Syukur Alhamdullilah, RUU Pemajuan Kebudayaan telah disetujui oleh DPR
RI 27 April 2017 untuk disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy
menegaskan bahwa kebudayaan tidak hanya pada tarian atau tradisi saja,
tetapi juga nilai karakter luhur yang diwariskan turun-temurun hingga
membentuk kepribadian bangsa kita.
Selanjutnya untuk pengembangan kebudayaan akan dilakukan
penyebarluasan, pengkajian, dan peningkatan keberagaman obyek
kebudayaan.
Maka dengan UU Pemajuan Kebudayaan, pemerintah mengajak masyarakat
untuk melakukan pemanfaatan objek kebudayaan untuk membangun karakter,
meningkatkan ketahanan, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan
kedudukan Indonesia dalam hubungan Internasional.
RUU Pemajuan Kebudayaan mengingatkan kita semua bahwa satu di antara
sekian banyak bahaya laten yang sedang dihadapi bangsa Indonesia pada
masa kini dan masa depan adalah imperialisme kebudayaan.
Setelah kaum penjajah menyadari bahwa imperialisme militer sudah
anakronis alias tidak sesuai dengan perubahan zaman pada abad XXI di
planet bumi ini maka diam-diam mereka mulai menggantikan mazhab
imperialisme militer dengan imperialisme kebudayaan.
Dengan menggunakan imperialisme kebudayaan kaum penjajah bisa lebih
leluasa melampiaskan angkara murka nafsu menjajah secara terkesan
beradab meski makna dan tujuannya tetap sama yaitu menguasai bangsa
terjajah demi kepentingan bangsa penjajah.
Imperialisme kebudayaan dapat diejawantahkan menjadi kenyataan tanpa
pertumpahan darah Melalui imperialisme kebudayaan, kaum penjajah bisa
leluasa menjajah di mana pihak yang dijajah tidak melakukan perlawanan
sebab tidak merasa dirinya dijajah.
Ibarat pemerkosaan, pihak yang memperkosa bisa melakukan perkosaan
tanpa perlawanan dari pihak yang diperkosa karena yang diperkosa tidak
merasa diperkosa.
Imperialisme kebudayaan memang terkesan lebih beradab sebab
dilakukan tanpa kekerasan ragawi namun dampaknya tetap sama saja tidak
beradab alias biadab sebab sukma makna tujuannya tetap saja penjajahan.
Bahkan imperialisme kebudayaan tidak kurang atau malah lebih
berbahaya ketimbang imperialisme militer sebab dengan daya anestesikal
alias pembiusannya memang potensial didayagunakan secara alon-alon asal
kelakon, namun terstruktur, sistematis dan masif oleh kaum penjajah
tanpa perlawanan yang berarti dari pihak yang dijajah dalam kondisi
tidak sadar akibat terbius gemerlap kebudayaan asing.
Globalisasi
Pada
hakikatnya apa yang disebut sebagai globalisasi adalah kosmetik kedok
demi mempercantik keburukan sukma angkara murka imperialisme gaya baru
yaitu Imperialisme Kebudayaan.
Selaras dengan wejangan Samuel Huntington di dalam "The Clash of
Civilisations" bahwa jati diri kebudayaan merupakan kubu-kubu utama
ketahanan nasional setiap bangsa yang tidak ingin musnah tenggelam
ditelan gelombang globalisasi. Maka kebudayaan tradisi Nusantara
merupakan kubu-kubu Ketahanan Kebudayaan Indonesia.
Karsa dan karya kebudayaan tradisi Nusantara seperti kebijakan
tempatan, filsafat daerah, bahasa daerah, gamelan, angklung, sasando,
kolintang, bedug, rebab, slendro, pelog, mocopat, geguritan, pantun,
wayang kulit, wayang golek, wayang orang, reog, dangdut, keroncong,
jamu, jamu gendong, penyehat nusantara, batik, keris, kujang, tenun,
primbon, gado-gado, rendang, pecel, sate, soto, coto dan sebagainya.
Semua karsa dan karya itu sesuai beranekaragam kebudayaan
tradisional bangsa Indonesia yang termaha kayaraya di planet bumi,
merupakan barisan laskar TKKNI (Tentara Ketahanan Kebudayaan Nasional
Indonesia) yang senantiasa dan niscaya gigih berjuang maju tak gentar
rawe rawe rantas malang malang putung mempertahankan Kedaulatan
Kebudayaan sebagai benteng terakhir Ketahanan Kebudayaan bangsa, negara
dan rakyat Indonesia dari serbuan angkara murka Imperialisme Kebudayaan.
Kebanggaan nasional
Apabila di persada Nusantara pada
awal abad XX tergelorakan gerakan Kebangkitan Nasional demi melawan
penjajahan maka pada abad XXI bangsa Indonesia menggelorakan semangat
Kebanggaan Nasional demi memperkokoh benteng Kedaulatan Kebudayaan
menghadapai angkara murka Imperialisme Kebudayaan.
Pintu gerbang Kebudayaan Indonesia memang selalu terbuka bagi
kebudayaan asing namun bukan berarti bangsa Indonesia membiarkan
kebudayaan asing menjajah bangsa Indonesia.
Maka bangsa Indonesia tidak akan membiarkan K-POP menaklukkan
dangdut, hiphop mengungguli bedayan, jazz menggusur keroncong, wiener
Schnitzel menggeser rendang, cesar salat menggantikan gado-gado, obat
farmasi, obat herbal, obat tradisional asing memusnahkan jamu, penyehat
tradisional asing menggeser jamu gendong dan penyehat nasional, opera
lebih dibanggakan ketimbang wayang orang, orkes simfoni barat lebih
dipuja ketimbang orkes gamelan, nostradamus lebih dipercaya ketimbang
Jayabaya, San Min Chu I lebih dihayati ketimbang Pancasila.
Pendek kata, bangsa Indonesia tidak akan rela menyia-nyiakan
pengorbanan para pejuang kemerdekaan bangsa Indonesia sehingga pada
tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan
kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia.
Marilah kita gelorakan semangat Kebanggaan Nasional demi menjujung
tinggi Kebudayaan menjadi Panglima Pembangunan Nasional Bangsa Indonesia
dalam maju tak gentar gigih berjuang melawan angkara murka penjajahan
Imperialisme Kebudayaan. MERDEKA !
*) Penulis adalah seniman dan budayawan, penggagas Gerakan Kebanggaan Nasional
Kebanggaan Nasional Melawan Imperialisme Kebudayaan
Sabtu, 6 Mei 2017 17:13 WIB