Fou terhadap Gaston (Luke Evans), sosok flamboyan
seperti karakter yang dimainkan Josh Gad itu bisa dikatakan dekat dengan
perfilman Indonesia, misalnya Emon di "Catatan si Boy" (1987).
Sementara
itu, penggambaran sosok Beast dan cara sutradara "The Twilight Saga:
Breaking Dawn" itu menghidupkan perabotan rumah tangga dalam kastil
patut diacungi jempol.
Transformasi sinematik terasa halus, sisi gelap dan misterius juga ditampilkan dengan apik, meskipun live-action terasa sedikit hambar dan kurang mendalam saat scene perabotan hadir tanpa sentuhan manusia.
Usaha
Condon untuk menyajikan karya musikal juga perlu diapresiasi dengan
membuat seluruh karakter bernyanyi. Tidak hanya itu, lirik dalam lagu
juga memperkuat karakter para tokoh. Demikian pula para aktris dan aktor
yang berakting, bernyanyi sekaligus menghapal koreografi yang tidak
diragukan lagi kesulitannya.
Secara keseluruhan, penampilan Emma
Watson tidak dipungkiri menjadi magnet luar biasa film reinkarnasi
live-action "Beauty and the Beast" itu. Terlepas dari aktingnya yang
biasa (tidak hebat dari segi tantangan akting), dan entah mengapa aura
Hogwarts sangat terasa, film tersebut menebus penantian para penggemar
princess selama 26 tahun.
Kisah klasik yang dikemas apik dengan
musikal dramatik dan transformasi sinematik yang menarik yang masih
bertali dengan kehidupan masa kini.
"Beauty and the Beast": Transformasi Kisah Klasik Masa Kini
Jumat, 17 Maret 2017 13:56 WIB