Jalan Tugu Proklamasi, Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menuju Rumah Bersejarah Rengasdengklok cukup lengang.
Rumah itu merupakan tempat Proklamator Soekarno dan Mohammad Hatta
beristirahat saat dibawa para pemuda sehari sebelum Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Pemandangan cukup bervariasi. Sesekali terlihat persawahan di
kiri-kanan jalan, tetapi lebih banyak rumah penduduk yang terlihat.
Semakin dekat dengan lokasi, juga terlihat Markas Koramil
0404/Rengasdengklok dan beberapa sekolah.
Terbayang di pikiran, apakah mungkin itu jalan yang sama yang
dilalui Soekarno-Hatta saat dulu dibawa para pemuda ke markas Pembela
Tanah Air (PETA) di Rengasdengklok. Saat itu, kondisi jalan tentu belum
sebagus saat ini. Kiri-kanan jalan pun tentu masih banyak berupa hutan.
Rengasdengklok bisa dicapai dari Jakarta melalui Jalan Tol
Jakarta-Cikampek, keluar di Gerbang Tol Karawang Barat, dengan waktu
tempuh sekitar dua jam. Dari Gerbang Tol Karawang Barat, Rengasdengklok
hanya berjarak sekitar 25 kilometer.
Pada 16 Agustus 1945, ketika Soekarno-Hatta dibawa kelompok pemuda,
tentu jalan tol itu belum ada. Namun, waktu tempuh saat itu tidak
berbeda jauh dengan saat ini, sekitar dua jam.
Pikiran pun melayang membayangkan situasi saat itu. Pemuda-pemuda
Indonesia, melalui siaran radio luar negeri yang didengarkan secara
sembunyi-sembunyi, mendengar berita bahwa Jepang semakin terdesak.
Mereka pun semakin bersemangat agar Indonesia segera
memproklamasikan kemerdekaan. Sebelumnya, usaha-usaha untuk
mempersiapkan kemerdekaan sudah dilakukan melalui beberapa badan
bentukan pemerintah pendudukan Jepang.
Pada 1 Maret 1945, pemerintah pendudukan Jepang mengumumkan
pembentukan "Dokuritsu Zyumbi Tyosakai" atau Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Menurut buku komik "Peristiwa Sekitar Proklamasi" yang diterbitkan
Museum Perumusan Naskah Proklamasi, pembentukan badan yang diresmikan
pada 28 Mei 1945 tersebut sebenarnya memiliki tujuan politik agar rakyat
Indonesia tetap memberikan dukungan kepada Jepang dalam menghadapi
Perang Asia.
BPUKPI beranggotakan 62 orang bangsa Indonesia termasuk empat orang
dari golongan keturunan China, Arab dan Belanda, ditambah tujuh orang
bangsa Jepang.
Badan tersebut diketuai dr Radjiman Wedyodiningrat dibantu dua orang
wakil ketua, yaitu RP Soeroso dan seorang Jepang bernama Yoshido
Ichibangase.
Hal penting yang berhasil dirumuskan oleh BPUPKI, yaitu dasar
negara Pancasila, naskah pernyataan kemerdekaan dan undang-undang dasar.
Tugas BPUPKI kemudian dilanjutkan oleh "Dokuritsu Zyumbi Inkai"
atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk pada 7
Agustus 1945.
PPKI beranggotakan 21 orang dari beberapa tokoh pergerakan dan suku
yang ada di Indonesia dengan diketuai Ir Soekarno dibantu wakil ketua
Drs Mohammad Hatta.
Bertemu Terauchi
Pada 9 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Radjiman berangkat ke
Dalat, Vietnam untuk bertemu Panglima Tentara Jepang di Asia Tenggara
Marsekal Hisaichi Terauchi. Dalam pertemuan tersebut, Terauchi
menyatakan pemerintah Jepang telah memutuskan untuk memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia.
Untuk melaksanakan pernyataan kemerdekaan Indonesia, Terauchi
menyerahkan kepada Soekarno-Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI.
Pertemuan tersebut sebenarnya merupakan strategi Terauchi dalam
menutupi kondisi Jepang yang kian terdesak. Sebagai pemimpin militer
tertinggi Jepang di Asia Tenggara, Terauchi sendiri sempat terserang
stroke saat mendengar Burma lepas dari kekuasaan Jepang pada 10 Mei
1945.
Pada 26 Juli 1945, Sekutu telah mengeluarkan Deklarasi Postdam yang
memberikan pilihan kepada Jepang untuk mengumumkan penyerahan tidak
bersyarat kepada semua angkatan perangnya dan patuh dalam segala
tindakan. Penolakan terhadap perintah berarti kehancuran total bagi
Jepang.
Apalagi, Amerika Serikat yang belakangan bergabung dengan Sekutu,
setelah pangkalannya di Pearl Harbour, Hawaii diserang Jepang,
menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9
Agustus 1945.
Ancaman Sekutu bahwa Jepang akan mengalami kehancuran total
terlihat semakin mendekati kenyataan dengan pemboman dua kota penting
Jepang yang merenggut ribuan jiwa manusia itu.
Pada 13 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Radjiman meninggalkan
Dalat untuk kembali ke Jakarta, tetapi sebelumnya singgah terlebih
dahulu ke Singapura untuk bertemu dengan anggota PPKI dari Sumatera,
yaitu Teuku Mohammad Hasan, Amir dan Abas.
Mereka berdiskusi mengenai kemerdekaan Indonesia dan perkembangan terakhir Jepang dalam Perang Asia.
Menurut Sejarawan Rusdhy Hoesein, saat singgah ke Singapura itu,
Soekarno, Hatta dan Radjiman menyaksikan sendiri bahwa tentara Jepang
masih cukup kuat dan memiliki semangat tempur.
"Hal itulah yang membuat Soekarno-Hatta berbeda pendapat dengan
kelompok pemuda yang ingin segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia. Soekarno-Hatta khawatir memproklamasikan kemerdekaan secara
gegabah akan membuat tentara Jepang bereaksi dan menimbulkan pertumpahan
darah," katanya.
Soekarno-Hatta meyakini tentara Jepang masih cukup kuat dalam
mempertahankan kekuasaaannya di wilayah pendudukan. Apalagi, saat itu
belum ada kabar Jepang menyerah kepada sekutu.
Pada 14 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Radjiman mendarat di
Bandara Kemayoran, Jakarta. Pada saat itu Soekarno menyampaikan pidato
bahwa kemerdekaan Indonesia akan segera terlaksana.
"Bung Karno menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak perlu
menunggu jagung berbuah karena akan terlaksana sebelum jagung berbunga,"
kata Rusdhy.
Pada hari yang sama, Kaisar Hirohito pada akhirnya terpaksa
mengumumkan kekalahan Jepang. Dia memerintahkan seluruh tentara Jepang
untuk menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu. Namun, berita
tersebut ditutup-tutupi oleh tentara Jepang yang ada di Indonesia.
Hanya sedikit orang yang mendengar berita itu melalui siaran radio
luar negeri yang ditangkap secara diam-diam. Salah satunya adalah Sutan
Syahrir. Dia segera menemui Hatta untuk menyampaikan berita tersebut.
Hatta kaget mendengar berita itu. Dia sendiri berpendapat dengan
kekalahan Jepang, maka kemerdekaan hanya dapat terjadi dengan tangan
bangsa Indonesia sendiri. Namun, penyelenggaraannya harus melalui PPKI.
Syahrir tidak sependapat dengan Hatta. Menurut Syahrir, apabila
melalui PPKI, maka sekutu akan menganggap kemerdekaan Indonesia adalah
buatan Jepang. Karena itu, dia mendesak Soekarno-Hatta untuk segera
mengumumkan kemerdekaan melalui radio.
"Bung Hatta sependapat bahwa proklamasi harus segera dilakukan.
Namun, dia ingat di Singapura melihat tentara Jepang masih cukup kuat.
Akhirnya mereka menuju rumah Bung Karno," tutur Rusdhy.
Di rumah Soekarno, Hatta dan Syahrir menyampaikan berita kekalahan
Jepang. Syahrir juga menyampaikan desakan agar Soekarno-Hatta segera
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun, Soekarno menyatakan dia tidak bisa bertindak sendiri.
Kemerdekaan Indonesia adalah hak dan tugas PPKI, di mana dia bertindak
sebagai ketua. Dia tidak ingin dianggap melangkahi PPKI yang dia ketuai.
Pada 15 Agustus 1945, Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo berusaha
menghubungi pejabat-pejabat Jepang untuk menanyakan ketegasan berita
tentang penyerahan Jepang kepada Sekutu. Namun, sejumlah pejabat yang
akan ditemui ternyata sedang tidak ada di tempat.
Atas usul Soebardjo, mereka kemudian mencoba menanyakan kebenaran
berita itu kepada Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kepala Kantor Penghubung
Angkatan Laut Jepang.
Kepada Soekarno, Hatta dan Soebardjo, Maeda mengatakan bahwa berita
kekalahan Jepang yang disiarkan radio itu berasal dari Sekutu. Namun,
dia menyatakan belum menerima sendiri berita dari Tokyo.
Setelah mendapat penjelasan dari Maeda, Soekarno, Hatta dan
Soebardjo kemudian berinisiatif untuk mengadakan rapat dengan seluruh
anggota PPKI yang sudah lengkap dan menginap di Hotel Des Indes. Seluruh
anggota PPKI diminta untuk hadir ke Kantor Sanyo Kaigi di Pejambon
keesokan harinya pada pukul 10.00.
Pergerakan Pemuda
Pada saat yang sama, Sutan Syahrir dengan kelompok pemuda
menyebarkan selebaran anti-Jepang dan mengorganisasi para pemuda pelajar
di berbagai kota di Jawa untuk bersiap-siap mengambil alih kekuasaan.
Sore hari 15 Agustus 1945, golongan pemuda menjemput anggota PPKI
yang menginap di Hotel Des Indes. Mereka di bawa ke salah satu markas
pemuda di Jalan Prapatan 10.
Di tempat itu, para anggota PPKI dipaksa mendengarkan pidato
Syahrir yang menyatakan kemerdekaan harus dibentuk sendiri oleh bangsa
Indonesia. Para anggota PPKI ditahan sampai akhirnya dikembalikan ke
Hotel Des Indes pada malam hari.
Di tempat lain, di Gedung Laboratorium Bakteriologi Jalan
Pegangsaan Timur 16, kelompok pemuda revolusioner mengadakan rapat
sekitar pukul 20.00 yang memutuskan proklamasi kemerdekaan harus
dilakukan bangsa Indonesia sendiri tanpa campur tangan bangsa asing.
Kelompok pemuda revolusioner menugaskan Wikana dan Darwis menemui
Soekarno-Hatta. Mereka kemudian pergi ke rumah Soekarno di Jalan
Pegangsaan Timur 56 dan ditemui Soekarno sekitar pukul 22.00.
Kepada Soekarno, mereka menyampaikan keputusan rapat pemuda
revolusioner. Soekarno mengatakan kemerdekaan Indonesia akan tercapai,
hanya tinggal menunggu waktu.
Tidak lama kemudian, Hatta datang bersama Soebardjo, Buntaran,
Sanusi dan Iwa Kusumasumantri. Menyambung perkataan Soekarno, Hatta
menyatakan bangsa Indonesia harus menunggu berita resmi tentang
penyerahan Jepang.
Pada saat itulah Wikana kemudian berkata bila Bung Karno tidak
mengumumkan kemerdekaan Indonesia saat itu juga, keesokan harinya akan
terjadi pertempuran besar-besaran.
"Bung Karno marah dan berkata Ini batang leherku. Seret aku ke
pojok itu dan potong leher ini malam ini juga. Tidak usah, menunggu
sampai esok," tutur Rusdhy.
Menurut Rusdhy, Bung Hatta kemudian menengahi dengan mengatakan
kelompok pemuda revolusioner sebaiknya mencari figur pemimpin lain untuk
mengumumkan kemerdekaan Indonesia malam itu juga sebagaimana mereka
inginkan. (bersambung)
Napak Tilas Proklamasi (1) - Indonesia Merdeka Sebelum Jagung Berbunga
Selasa, 15 Agustus 2017 11:49 WIB
Bung Hatta sependapat bahwa proklamasi harus segera dilakukan. Namun, dia ingat di Singapura melihat tentara Jepang masih cukup kuat. Akhirnya mereka menuju rumah Bung Karno,