Jakarta (Antara Babel) - Pengasingan diplomatik Qatar oleh sejumlah
negara Arab adalah buah dari politik luar negeri dua kaki yang dimainkan
keluarga At-Thani selama puluhan tahun, terutama sejak Hamad bin
Khalifa mengkudeta ayah kandungnya sendiri pada tahun 1995.
Di satu sisi, Qatar di bawah kepemimpinan Hamad, dan kini
dilanjutkan oleh anaknya Tamim, mencitrakan diri sebagai negara reformis
yang melampaui konservatisme tetangga Arab lainnya. Namun, mereka pada
saat yang bersamaan menyebar ujaran kebencian dan mendanai terorisme
yang mengguncang kawasan.
Dualisme ini membuat empat negara tetangganya Arab Saudi, Mesir,
Uni Emirat Arab, dan Bahrain memutus hubungan diplomatik dengan Doha dua
hari lalu.
Qatar tidak main-main dalam membangun citra reformis. Pada tahun
2003, Hamad menggelar referendum konstitusi untuk pertama kalinya sejak
merdeka dari Inggris.
Di bawah kepemimpinan sang Emir ini, perempuan mendapatkan hak untuk
memilih meski hanya untuk dewan kota yang tidak punya kewenangan
eksekutif.
Mereka juga berupaya menjadi negara modern untuk menghindari
ketergantungan pada minyak, dengan fokus pada sektor pariwisata dan
perbankan.
Qatar punya pencapaian besar dalam bidang pariwisata dengan terpilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Namun proyek pencitraan paling ambisius dari Doha tentu saja adalah
pembentukan jaringan media Al Jazeera. Media ini didirikan pada 1996
atau tepat satu tahun setelah kudeta dan menjadi bagian penting dari
pemerintahan keluarga Thani.
Beberapa tahun kemudian mereka berekspansi dan mulai menyiarkan berita dalam bahasa Inggris ke seluruh penjuru dunia.
Al Jazeera menjadi media yang disegani terutama setelah munculnya gelombang revolusi Kebangkitan Dunia Arab tahun 2010.
Banyak tokoh politik dunia memuji pemberitaan media tersebut.
Mantan menteri luar negeri Amerika Serikat Hillary Clinton mengatakan
bahwa media-media di Barat seharusnya malu terhadap al Jazeera. Mereka
melaporkan berita sebenarnya.
"Al Jazeera merepresentasikan harapan kelas elit berwawasan
internasional dengan gambar-gambar mengagumkan, dan laporan deskripsi
yang dalam mengenai perkembangan di puluhan negara secara bersamaan,"
tulis pengamat politik Robert D. Kaplan di The Atlantic.
Reuters pernah menyebut Al Jazeera sebagai "pembela kaum
terpinggirkan" dalam pemberitaan Kebangkitan Dunia Arab, terutama di
Mesir, di mana media tersebut cenderung bias terhadap kelompok Ikhwanul
Muslimin dan mantan presiden Mohammad Moursi yang memang terpilih secara
demokratis.
Di sisi lain, Al Jazeera juga tidak ragu mengkritik kebijakan
konservatif dari negara-negara Teluk lain seperti Arab Saudi yang
dinilai membatasi kebebasan terhadap kelompok minoritas dan perempuan.
Inilah wajah Qatar yang ingin ditampilkan kepada dunia melalui
stasiun televisi dan jaringan media daring mereka yakni prodemokrasi dan
terbuka terhadap perubahan.
Aktivisme politik luar negeri Qatar di Timur Tengah ini menciptakan
pedang bermata dua. Meski di satu sisi dipuji kalangan Barat sebagai
promotor demokrasi dan revolusi kerakyatan, Al Jazeera, sebagai
kepanjangan tangan "soft power" keluarga Thani, juga dinilai sejumlah
rezim Arab sebagai senjata politik Doha untuk menciptakan kerusuhan,
demikian catatan The Huffington Post.
Tudingan itu muncul karena Al Jazeera dan pemerintahan Qatar sangat
dekat dengan kelompok yang sangat dibenci oleh beberapa pemerintahan
Teluk seperti Mesir dan Uni Emirat Arab yakni Ikhwanul Muslimin.
Banyak tokoh-tokoh organisasi tersebut yang mendapat panggung di Al
Jazeera, salah satunya adalah Yusuf Al Qaradawi, seorang ulama Ikhwanul
Muslimin yang pernah memuji aksi bom bunuh diri di Palestina.
Ada sejarah panjang konfrontasi antara Ikhwanul Muslimin dengan
negara-negara Arab. Sejak tokoh nasionalis Gamal Abdul Nasir berkuasa di
Mesir tahun 1950-an, para tokoh kelompok itu terusir dan menyebar ke
beberapa negara seperti Uni Emirat Arab dan Qatar yang saat itu masih
sama-sama dijajah.
Setelah Uni Emirat Arab merdeka, banyak tokoh Ikhwanul Muslimin
yang menduduki posisi penting pemerintahan dan punya pengaruh besar di
bidang pendidikan dan hukum, tulis Giorgio Cafiero, kepala Gulf State
Analytics, perusahaan konsultan resiko geopolitik yang berkantor di
Washington, sebagaimana dikutip dari majalah The National Interest.
Para emir di Abu Dhabi kemudian khawatir atas aktivisme mereka dan
pada akhirnya membubarkan LSM bentukan Ikhwanul Muslimin, Al Islah.
Hubungan Abu Dhabi dan Kairo juga sempat memanas saat kelompok yang
sama memenangi pemilu demokratis pertama di Mesir tahun 2011, dan
kembali normal pascakudeta berdarah Jenderal Abdul Fatah as-Sisi.
Di tengah antagonisme para tetangganya dengan Ikhwanul Muslimin,
pemerintahan Doha justru memilih untuk memperparah situasi dengan aktif
mendukung gerakan yang sama di Libya dan Mesir pada awal masa kudeta
2014.
Di Libya, Qatar secara terbuka mendukung pemerintahan koalisi
bentukan Ikhwanul Muslimin yang tidak diakui oleh PBB. Sementara Uni
Emirat Arab diam-diam menyuplai senjata untuk faksi rival di negara yang
sama--sebuah tindakan yang juga menyalahi embargo PBB.
Inilah salah satu alasan kenapa Uni Emirat Arab menuding Doha telah
mendanai terorisme--sebuah konsep yang menjadi kabur di Timur Tengah
karena bisa dialamatkan kepada siapa saja yang dianggap membahayakan
suatu rezim.
Wajah Ganda
Hal lain yang jadi sumber perpecahan Qatar dan negara-negara Teluk
adalah wajah ganda Al Jazeera yang punya dua versi, bahasa Inggris dan
bahasa Arab. Meski sama-sama dimiliki oleh pemerintah, keduanya punya
manajemen dan sikap editorial yang bertolak belakang.
Saat versi bahasa Inggris dipuji karena pemberitaan yang relatif
berimbang, versi bahasa Arab dari media yang sama mendapat kritik tajam
karena dianggap menyebar ujaran kebencian dan terlalu banyak memberi
panggung kepada kelompok yang secara konsesus, oleh dunia internasional,
dicap sebagai teroris.
Pakar media Fouad Najami, dalam tulisannya untuk The New York Times
Magazine, mengatakan bahwa mantan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden,
adalah "bintang" bagi Al Jazeera berbahasa Arab yang merupakan stasiun
televisi paling populer di Timur Tengah.
Bin Laden adalah "ksatria pemberani dari dunia Arab" bagi Al Jazeera, tulis Najami.
Sebagai stasiun televisi yang mempunyai pemirsa lebih dari 30 juta
orang, Al Jazeera versi bahasa Arab juga sering digunakan oleh
pemerintah Qatar untuk memperoleh konsesi politik dari negara-negara
tetangganya.
Wikileaks beberapa tahun lalu membocorkan sebuah dokumen yang
menyatakan bahwa Doha sering menawarkan pemberitaan yang lebih
bersahabat bagi keluarga kerajaan Arab Saudi untuk memfasilitasi
rekonsiliasi politik kedua negara.
Al Jazeera "terbukti menjadi alat yang berguna bagi tuan besar
stasiun televisi itu," kata dokumen Kedutaan Amerika Serikat di Doha
yang dibocorkan oleh Wikileaks.
Politik media dari Qatar kemudian membuat Arab Saudi kehilangan
kesabaran dan akhirnya menutup kantor cabang Al Jazeera di Riyadh
bersamaan dengan pemutusan hubungan diplomatik.
Di Mesir, yang juga memutus hubungan diplomatik dengan Doha, Al
Jazeera berbahasa Arab juga tidak kalah bermasalah. Pemerintahan
Jenderal As Sisi menangkapi wartawan media itu sejak tahun 2013 karena
dianggap melindungi tokoh-tokoh "teroris".
Salah satu tokoh "teroris" itu adalah Esam Abdul Majid, seorang
anggota kelompok garis keras Jamaah al Islamiyyah yang menjadi buron
karena menyebar ujaran kebencian dan meminta pengikutnya untuk melakukan
pembunuhan.
Pemerintah Mesir sejak awal tahun 2013 sudah meminta Interpol untuk
membantu menangkap Majid. Namun dia tiba-tiba muncul di Doha pada
Desember tahun yang sama untuk melakukan wawancara dengan Al Jazeera di
mana dia menuding pemerintahan As Sisi terlalu memberi tempat bagi
"kelompok agama minoritas," demikian catatan majalah Foreign Policy.
Persoalan terorisme ini juga menjadi salah satu titik pangkal
perseteruan diplomatik Qatar dengan koalisi Teluk--tuduhan yang terasa
ironis mengingat Arab Saudi juga diduga menjadi sumber pendanaan aksi
teror meski dilakukan oleh aktor non-negara.
Aktivisme politik luar negeri dua kaki Qatar kini memasuki babak baru dengan terkucilnya Doha.
Masih menarik untuk menunggu konsesi politik apa yang akan tercapai
mengingat kedua kubu relatif punya kekuatan yang berimbang. Di satu
sisi, Qatar punya "soft power" besar bernama Al Jazeera dan bisa
mengendalikan milisi-milisi yang dibenci para rezim Arab. Sementara
negara-negara Teluk punya kekuatan militer signifikan lengkap dengan
dukungan Amerika Serikat.
Politik Dua Kaki Qatar
Rabu, 7 Juni 2017 10:10 WIB