Kata "Pertamina" sudah menjadi kata yang sangat umum di Indonesia, dari kota besar sampai wilayah pedesaan.
Sejarah mencatat Pertamina lahir dari Permina (Perusahaan Minyak
Nasional) pada 10 Desember 1957 sebagai perusahaan yang dibentuk
pemerintah dalam keadaan darurat, untuk pengamanan operasinya pemerintah
menugaskan Angkatan Darat.
Adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayor Jenderal Abdul Haris
Nasution dan Deputi Operasi Kolonel yang juga seorang dokter, Dr Ibnu
Sutowo, sebagai penggagas dan pendiri Permina. Pendirian Permina
ditujukan untuk mengatasi masalah keamanan dan politik karena kisruh
kegiatan minyak yang ditinggalkan Shell di Aceh dan Sumatera Timur pada
1950-an.
Pertamina dengan dukungan AD, berhasil melakukan akusisi seluruh
aset perusahaan minyak Shell pada 1966 dan kilang minyak Stanvac pada
1969.
Namun saat masih dipimpin Ibnu Sutowo pulalah Pertamina pernah
mengalami krisis keuangan parah pada 1974. Pertamina terlilit utang
sebesar 40 juta dolar AS ke bank-bank di AS, utang sejumlah 65 juta
dolar AS ke konsorsium Bank Kanada hingga total utang pada 1975 mencapai
10,5 miliar dolar AS atau setara 30 persen GDP saat itu (seperti
disampaikan Baihaki Hakim dalam buku The Lone Ranger: Lekak-liku
Transformasi Pertamina).
Pertamina selama 15 tahun sejak 1968-1983 oleh pihak Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun dinilai dengan istilah No Opinion
alias Tak Bisa Dikomentari dalam perkara kebersihan dan kesehatan
keuangan. Pangkal persoalannya ternyata tak ada sistem manual keuangan
Pertamina.
Pada 20 Mei 1975, Menteri Pertambangan dan Energi Mohammad Sadli
mengungkapkan pengeluaran dana Pertamina ternyata sebagian besar tidak
ekonomis dan tidak ada hubungan dengan fungsi Pertamina. Akhirnya Ibnu
Sutowo pada 1976 diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, meski
demikian misteri turunnya Ibnu Sutowo sampai kini belum terungkap utuh.
Bagaimana tingkah polah Pertamina kini? Sudahkah Pertamina mengelola
dengan transparan asetnya yang sebesar 47,23 miliar dolar AS (per 2016)
atau setara 0,05 GDP Indonesia dan menciptakan lingkungan kerja yang
sehat bagi 27.318 orang karyawannya?
Bersih-bersih
"Pada masa awal transformasi pada 2006 lalu, kami sempat membuat
survei perilaku di internal Pertamina, kesimpulannya adalah Pertamina
itu sarang korupsi!" kata Chief Legal Councel and Compliance Pertamina
Genades Panjaitan dalam wawancara dengan Antara pada akhir Agustus.
Sejak 2006, pada masa kepemimpinan Ari Soemarno, Pertamina mulai
mencanangkan program transformasi dengan berbagai jatuh bangun dalam
upaya membangun sistem pencegahan korupsi.
Selanjutnya pada 2009, Pertamina membuat peta jalan tata kelola
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance- GCG) yang dibuat dalam
beberapa fase hingga 2015. Peta jalan itu termasuk panduan dewan
komisaris dan direksi Pertamina, pedoman pelaporan gratifikasi, pedoman
benturan kepentingan, pedoman laporan harta kekayaan penyelenggara
negara (LHKPN), pedoman Whistleblowing System (WBS) hingga pedoman
Compliance Online System yang masing-masing mencapai puluhan lembar.
Tidak ketinggalan Pedoman Perilaku yang bersumber dari Tata Nilai
Unggulan 6C yaitu "Clean, Competitive, Confident, Customer Focused,
Commercial dan Capable".
"Khusus untuk clean ini kami sampai membentuk breakthrough project,
jadi fokusnya bukan hanya untuk fisik atau kegiatan bisnis tapi juga
tema fundamental yaitu aspek perilaku, di situlah dibangun
fondasi-fondasi secara sistematis pencegahan korupsi," tambah Genades.
Menurut Genades, pedoman untuk menjaga integritas pegawai di
Pertamina sudah mencapai ribuan, namun tim "breakthrough project" masih
terus menelaah satu per satu celah pedoman itu untuk kemudian membenahi
agar tidak sampai menimbulkan kesempatan pegawai melakukan korupsi.
Setelah pedoman diperbaiki, maka aturan baru disosialisasikan supaya bisa diinternalisasi oleh insan pertamina.
"Kami juga melakukan pelatihan dan workshop, boleh dikatakan dari
pintu ke pintu mengenai hal ini. Kami juga punya teknologi jadi kami
lakukan training online juga untuk GCG. Kemudian melalui leaflet,
banner, poster, broadcast internal supaya perilaku-perilaku antikorupsi
itu bisa terkomunikasikan dengan baik karena prosesnya memang harus
dipahami dulu, setelah dipahami baru dilakukan. Ini memang proses
standar sebenarnya untuk mencoba mengubah perilaku," tambah Genades.
Salah satu program berbasis teknologi yang dilakukan Pertamina adalah
Whistle Blowing System (WBS). Selama 2016 terdapat 69 pengaduan kasus.
Dari jumlah tersebut 17 kasus selesai ditindaklanjuti sedangkan
sisanya masih dalam proses. Selama tahun 2016 tim WBS telah melakukan
tindak lanjut atas 34 kasus, termasuk kasus yang berasal dari periode
sebelumnya.
Beberapa kasus yang belum diselesaikan masih dalam proses investigasi
atau masih dalam proses pemberian sanksi oleh Komite Disiplin
Perusahaan. Salah satu kasus yang diungkap dari laporan WBS adalah soal
pencurian minyak di atas kapal yang mengakibatkan kerugian perusahaan
mencapai Rp22 miliar dalam waktu enam bulan. Hasilnya ada 22 orang
karyawan yang dipecat.
Audit WBS ini pun dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Bagi
masyarakat atau bahkan pegawai Pertamina yang menangkap indikasi
kecurangan dapat mengadukannya melalui SMS, telepon, email, website
maupun faksimile.
"Memang masih banyak perilaku kecurangan di perusahaan, nah kami
memberikan sinyal ke pekerja bahwa hal itu salah sehingga harus diberi
hukuman. Sudah puluhan pekerja yang di-PHK karena ada di laporan WBS
ini, belum lagi didemosi atau diberikan surat peringatan," ungkap
Genades.
Dalam waktu dekat, Pertamina dan KPK juga akan melakukan investigasi
acak terkait dengan penerimaan gratifikasi di salah satu unit Pertamina
yang mengurusi gas dan satu anak perusahaan.
"Apa iya tidak ada gratifikasi misalnya di fungsi pengadaan karena
dari laporan penerimaan gratifikasi kok minim saja? Karena dari data
gratifikasi cenderung menurun pelaporannya, saya juga agak bingung juga
apakah memang karena kesadaran sudah membaik jadi tidak ada lagi
pemberian atau dia tidak mau lapor, ini yang sedang kita cek," tambah
Genades.
Dalam pelaksanaan perbaikan sistem itu, menurut Genades, karyawan
Pertamina memang tidak ada yang terang-terangan melawan, tapi ia
merasakan keluhan yang disampaikan di belakang.
Salah satu contoh adalah perubahan sistem perjalanan dinas dari "lump
sum" (pembayaran yang dilakukan sekaligus dalam satu waktu) ke sistem
"at cost" (biaya yang dikeluarkan sesuai dengan bukti pengeluaran yang
sah). Dengan "lump sum", pegawai dapat memilih menginap di hotel murah
dan menyisihkan lebih banyak sisa uang perjalanan untuk keperluan
pribadinya, sedangkan dengan sistem "at cost", karyawan hanya mendapat
sedikit uang jajan karena biaya hotel yang ditanggung harus sesuai
dengan bukti kuitansi.
"Mereka menggerutu tapi tidak terang-terangan, ada juga yang
mempersoalkan penggunaan mobil dinas, jadi umumnya terkait fasilitas
pekerja yang tadinya ada celah untuk dimanfaatkan pekerja sekarang jadi
tidak ada," tambah Genades.
Tidak ketinggalan perlawanan dari para vendor atau mitra kerja yang
kadang juga saling menjatuhkan bila kalah dalam tender di Pertamina yang
semuanya sudah menggunakan sistem elektronik bernama procure-to-pay
(P2P).
Sistem ini membuat vendor tidak perlu lagi datang ke kantor
Pertamina untuk menawarkan jasa maupun menagih uang pembayarannya yang
sudah berjalan setidaknya 2 tahun terakhir.
"Misalnya di pengadaan, kita sudah membuat sistem yang transparan dan
cepat jadi semua fair, tapi kontraktor A melaporkan kontraktor B, malah
sistem WBS ini jadi sarana untuk saling merecoki karena mungkin tadinya
peserta itu sudah terbiasa mendapatkan pekerjaan itu karena kenal orang
dalam, tapi karena sistem sudah transparan, kontraktor itu tidak bisa
kompetitif dan dicari-carilah kesalahan pihak lain. Ini yang saya
katakan diam-diam menentang karena meributkan seolah-olah sistem ini
tidak berjalan, kalau kita tidak diproses kami juga salah, yah inilah
dampak dari perubahan," jelas Genades.
Memang tidak semua unit dan anak perusahaan Pertamina yang totalnya
berjumlah 133 perusahaan itu sudah punya WBS. Genades pun mengaku bahwa
ia masih terus mendorong agar perusahaan yang belum punya sistem WBS
dapat menumpang ke sistem pusat, tapi ia yakin tidak ada jalan lain
selain maju terus menegakkan sistem yang ia yakini tersebut, tidak ada
kata mundur.
Dari perbaikan sistem tersebut, skor GCG Pertamina tahun 2016
mencapai 94,62, sedikit meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar 94,50.
"Kategori 90 itu sudah sangat bagus tapi saya tidak yakin bicara
perilaku menggambarkan begitu. Baru saya sadari oh penilaian mereka itu
lebih ke pendokumentasian, tapi yang saya bicara tadi itu sistem, sistem
kita mungkin sudah mendekati ideal tapi korupsi bukan hanya sistem,
tapi implementasinya bagaimana?" tegas Genades.
Agen perubahan
Setelah sistem di internal perusahaan sudah diperbaiki lalu apa
selanjutnya yang dapat dilakukan Pertamina dalam mendorong sistem
antikorupsi?
"Sebaik apa pun sistem kalau diintervensi dengan mental manusianya
yang jelek akan susah, jadi yang paling fundamental dan kami kejar dari
sistem mentalnya. Karena kalau sistemnya bagus tapi mentalnya bobrok ya
susah," kata Direktur Sumber Daya Manusia, Teknologi Informasi dan Umum
Pertamina, Dwi Wahyu Daryoto dalam wawancara pada awal Agustus.
Salah satu cara untuk membentuk budaya baru antikorupsi di Pertamina
adalah dengan pembentukan Culture Change Agent (CCA) baik di pusat
maupun unit dan anak perusahaan Pertamina. CCA mengawali debut pada
akhir 2012 melalui jalur resmi yaitu berdasarkan "Memo Imbauan Melakukan
Program Budaya" dengan anggota awal 40-70 orang. Salah satu program
awal adalah pembentukan CAMAT sebagai akronim dari "Change Agent
Management Team".
Pembentukan CCA adalah bagian dari Program Transformasi Pertamina
untuk menggerakkan perubahan budaya di lingkungan terdekat dulu yaitu
fungsi setingkat manajer. Setiap fungsi diminta untuk membuat program
khas untuk menjawab hambatan budaya yang muncul di masing-masing fungsi.
Tiga prinsip yang dipegang CCA adalah (1) mengetahui hal yang baik dan
benar, (2) melaksanakan hal-hal yang baik dan benar dan (3) membantu
orang lain mengetahui dan melaksanakan hal-hal yang baik dan benar.
Selanjutnya pada 2013 CCA mulai mencari anggota baru dengan cara
penunjukkan maupun sukarela melalui "open recrutiment" dengan makin
mengaktifkan agen-agen perubahan budaya di setiap unit dan area yang
total anggotanya 500 orang dengan keaktifan sekitar 100 orang.
Baru pada 2015 dengan anggota aktif sekitar 120 orang --meski anggota
tercatat adalah 600 orang-- CCA mulai melakukan kegiatan aktivasi
budaya untuk menciptakan "leaders in action".
Khusus untuk CCA di kantor pusat yang sehari-hari disebut sebagai
CCA Monas dimulai pada 2016 sebagai wadah komunikasi dan koordinasi
lintas CCA di kantor pusat.
Sosialisasi kegiatan CCA juga dilakukan melalui media sosial bagi
facebook maupun instagram (IG) dan twitter. Salah satunya adalah akun IG
@cca.pertamina.
"Harapan kami sesungguhnya adalah dapat breaking the silos
antarfungsi sehingga berpikiran sebagai satu helikopter yang utuh yaitu
Pertamina," kata CEO alias Ketua CCA Monas Johan Hadi Pranoto. Jabatan
pekerjaan Johan sesungguhnya adalah Analyst Communitaction IT Change
Management Business Demand, CSS, Direktorat SDM dan Umum Pertamina.
Sejumlah program yang sudah dikerjakan antara lain adalah kegiatan
Pertamina Energi Negeri, "Up Close and Personal" dengan sejumlah tokoh
di dalam dan luar Pertamina, kelas Monas untuk mengajarkan sejumlah
"softskill", Bazaar Energi Negeri, kompetisi pembuatan film pendek dan
tulisan dan berbagai kegiatan lain yang diikuti oleh anggota aktif
sebanyak 75 orang, rata-rata berusia muda.
Lantas apa manfaat CCA?
"Berkat kegiatan ini saya jadi menambah teman, jadi koordinasi lebih
mudah karena karyawan Pertamina kan jumlahnya ribuan orang, contohnya di
tempat saya yaitu anak perusahaan pertamina saja jumlah pekerjanya ada
3.000 orang. Kalau sudah bertemu di sini lalu bertemu lagi di acara
formal kita jadi lebih akrab, dan di sisi lain softskill bertambah,"
kata Reporting and Data Analyst Pertamina EP Ahmad Huzair, salah satu
peserta kelas.
Huzair yang mengaku awalnya adalah pribadi tertutup dan tidak percaya
diri berbicara di depan umum malah menjadi koordinator kegiatan
Pertamina Energi Negeri 2 pada Maret 2017. Kegiatan itu melibatkan 562
pekerja dari kantor pusat Pertamina Jakarta, Unit Operasi dan anak
perusahaan dari berbagai tingkat jabatan untuk mengajar anak-anak
Sekolah Dasar di 9 lokasi yang tersebar di Palembang, Jakarta, Indramayu
, Surabaya, Semarang, Balikpapan, Makassar, Jayapura dan Sorong.
Ia juga mengaku bahwa meski nilai-nilai 6 C itu tidak disampaikan
secara langsung dalam kegiatan CCA, namun semangat dari 6 C itu ia
rasakan, ditambah kegiatan tidak malah lebih luwes dan fleksibel untuk
mencapai sasaran kerja.
Hal yang sama dirasakan juga oleh staf di bagian Human Resources
Pertamina Aulia Kurnia Rahman yang sebelum ditempatkan di kantor pusat
sempat merasakan atmosfer CCA Plaju.
"Sebenarnya kalau di daerah isinya bukan hanya yang muda-muda tapi
juga yang senior karena kegiatan ini banyak manfaatnya. Di sini kita
juga menyuarakan tentang 6C termasuk clean, gratifikasinya disisipkan di
situ. Pelaporan gratifikasi di Pertamina sudah bagus dan dianggap
terbaik juga karena pekerja diwajibkan untuk melaporkan bulan lalu
apakah ada pemberian dan masuk ke KPI (key performance index), jadi itu
bisa menjadi tolak ukur sendiri," ungkap Aulia yang menjadi karyawan
Pertamina sejak 2013 itu.
Sebagai masukan Huzair dan Aulia menilai harus ada perekrutan yang
lebih besar untuk anggota CCA agar manfaat CCA dapat dirasakan lebih
banyak pegawai Pertamina.
"Harapan saya KPK datang ke Pertamina untuk memberikan pengenalan
program antikorupsi seperti PROFIT (Profesional Berintegritas) bekerja
sama dengan CCA jadi kegiatannya lebih informal dan menyentuh seluruh
lapisan pekerja, bukan hanya di ballroom yang dihadiri petinggi-petinggi
saja, semoga CCA bisa melampaui sekat-sekat itu," tambah Huzair.
Manajemen Pertamina menurut Dwi saat ini berupaya mendorong agar
anak-anak muda di Pertamina berani bersuara dan tidak ikut arus
orang-orang yang masih menginginkan budaya lama "ewuh pakeuh".
"Kalau dulu kan yang muda-muda berpikir dari pada gue sakit hati
lebih baik gue ikutan, dan memang terbukti tidak semua anak muda baik,
ada juga yang mengambil jalan pintas. Tapi kalau anak mudanya di sini
diajak ke panti asuhan, dilatih untuk bersyukur akhirnya timbul
suara-suara memang kurang apa lagi sih? Jadi tidak ada keinginan untuk
mencari-cari pendapatan lain," jelas Dwi.
Mengubah mental menurut Dwi harus dilakukan secara terus-menerus
tanpa lelah untuk terus-menerus mengingatkan pimpinan maupun pegawai
Pertamina agar dapat menjalankan seluruh aturan.
"Masalahnya bagaimana implementasi sistem itu dan perbaikan mental
itu, kuncinya cuma itu. Manusia itu gampang lupa, jadi memang paling
berat itu kegiatan campaign kita, banyak orang yang reluctant, ngapain
sih lo campaign begitu?, memang hasilnya tidak kelihatan drastis tapi
alhamdulilah sudah ada ada yang mengakui kinerja Pertamina meski masih
ada oknum-oknum karena tidak semua orang baik kan?" ungkap Dwi.
Pertamina memang telah memulai upaya bersih-bersih. Pembersihan itu
pun tidak didukung sepenuhnya oleh pihak-pihak yang terancam kehilangan
kenyamanannya, tapi keberanian untuk keluar dari zona nyaman menuju era
baru Pertamina tetap dinanti masyarakat sebagai pemilih saham utama
perusahaan negara tersebut.
Bersih-bersih Berenergi Ala Pertamina
Selasa, 12 September 2017 13:24 WIB