Jakarta (Antara Babel) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi
proses penerbitan surat perjanjian pembayaran secara tunai dengan
penyerahan aset, yang disebut "Master of Settlement and Acquisition
Agreement" (MSAA) kepada Menteri BUMN 2001-2004 Laksamana Sukardi.
KPK, Rabu (26/7) memeriksa Laksamana Sukardi sebagai saksi dalam
penyidikan tindak pidana korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL)
kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan
pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN untuk
tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT).
"Tadi bicara mengenai materi pokok perkara, yang kalau saya
perhatikan MSAA ini kan dibuat tahun 1998. Pada waktu itu, kita
mengalami krisis ekonomi dan sistem peradilan kita juga masih kacau.
Jadi secara politis diputuskan "out of court settlement" makanya dibuat
MSAA," kata Laksamana Sukardi seusai menjalani pemeriksaan di gedung
KPK, Jakarta.
Ia menjelaskan, MSAA dibuat saat Presiden ke-3 Republik Indonesia
BJ Habibie, dan kemudian dilaksanakan sampai pada akhirnya ada
Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) agar MSAA
itu dilaksanakan secara konsisten.
Selanjutnya, kata dia, ada TAP MPR yang menyatakan Presiden ditugaskan untuk melaksanakan MSAA secara konsisten.
"Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum, tidak ada
penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi berantakan," kata
Laksamana Sukardi.
Menurut dia, pada zaman Orde Baru banyak kondisi kredit dan
perjanjian kontrak yang "bodong" sehingga sampai pada akhirnya saat
Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri dibuat
kebijakan percepatan penjualan aset, dan utang dari IMF juga dibayar
kembali.
"Dan bagi obligor-obligor yang telah memenuhi MSAA harus diberikan
kepastian hukum. Itu adalah mandat dari MPR. Zaman dulu bisa
dibayangkan, opsinya adalah memenjarakan semua bankir. BLBI Rp400
triliun, tetapi yang diserahkan ke BPPN hanya Rp144 triliun," tuturnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad
Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam
pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8
Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitor yang
Telah Menyelesaikan Kewajibannya, atau tindakan hukum kepada debitor
yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati
Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono,
Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri
BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah
menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban
pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan
sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban
Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham
atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan
Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi
kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset
oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari
pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun
dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7
triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya
ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan
menjadi kerugian negara.
KPK Konfirmasi Laksamana Sukardi Soal Penerbitan MSAA
Rabu, 26 Juli 2017 16:40 WIB
Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum, tidak ada penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi berantakan,