Tiga belas miliar tujuh ratus juta tahun lalu tidak ada bintang-bintang di langit, bahkan alam semesta ini pun tidak ada.
Kemudian sesuatu terjadi dalam sekejap, sebuah ledakan besar maha dahsyat.
Ini adalah skenario ketika segala sesuatu dimulai, lahirnya ruang
dan waktu, saat pertama kali eksistensi itu ada. Saat itu usia alam
semesta hanya 10 pangkat minus 36 detik, sesaat setelah nol. Ilmuwan
menyebutnya dengan Big Bang, awal mula terciptanya alam semesta.
Saat itu sebutir zat tersebut tiba-tiba membesar dengan cepatnya.
Alam semesta awal berusia tak sampai sedetik ini penuh dengan cahaya
panas dan bersuhu sampai seratus miliar derajat Celcius.
Partikel-partikel sub-atom terbentuk, diikuti inti-inti atom.
Pendinginannya secara bertahap memungkinkan alam semesta yang
semula berupa awan gas berkondensasi. Bintang pertama terbentuk pada 200
juta tahun setelah Big Bang, namun Bumi lahir baru pada 4,5 miliar
tahun lalu.
Dari ketiadaan menjadi suatu alam semesta yang maha luas dan
terkait erat dengan berbagai hukum fisika ini sangat mencengangkan.
Bahwa ternyata perubahan konstanta kosmologis sekecil apa pun akan
mengakibatkan alam semesta tidak jadi terbentuk.
Bahkan jika perubahan tersebut hanya sekecil satu per 10 pangkat
120 atau satu per triliun triliun triliun triliun triliun triliun
triliun triliun triliun triliun.
Ini artinya telah disadari, bahwa penciptaan alam semesta amat
sangat spesifik dan sungguh sangat tidak mungkin tercipta karena
kebetulan. Kebetulan tidak memiliki peran sama sekali dalam teori
asal-usul alam semesta.
Stephen Hawking, si atheis, dalam bukunya A Brief History Of time,
pun menyadari ketepatan yang luar biasa itu pada laju pengembangan
langit satu detik setelah Big Bang. Jika laju perluasannya lebih lambat
dari satu per seratus ribu juta, alam semesta akan hancur sebelum pernah
mencapai ukurannya yang sekarang.
Geraint F. Lewis, astrofisikawan yang berkutat menciptakan alam
semesta sintetis dengan superkomputer mengajak bereksperimen dengan
keempat gaya fundamental yang ada di alam semesta dan dikenal dalam
fisika modern sebagai gaya gravitasi, gaya elektromagnetik, gaya nuklir
kuat, dan gaya nuklir lemah.
Jika gaya gravitasi lebih kuat atau lemah 100 kali, maka
bintang-bintang di alam semesta tidak akan bersinar, atau sebaliknya,
terbakar dengan cepat karena kehabisan bahan bakar nuklir dalam sesaat.
Begitu pula dengan mencoba mengutak-atik gaya nuklir lemah dan gaya
nuklir kuat. Ini akan membuat unsur-unsur di alam semesta terlalu kuat
untuk meluruh menjadi unsur lainnya dan tidak ada atom lain yang bisa
terbentuk selain hidrogen. Atau malahan unsur-unsur tersebut jadi
bercerai-berai dalam sekejap.
Hal lain lagi terjadi ketika ilmuwan bermain-main dengan partikel
terkecil. Hasilnya, perubahan sedikit saja dengan massa partikel quark
akan menghancurkan kemungkinan adanya kehidupan yang kompleks seperti
yang dikenal sekarang di muka bumi.
Jelas sekali jika semua gaya dan konstanta ini tidak mempunyai
besaran tepat seperti adanya sekarang, maka tidak akan ada atom,
bintang, supernova, planit, apalagi kehidupan.
Energi gelap
Fakta lainnya yang membuat ilmuwan
terheran-heran adalah adanya materi gelap dan energi gelap.
Bintang-bintang, planit, asteroid dan benda langit lainnya yang
jumlahnya bertriliun-triliun tak terhingga ternyata hanya empat persen
dari total alam semesta. Sisanya, 23 persen adalah materi gelap (dark
matter) dan 73 persen energi gelap (dark energy).
Materi gelap ini tidak bisa dideteksi dengan peralatan dan tidak
berinteraksi dengan cahaya. Keberadaannya hanya bisa diketahui dengan
menghitung gaya gravitasi di alam semesta.
Ilmuwan menemukan perputaran galaksi seharusnya tidak secepat ini,
namun faktanya galaksi berotasi pada suatu sumbu dengan sangat cepatnya
seolah massanya 400 kali lebih besar. Ini membawa pada kesimpulan bahwa
ada materi yang amat besar eksis dan menyelimuti semua galaksi di alam
semesta.
Astronom terkemuka Vera Rubin merinci bintang-bintang di pinggiran
tiap galaksi bergerak terlalu cepat seperti layaknya bintang-bintang di
pusat galaksi. Dalam hukum fisika, seharusnya kondisi ini membuat
bintang-bintang tersebut berhamburan.
Namun tidak ada indikasi yang menunjukkan ini dan mereka tetap
bergerak secara teratur, seolah ada massa tambahan yang mengikat mereka
sehingga tetap stabil. Ketidakwajaran ini adalah kerja misterius dari
materi gelap.
Memang sejumlah ilmuwan telah mencoba memecahkan kesulitan ini dan
menuduh partikel-partikel nonbarion, partikel selain dari proton dan
neutron, yang menjadi biang keladinya. Partikel ini haruslah
berinteraksi melalui gaya nuklir lemah dan gravitasi, tidak melalui gaya
elektromagnetik, sehingga tidak bisa dideteksi. Ini semua masih
merupakan teka-teki besar.
Bagaimana dengan energi gelap? Sama seperti materi gelap, energi
maha dahsyat ini juga menjadi misteri dan tidak bisa dideteksi.
Setelah ledakan besar Big Bang, perluasan alam semesta, menurut
hukum fisika, seharusnya melambat. Faktanya, ekspansi langit justru
sebaliknya, semakin dan semakin cepat. Disimpulkan ada gaya fundamental
lain di alam semesta yang tidak dapat dijelaskan selain empat yang telah
dikenal.
Penjelasan yang paling mungkin adalah ilmuwan tidak memahami
bagaimana gravitasi bekerja. Semakin alam semesta meluas, semakin tampil
eksistensi energi gelap ini dan hasilnya langit semakin meluas dengan
kecepatan yang semakin cepat menuju masa depan yang tidak pasti.
Astronom peraih nobel Adam Riess melalui pengamatan supernova
dengan teleskop Hubble telah mencoba menjelaskan percepatan ini. Namun
ia terpaksa terbentur dengan masalah besar yang mengacu ke konsep lain
yang disebut "fine tuning".
Konsep ini dalam dunia ilmiah diartikan sebagai rancangan agung,
bahwa alam semesta tidaklah secara kebetulan terbentuk dengan sendirinya
dari sekumpulan zat, melainkan telah dirancang dengan ketelitian
tertinggi.
Allan R Sandage, astronom berpengaruh pada abad ke-20
telah mengakui, bahwa mustahil keteraturan alam semesta dihasilkan oleh
tidak sesuatupun, dan pasti ada sesuatu zat yang mengendalikannya.
"Tuhan bagi saya adalah sebuah misteri, tetapi inilah yang bisa
menjelaskan keajaiban akan munculnya eksistensi dari sesuatu yang tidak
ada," ujar Sandage.
Jika kita membuka naskah-naskah keagamaan kuno yang pernah dibawa
oleh para nabi sejak zaman dahulu dan disampaikan secara turun-temurun,
teori yang dikemukakan pertama kali oleh kosmolog Abbe Georges Lemaitre
bahwa alam semesta memiliki awal, sungguh sejalan.
Dalam Kitab Al-Quran yang dibawa nabi terakhir Muhammad SAW,
misalnya surat Qaf (50) ayat 38 menyebut penciptaan langit dan bumi
terjadi dalam enam masa. Serta surat Fussilat (41) ayat 11 bahwa dahulu
langit berupa asap. Dan pada surat Al Anbiya (21) ayat 30 yang menyebut
bahwa bumi dan langit dahulu adalah suatu yang padu, yang kemudian
akhirnya dipisahkan di antara keduanya.
Surat lainnya lagi dari Al Quran, yakni Adz Dzaariyaat (51) ayat
47, "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya
Kami benar-benar meluaskannya", sungguh sesuai dengan hasil riset
terakhir bahwa alam semesta terus meluas.
Demikian pula surat Al Anbiya (21) ayat 33 tentang garis edar,
surat An Naaziat (79) ayat 30 tentang bumi yang seolah telur burung unta
dan surat Ar Rahman (55) ayat 37 yang menggambarkan kematian bintang
berwarna merah mawar seperti kilatan minyak yang sangat mirip dengan
hasil foto-foto teleskop Hubble.
Ayat-ayat Quran ini tidak diragukan lagi, menyangkal anggapan bahwa
lahirnya alam semesta hanyalah sebab akibat dari hukum fisika dan
meluruskan segala keresahan dan perdebatan tentang konsep penciptaan.
Ketika Konsep Penciptaan Alam Semesta Diperdebatkan
Selasa, 27 Juni 2017 14:38 WIB