Jakarta (Antara Babel) - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu masih
menemui jalan buntu terkait sejumlah isu antara lain mengenai
kesepakatan ambang batas pencalonan presiden.
Awal pekan ini, semestinya kesepakatan telah diambil antara DPR RI
dan pemerintah atas lima isu krusial terakhir yang menjadi pembahasan
paling alot dalam rancangan undang-undang itu.
Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu,
Lukman Edy menjelaskan kemungkinan sistem paket dalam memutuskan lima
isu krusial masing-masing ambang batas parlemen, ambang batas partai
mengajukan calon presiden, kuota suara per daerah pemilihan, sistem
pemilu, dan metode konversi suara.
Terkait ambang batas pencalonan Presiden, sejumlah parpol memiliki beberapa pendapat.
Lukman Edy menjelaskan variasi pertama, ambang batas parlemen
sebesar 5 persen, ambang batas partai mengajukan calon presiden sebesar
10-15 persen kuota suara per daerah pemilihan 3-8, sistem pemilu
terbuka, dan metode konversi suara jenis sainta lague murni.
Lukman mengatakan untuk variasi kedua, ambang batas parlemen sebesar
5 persen, ambang batas partai mengajukan calon presiden sebesar 20-25
persen, kuota suara per-daerah pemilihan 3-8 suara, sistem pemilu
terbuka terbatas, dan metode konversi suara sainta lague murni.
Ia memaparkan variasi ketiga, ambang batas parlemen 4 persen, ambang
batas partai mengajukan calon presiden 0 persen, kuota suara per-daerah
pemilihan 3-10 suara, sistem pemilu terbuka, dan metode konversi suara
quota harre," ujarnya.
Politisi PKB itu menjelaskan variasi keempat, ambang batas parlemen 4
persen, ambang batas partai mengajukan calon presiden 10-15 persen,
kuota suara per-daerah pemilihan 3-10 suara, sistem pemilu terbuka
terbatas, dan metode konversi suara sainta lague murni.
Sementara itu pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri
Tjahjo Kumolo mengatakan tetap menginginkan "presidential threshold"
atau ambang batas pencalonan Presiden dalam skema 20-25 persen sesuai
dengan UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Dikatakan Menteri Dalam Negeri, pemerintah memiliki pertimbangan
dalam mengusulkan Presidential Threshold 20 persen kursi dan 25 persen
perolehan suara sah nasional.
Pertimbanganya adalah jumlah presidential threshold tersebut sama
dengan pengaturan dalam UU lama yakni UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, sehingga prinsipnya sama dengan aturan
sebelumnya.
Selain itu, upaya uji materi yang pernah diajukan terhadap UU No
42/2008 tidak membatalkan pasal tentang presidential threshold, sehingga
tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pertimbangan lain, kata Tjahjo, presidential treshhold mendorong
peningkatan kualitas capres/cawapres serta memastikan bahwa
presiden/wapres yang terpilih telah memiliki dukungan minimum parpol
atau gabungan partai di parlemen.
Sehingga presidential trheshold dipandang memperkuat sistem pemerintahan Presidensiil
Namun rapat di awal pekan ini untuk memutuskan kelima isu tersebut kemudian ditunda.
Pansus belakangan meminta pemerintah melakukan kajian konstitusional
terkait isu ambang batas partai politik mengajukan calon presiden atau
presidential threshold.
"Saya kira pemerintah harus melakukan kajian konstitusional sehingga
ditemukan solusinya, jangan ambil putusan ini secara politik karena
kalau itu dilakukan nanti pemerintah bisa dorong krisis konstitusi,"
kata Lukman
Hal itu dikatakannya terkait sikap pemerintah tetap bersikukuh "presidential threshold" di angka 20-25 persen.
Menurut dia, apabila pemerintah tetap bersikukuh di angka 20-25
persen maka pengambilan keputusan terkait "presidential threshold" bisa
berujung "deadlock".
Dia juga meminta pemerintah melakukan pembicaraan intensif dengan
fraksi-fraksi dan partai agar menemukan titik temu sebelum pengambilan
putusan pada Senin (19/6).
Menurutnya, adawaktu hingga Senin (19/6) maka seharusnya pemerintah
lakukan pembicaraan intensif tingkat fraksi lalu ditemukan titik tengah
atau kesepakatan berbagai macam opsi.
Lukman menegaskan bahwa dalam mekanisme pembuatan UU, semua pihak
harus menghormati dinamika dan keputusan yang diambil di DPR.
Namun ia berharap, pengambilan keputusan lima isu krusial pada rapat
Pansus Senin pekan depan dilakukan dengan musyawarah mufakat karena
ditemukan satu formula sistem paket yang disepakati fraksi-fraksi.
"Namun, apabila jalan musyawarah mufakat satu paket tidak tercapai
maka diharapkan tiga paket untuk di voting di paripurna," katanya.
Lukman berharap Pimpinan DPR bisa mengangendakan Rapat Paripurna
dalam waktu dekat agar RUU Pemilu bisa segera di sahkan dan tidak
mengganggu tahapan pemilu 2019.
Menurut dia, tahapan Pemilu dilakukan mulai 1 Agustus 2017 sehingga RUU Pemilu harus disahkan pada masa sidang ini.
Bersikukuh
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
menekankan opsi pemerintah terkait ambang batas pencalonan presiden
tetap dalam skema 20-25 persen konstitusional.
"Tidak benar kalau opsi Pemerintah dalam pembahasan RUU
Penyelenggaraan Pemilu dikatakan Inkonstitusional, karena opsi
Pemerintah terkait Presidensial Threshold pertimbangannya presidental
threshold itu sama dengan pengaturan dalam UU lama," ujar Tjahjo melaui
pesan singkat kepada wartawan di Jakarta, Jumat (16/6).
Pemerintah menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau
presidential threshold adalah 20 persen perolehan kursi DPR RI atau 25
persen perolehan suara sah nasional.
Tjahjo menegaskan dua kali pemilu presiden dilaksanakan dengan
ketentuan Presidential Threshold 20-25 persen, tidak pernah menuai
masalah, justru muncul beberapa pasang calon Presiden.
"Pada Pilpres 10 tahun lalu bisa lima pasang capres/cawapres dan
2O14 muncul dua pasang capres/cawapres. Kenapa sekarang jadi
dipermasalahkan dan diributkan," ujar Tjahjo.
Ia mengatakan Pansus RUU Pemilu telah mampu membahas hingga 562
pasal selama enam bulan, meski dibahas secara keras namun dapat
dimusyawarahkan.
Tinggal lima poin yang sekarang sudah masuk forum lobi-lobi.
Pemerintah menginginkan Presidential Threshold tetap 20-25 persen, kata
Tjahjo.
Sementara itu Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid
menyesalkan sikap pemerintah yang menarik diri dalam pembahasan
Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu karena bisa
kontraproduktif dengan tujuan agar pembahasan RUU tersebut bisa segera
diselesaikan.
Ia menilai sikap itu akan kontraproduktif dan justru akan
menampilkan posisi pemerintah yang tidak bagus di masyarakat yang
menginginkan RUU tentang pemilu itu segera diselesaikan.
Menurut dia, selama ini DPR selalu dituduh menghambat pembahasan RUU
Pemilu namun ketika sikap pemerintah seperti itu maka semakin terlihat
bahwa yang menghambat bukan dari DPR.
Dia menilai pemerintah pasti sangat tahu perbedaan antara Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden di tahun 2014 serta 2019 yang akan
dilakukan secara serentak sehingga memerlukan payung hukum berbeda.
"Kalau pemerintah menarik diri akan muncul kekosongan hukum, mau
pakai apa Pemilu 2019 yang serentak itu dengan waktu yang sangat
mendesak," ujarnya.
Selain itu dia berharap proses pengambilan keputusan terkait lima
isu krusial dalam RUU Pemilu bisa dilakukan dengan musyawarah mufakat
sehingga tidak melalui "voting".
Wakil Ketua MPR RI ini juga berharap pemerintah, Pansus Pemilu dan
partai politik bisa memikirkan jalan tengah untuk kebaikan Indonesia
dalam pelaksanaan pemilu serentak.
Batas waktu semakin dekat karena tahapan persiapan pemilu juga harus
segera di mulai, semua pihak tentunya memiliki argumentasi
masing-masing, namun dasar dari argumentasi itu seharusnya berujung pada
kepentingan rakyat banyak.
Tarik Ulur Ambang Batas Pencalonan Presiden
Senin, 19 Juni 2017 13:56 WIB