Jakarta (Antara Babel) - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Moermahadi Soerja
Djanegara mengaku bahwa lembaganya sudah memiliki sistem untuk menjaga
kualitas pemeriksaan, namun ia pun mengakui bahwa sistem itu belum dapat
menghilangkan kolusi.
"Kasus ini pembelajaran buat BPK, kita punya sistem tapi kenapa bisa
dilanggar? Sebagus apapaun sistem kalau ada kolusi ya tidak bisa baru
kita ketahui kalau ada tangkap tangan," kata Moermahadi dalam konferensi
pers di gedung KPK Jakarta, Sabtu.
Moermahadi menyampaikan hal itu terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT)
yang dilakukan terhadap auditor utama BPK Rochmadi Saptogiri dan Irjen
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendes PDTT) Sugito pada Jumat (26/5).
"Kita sudah lakukan qualitiy control dan quality inssurance, tapi
proses yang ditemukan dari kejadian ini, kita tidak tahu seperti apa.
Hingga ada keputusan berkekuatan hukum di persidangan baru kita tahu
kenapa hal terjadi, kalau sekarang kita tidak tahu, kita tunggu dari
penyidikan," tambah Moermahadi.
Suap itu diduga dilakukan oleh Sugito kepada Rochmadi dan timnya
dengan total nilai komitmen Rp240 juta untuk mendapatkan opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap anggaran Kemendes PDTT.
"Saya ingin jelaskan bagaimana proses pemberian opini dalam
kementerian. Jadi kita melakukan pemeriksaan dilakukan tim. Tim terdiri
anggota tim, ketua tim sampai penanggung jawab. Proses yang dilakukan
dibangun dari hasil pemeriksaan, temuan pemeriksaan seperti apa. Dari
temuan apakah temuan mempengaruhi pada opini atas laporan keuangan suatu
kementerian," ungkap Moermahadi.
Kriterianya yang ditentukan BPK dalam pemeriksaan adalah (1) apakah
laporan keuangan sesuai standar akuntasi, (2) apakah ada kecukupan
bukti, (3) apakah sesuai dengan sistem pengendalian internal dan (4)
bagaimana ketaatan terhadap perundang-undangan.
"Dari temuan, tim melihat apakah itu berpengaruh terhadap secara
materil terhadap laporan keuangan atau tidak. Kita biasanya memakai
materiality yang disusun tim sampai proses pembahasan di
penanggungjawab," tutur Moermahadi.
Secara khusus untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun
2016 yang mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), menurut
Moermahadi ditetapkan dalam sidang badan yang dihadiri oleh 9 pimpinan
BPK.
"Dari LKPP keseluruhan dilakukan pembahasan diikuti semua anggota.
Kita bersembilan termasuk semua penanggung jawab dibahas satu per satu
dari kementerian, kenapa dia diberi disclamer atau WDP (Wajar Dengan
Pengecualian). Masing-masing tim mempresentasikan baru kemudian di
sidang badan akan melihat apakah standar akuntasi atau standar audit,"
ucap Moermahadi, menjelaskan.
Meski Kemendes PDTT akhirnya mendapatkan predikat WTP untuk laporan
keuangan tahun 2016 atau meningkat dari tahun 2015 yang mendapatkan
opini WDP, opini WTP untuk anggaran 2016 bisa berubah.
"Apakah opini bisa berubah? Kita akan lihat dari hasilnya tapi
teorinya kalau ada kesalahan proses pemberian auditnya dan tidak
memenuhi standar auditnya bisa saja namanya restatement tapi kita tidak
tahu apakah karena itu, karena yang kita lakukan menurut saya on track
secara keputusan di sidang badan," ujar Moermahadi, menegaskan.
Pada 2014 lalu, laporan keuangan Kemendes PDTT bahkan mendapat opini "Disclaimer" dari BPK.
Dalam kasus ini, Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3
Kemendes Jarot Budi Prabowo diduga memberikan suap Rp240 juta kepada
auditor utama keuangan negara III BPK Rochmadi Saptogiri dan auditor BPK
lain yaitu Ali Sadli agar Kemendes PDTT mendapatkan status WTP. Di
ruangan Rochmadi juga ditemukan uang Rp1,145 miliar dan 3.000 dolar AS
yang belum diketahui kaitannya dengan kasus tersebut.
KPK menetapkan empat orang tersangka yaitu sebagai pemberi suap
adalah Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3 Kemendes Jarot
Budi Prabowo yang disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau
pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 64 kuhp jo
pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak penerima suap adalah auditor utama keuangan
negara III BPK Rochmadi Saptogiri yang merupakan pejabat eselon 1 dan
auditor BPK Ali Sadli.
Keduanya disangkakan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau
pasal 11 atau 5 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat
(1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ketua BPK: Kami Punya Sistem Untuk Menjaga Kualitas
Sabtu, 27 Mei 2017 20:52 WIB