Salah satu paradoks agama adalah selain peran vitalnya sebagai sistem
keyakinan yang menyerukan kedamaian dan kasih sayang juga menjadi anasir
pembenar konflik, di mana pun, kapan pun.
Agama hadir di bumi untuk mendamaikan berbagai kepentingan yang
bertabrakan, namun tak jarang agama diselewengkan, dijadikan titik
berangkat untuk mencetuskan konflik di antara kelompok-kelompok yang
berseberangan pandangan.
Konflik yang berlatar agama bukan saja berlangsung secara antaragama
yang berbeda tapi juga secara internal, yang berbeda sekte atau aliran
penafsiran dalam satu agama.
Namun, sesungguhnya konflik yang berlatar agama sering berkelindan
dengan perebutan kuasa di ranah politik, yang tentu saja ujung-ujungnya
adalah perebutan pengaruh atas sumber-sumber ekonomi yang tentu saja tak
diakui secara eksplisit oleh pihak-pihak yang berkonflik.
Tak terlalu keliru pandangan dari para sosiolog yang memahami gejala
sosial lewat pendekatan konflik. Bagi mereka kehidupan sosial tak
pernah sepi dari beragam konflik, entah di ranah keagamaan, politik atau
ekonomi.
Ketika stabilitas politik dijaga dengan bedil dan hukum yang
mengabdi pada penguasa, kelompok-kelompok yang tertindas
mengonsolidasikan diri secara senbunyi-sembunyi.
Mereka pun meletupkan perlawanan setelah melihat gejala
ketidakpuasan terhadap penguasa semakin lama semakin menyeluruh dan
memuncak.
Namun, konflik juga bisa mengambil bentuk antara kekuatan-kekuatan
sosial yang tak berada di tampuk kekuasaan. Konflik horizontal inilah
yang kini mewarnai banyak pertikaian di Tanah Air pasca-Reformasi 1998.
Menurut data Kepolisian Republik Indonesia, konflik horizontal yang
sumbernya berasal dari faktor suku, ras, agama dan antargolongan dalam
kurun 2015-2016 mencapai 1.568 kasus. Sedangkan konflik horizontal yang
melibatkan massa dalam jumlah besar mencapai 1.060 kasus.
Tingginya frekuensi kejadian konflik horizontal ini tentu
menimbulkan tanda tanya bagi publik. Bagaimana penegakkan hukum terhadap
peristiwa yang tak dikehendaki semua pihak itu?
Aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi, selama ini tampak gamang
dalam menjalankan kewenangannya untuk bertindak tegas terhadap massa
yang melakukan perusakan.
Ada kesan aparat di lapangan tak mau mengambil risiko ketika pelaku
kekerasan dalam konflik horizontal itu melibatkan massa dalam jumlah
besar.
Aparat tentu punya pengalaman dan perhitungan yang matang mengapa
mereka lebih memilih berjaga-jaga dan bukannya menangkapi para perusak
yang sedang melampiaskan kemarahan. Dalam banyak konflik horizontal yang
melibatkan kelompok mayoritas dan minoritas, penghancuran terhadap
rumah ibadah, misalnya, yang dilakukan massa dalam jumlah besar tak
diatasi oleh aparat dengan menangkap mereka semua yang terbukti sedang
melakukan aksi destruktif itu.
Dalam praksis demokrasi yang dijalankan dengan ketat, setiap warga
yang melakukan perusakan aset baik milik negara maupun swasta selayaknya
diganjar hukuman. Ketika para perusak itu melakukan aksi mereka, saat
itulah aparat sepantasnya menangkapi mereka.
Keengganan aparat menangkap massa perusak menjadi inspirasi bagi
kelompok lain yang berada dalam situasi konflik horizontal. Tampaknya
aparat perlu memulai mengambil sikap keras dengan menyusun strategi
untuk tak berkompromi dalam mengatasi konflik horizontal yang diwarnai
dengan perusakan massal.
Barangkali yang membuat aparat tak mudah untuk melakukan tindakan
tegas dalam bentuk penangkapan massal ketika terjadi perusakan oleh
massa yang terlibat konflik horizontal adalah sifat dari konflik
horizontal itu sendiri.
Artinya, dalam setiap konflik horizontal yang sumbernya dari masalah
suku, agama, ras dan antargolongan, selalu di belakangnya ada kekuatan
ideologis yang mendukungnya. Kekuatan ideologis itu mewujud pada
kekuatan parpol yang secara tidak terbuka memberikan dukungan,
sedikitnya tidak melakukan pengecaman terhadap kalangan perusak.
Itu terbaca dari beberapa peristiwa konflik horizontal yang berujung
pada perusakan aset dari salah satu kelompok yang bertikai, yang
ternyata tak dikutuk oleh semua parpol yang wakil-wakilnya duduk di
lembaga legislatif.
Konflik yang bersumber dari aspek suku, agama, ras dan antargolongan
yang tak jarang mewujud dalam bentuk pertikaian fisik dan perusakan
aset tampaknya tak bisa dilepaskan dari tigkat pemahaman individual
terhadap esensi demokrasi.
Tak jarang mereka yang berpendidikan tinggi pun menenggang konflik
yang diwarnai perbenturan fisik. Semestinya pertikaian ideologis,
benturan sektarian yang berangkat dari perbedaan tafsir dilakukan cukup
pada tataran verbal alias konflik wacana.
Konflik pemahaman yang berbeda terhadap berbagai perkara idelogis
maupun keimanan perlu dilembagakan di lingkaran tokoh-tokoh dari
kelompok yang bertikai.
Namun, kenyataannya, konflik yang berhenti atau dituntaskan di
tataran wacana itu hingga kini masih merupakan utopia alias impian
belaka.
Agar di masa depan impian ideal itu bisa menjadi kenyataan, salah
satu tugas dunia pendidikan, pemikir, pemimpin di semua komunitas sosial
politik adalah menebarkan keteladanan tentang keutamaan konflik di
tingkat wacana dan penghindaran konflik jasmani.
Pada saat yang bersamaan aparat di lapangan mulai menerapkan
ketegasan dalam menangkap siapa pun, dalam jumlah berapa pun yang
terlibat konflik fisik maupun perusakan aset untuk kemudian diserahkan
ke lembaga peradilan untuk diproses berdasarkan hukum yang berlaku.
Para politisi dari parpol mana pun juga perlu merasa wajib untuk
melontarkan kecaman terhadap pelaku perusakan dalam konflik horizontal.
Dengan demikian, adab berkonflik hanya sebatas wacana bisa dijadikan
kultur dalam penyelesaian konflik berlatar apapun, entah suku, agama,
ras atau antargolongan.
Membangun Adab Dalam Konflik
Senin, 27 Maret 2017 11:15 WIB