Rio de Janeiro (Antara Babel) - Tersisihnya Spanyol dari Piala Dunia 2014
oleh Chile tidak hanya menjadi akhir bagi salah satu tim nasional
terhebat, namun juga mengancam matinya sebuah filosofi sepak bola.
Gaya umpan satu dua Spanyol yang disebut 'tiki-taka' mendominasi jagat sepak bola dalam enam tahun terakhir, namun manakala Andres Iniesta dan Xabi Alonso dijinakkan oleh tim mengandalkan kerja keras seperti Chile di Maracana Kamis dini hari lalu maka sepertinya itu menandai akhir sebuah era.
Legenda Argentina Diego Maradona adalah di antara orang yang percaya tiki-taka telah menjadi barang peninggalan sejarah. Pertanyaannya, bisakah sebuah pendekatan yang sudah begitu menyebar itu diakhiri hanya oleh hasil sebuah pertandingan?
Gelandang Spanyol David Silva ketika ditanyai koran Inggris The Independent sebelum turnamen di Brasil berkata, "Mengapa kami mesti berubah? Kami sudah sangat bagus berkat gaya ini. Tidak perlu berubah."
Ketika Spanyol memimpin lewat tiki-taka, dengan menjuarai Euro 2008, Barcelona mengikutinya dengan mendominasi pertandingan tingkat klub Eropa antara 2008 dan 2011 di bawah Pep Guardiola, yang menerapkan filosofi bermain sama di Bayern Munchen.
Tetapi pola bermain mengandalkan serangan balik yang diterapkan Real Madrid di bawah asuhan Carlo Ancelotti telah menjinakkan tiki-taka musim lalu ketika Bayern kalah 0-5 pada semifinal Liga Champions dan Barcelona kalah pada final Copa del Rey.
Kekalahan Bayern dari Madrid tepat menggambarkan kekalahan tiki-taka saat klub Liga Spanyol itu unggul 1-0 kendati hanya menguasai 36 persen penguasaan bola di Santiago Bernabeu.
Strategi pukul balik
Di seluruh penjuru Eropa, tim-tim telah mencampakkan kiblat penguasaan bola dan mereka masih bisa menikmati sukses, taruhlah itu Atletico Madrid, Borussia Dortmund dan Chelsea yang ada di barisan depan dalam barisan tim-tim dengan gelombang baru strategi memukul atau menyerang balik.
Ketimbang mengadopsi strategi penguasaan sirkulasi bola tanpa henti yang membuat tiki-taka akhirnya dianggap membosankan, para pemeluk mazhab pukul balik mengandalkan kekuatan industri sepak bola dan organisasi pertahanan yang rapat.
Pada kesalahan yang dibuat lawannyalah mereka bertumpu, dan pada era tiki-taka, pendekatan seperti itu semakin efektif karena mereka tinggal menunggu kesalahan tim yang mengandalkan penguasaan bola dan ketika momentumnya diperoleh maka mereka akan menusuk dengan serangan balik.
Menghadapi taktik-taktik semacam itu, tiki-taka bisa terlihat naif dalam komitmen teguhnya mempertahankan penguasaan bola, namun pengaruhnya sudah begitu dalam sehingga mustahil akan benar-benar berakhir.
Adalah Barcelona, bersama Lionel Messi, yang pertama kali membuktikan kekeliruan taktik itu kepada publik, bahkan sekarang sudah biasa menyaksikan para penjaga gawang berlatih memberikan umpan first-time selama laga pemanasan menjelang Piala Dunia lalu.
Pengkultusan penguasaan bola telah memaksa para pemain di semua posisi mempertajam teknik mereka dan dipaksa mempelajari statistik penyelesaian umpan sedini mungkin setelah pertandingan berakhir.
Warisan tiki-taka bisa terlihat dari sekelompok kecil gelandang Spanyol yang bermain di berbagai klub besar Eropa, dari David Silva di Manchester City dan Santi Cazorla di Arsenal, sampai Thiago Alcantara di Bayern Munchen dan Juan Mata di Manchester United.
Tak mengubah identitas
Xavi Hernandez mungkin tidak akan pernah lagi bermain untuk Spanyol, tapi melalui imajinya, tim nasional Spanyol akan dibangun kembali.
Gelandang berusia 34 tahun yang adalah metronom sempurna bagi Spanyol dan Barcelona itu menjadi perlambang tepat untuk tiki-taka dan dia yakin akan selalu menjadi titik pertimbangan bagi tim-tim seperti klubnya di mana menunggu lawan membuat kesalahan adalah bukan opsi mereka.
"Jika Anda melewati dua tahun tanpa menang, segalanya harus diubah. Tapi Anda hanya mengubah nama, bukan identitas," kata dia dalam sebuah wawancara pada 2011.
"Filosofi tak bisa mati. Pendukung kami tidak akan menyukai tim yang duduk tenang-tenang, lalu setelah itu baru bermain," kata Xavi.
Sebagaimana diamati Jorge Sampaoli sebelum tim asuhannya, Chile, menang 2-0 dari Spanyol Kamis dini hari tadi, Spanyol menanggung akibat dari kelelahan dan meredupnya motivasi para pemain mereka setelah enam tahun melewati sukses yang nyaris konstan, bukan akibat kelemahan inheren dalam pendekatan taktik mereka.
Tiki-taka asalnya adalah dari serangkaian keadaan unik, khususnya kemunculan Barcelona dan Spanyol dari sekelompok pemain berusia relatif seumur yang dilatih dengan cara yang sama.
Tokoh-tokohnya seperti Xavi dan Iniesta, senantiasa ditakdirkan untuk digulingkan dari puncaknya, namun ketika murid-murid tiki-taka kini mendominasi sepak bola, akan terlalu cepat membunyikan lonceng kematian bagi tiki-taka.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014
Gaya umpan satu dua Spanyol yang disebut 'tiki-taka' mendominasi jagat sepak bola dalam enam tahun terakhir, namun manakala Andres Iniesta dan Xabi Alonso dijinakkan oleh tim mengandalkan kerja keras seperti Chile di Maracana Kamis dini hari lalu maka sepertinya itu menandai akhir sebuah era.
Legenda Argentina Diego Maradona adalah di antara orang yang percaya tiki-taka telah menjadi barang peninggalan sejarah. Pertanyaannya, bisakah sebuah pendekatan yang sudah begitu menyebar itu diakhiri hanya oleh hasil sebuah pertandingan?
Gelandang Spanyol David Silva ketika ditanyai koran Inggris The Independent sebelum turnamen di Brasil berkata, "Mengapa kami mesti berubah? Kami sudah sangat bagus berkat gaya ini. Tidak perlu berubah."
Ketika Spanyol memimpin lewat tiki-taka, dengan menjuarai Euro 2008, Barcelona mengikutinya dengan mendominasi pertandingan tingkat klub Eropa antara 2008 dan 2011 di bawah Pep Guardiola, yang menerapkan filosofi bermain sama di Bayern Munchen.
Tetapi pola bermain mengandalkan serangan balik yang diterapkan Real Madrid di bawah asuhan Carlo Ancelotti telah menjinakkan tiki-taka musim lalu ketika Bayern kalah 0-5 pada semifinal Liga Champions dan Barcelona kalah pada final Copa del Rey.
Kekalahan Bayern dari Madrid tepat menggambarkan kekalahan tiki-taka saat klub Liga Spanyol itu unggul 1-0 kendati hanya menguasai 36 persen penguasaan bola di Santiago Bernabeu.
Strategi pukul balik
Di seluruh penjuru Eropa, tim-tim telah mencampakkan kiblat penguasaan bola dan mereka masih bisa menikmati sukses, taruhlah itu Atletico Madrid, Borussia Dortmund dan Chelsea yang ada di barisan depan dalam barisan tim-tim dengan gelombang baru strategi memukul atau menyerang balik.
Ketimbang mengadopsi strategi penguasaan sirkulasi bola tanpa henti yang membuat tiki-taka akhirnya dianggap membosankan, para pemeluk mazhab pukul balik mengandalkan kekuatan industri sepak bola dan organisasi pertahanan yang rapat.
Pada kesalahan yang dibuat lawannyalah mereka bertumpu, dan pada era tiki-taka, pendekatan seperti itu semakin efektif karena mereka tinggal menunggu kesalahan tim yang mengandalkan penguasaan bola dan ketika momentumnya diperoleh maka mereka akan menusuk dengan serangan balik.
Menghadapi taktik-taktik semacam itu, tiki-taka bisa terlihat naif dalam komitmen teguhnya mempertahankan penguasaan bola, namun pengaruhnya sudah begitu dalam sehingga mustahil akan benar-benar berakhir.
Adalah Barcelona, bersama Lionel Messi, yang pertama kali membuktikan kekeliruan taktik itu kepada publik, bahkan sekarang sudah biasa menyaksikan para penjaga gawang berlatih memberikan umpan first-time selama laga pemanasan menjelang Piala Dunia lalu.
Pengkultusan penguasaan bola telah memaksa para pemain di semua posisi mempertajam teknik mereka dan dipaksa mempelajari statistik penyelesaian umpan sedini mungkin setelah pertandingan berakhir.
Warisan tiki-taka bisa terlihat dari sekelompok kecil gelandang Spanyol yang bermain di berbagai klub besar Eropa, dari David Silva di Manchester City dan Santi Cazorla di Arsenal, sampai Thiago Alcantara di Bayern Munchen dan Juan Mata di Manchester United.
Tak mengubah identitas
Xavi Hernandez mungkin tidak akan pernah lagi bermain untuk Spanyol, tapi melalui imajinya, tim nasional Spanyol akan dibangun kembali.
Gelandang berusia 34 tahun yang adalah metronom sempurna bagi Spanyol dan Barcelona itu menjadi perlambang tepat untuk tiki-taka dan dia yakin akan selalu menjadi titik pertimbangan bagi tim-tim seperti klubnya di mana menunggu lawan membuat kesalahan adalah bukan opsi mereka.
"Jika Anda melewati dua tahun tanpa menang, segalanya harus diubah. Tapi Anda hanya mengubah nama, bukan identitas," kata dia dalam sebuah wawancara pada 2011.
"Filosofi tak bisa mati. Pendukung kami tidak akan menyukai tim yang duduk tenang-tenang, lalu setelah itu baru bermain," kata Xavi.
Sebagaimana diamati Jorge Sampaoli sebelum tim asuhannya, Chile, menang 2-0 dari Spanyol Kamis dini hari tadi, Spanyol menanggung akibat dari kelelahan dan meredupnya motivasi para pemain mereka setelah enam tahun melewati sukses yang nyaris konstan, bukan akibat kelemahan inheren dalam pendekatan taktik mereka.
Tiki-taka asalnya adalah dari serangkaian keadaan unik, khususnya kemunculan Barcelona dan Spanyol dari sekelompok pemain berusia relatif seumur yang dilatih dengan cara yang sama.
Tokoh-tokohnya seperti Xavi dan Iniesta, senantiasa ditakdirkan untuk digulingkan dari puncaknya, namun ketika murid-murid tiki-taka kini mendominasi sepak bola, akan terlalu cepat membunyikan lonceng kematian bagi tiki-taka.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014