Sonaf (istana) Huketu Kopnan Olanit Babau Na Pan Muti Lilo Ma Baknas (Kebersatuan,  Kemerdekaan Alam Semesta) di Bilangan Oebufu Kupang, hanya berendakan Bendara Merah Putih di bagian teras dari sebuah bangunan panjang berukuran 453 meter persegi.

Ketika senja beranjak menuju keperaduan malam pada Kamis (16/10) itu, cucu kandung dari Meo Naek (Panglima Besar) Teflopo, Yoseph Ariyanto Lu Teflopo (40), memimpin sebuah ritual adat untuk menyulam kembali renda sejarah yang tercabik dari suku-suku besar di Pulau Timor oleh kolonialisme pada masa itu.

"Ritual adat tersebut hanyalah sebuah reuni belaka dari keluarga besar Teflopo, karena sudah puluhan bahkan ratusan tahun lamanya, Meo Naek Teflopo yang bertakhta di puncak Gunung Mutis itu, sudah sangat merindukan para panglimanya untuk bersua kembali di Sonaf Kebersatuan, Kemerdekaan Alam Semesta ini," kata Lu Teflopo.

Antropolog sejarah dan budaya dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof Dr Felysianus Sanga MPd yang juga hadir ketika itu, melukiskan bahwa kekuatan kolonialisme pada saat itu membuat para penguasa di suatu wilayah seakan terpinggirkan, dengan melancarkan serangan politik adu domba atau devide et empira.

"Hampir semua belahan nusantara, mengalami kisah sejarah yang sama seperti di Pulau Timor ini. Namun, upaya untuk menyulam kembali renda sejarah yang tercabik seperti yang diprakarsai oleh cucuk kandung dari Meo Naek Teflopo ini, merupakan sebuah bentuk kebangkitan sejarah," katanya.

Kebangkitan sejarah bukan berarti untuk menyingkirkan eksistensi raja-raja bentukan kolonial, tetapi untuk meluruskan dan meletakkan kembali dasar-dasar sejarah yang sesungguhnya kepada anak cucu di Pulau Timor ini, agar mereka dapat memahami risalah sejarah yang sebenarnya dari penutur adat dan sejarah yang sebenarnya pula.

Suku-suku besar yang tersebar menguasai Pulau Timor pada saat itu adalah Tefnai, Amabi, Tanof, Kesnai, Sonbai, Nesi, Kapitan, Neno Hai, Nitbani, Mela, Bin, Timo, Bani, Makleat, Talan, Tasoin, Nabuasa, Boi Kapitan, Teni Taneo, Pehe Neolaka, Tabelak, Amtaran, Amheka, Uskono, Usfinit, Ato, Lake, Bana, Sanak, Fai, Isu, Bel, Nubatonis, Kono, Oematan, Babu, Bifel, Seko, Ba'un, Tafui, Sunbanu, Toto, Tanesib, Amluki, Amfotis, Amsikan, Manu, Fa'ot, Olin, dan Selan.

Menurut Felysianus Sanga, eksistensi suku-suku besar ini diobrak-abrik oleh penjajah untuk menguasai ekonomi di wilayah yang kaya dengan cendana, susu dan madu ini.

Para penjajah sukses dalam menjalankan politik politik adu domba (devide et empira) untuk mencapai tujuan ekonomi. Mereka membentuk kelompok pemungut pajak dan mengangkat pemimpin mereka ya tahu membaca dan menulis. Kelompok ini kemudian berubah kulit menjadi raja bentukan kolonial dan mengobrak-abrik bangsanya sendiri.

Setelah koloni dapat terusir, ternyata mereka tidak memiliki kerajaan atau sonaf seperti yang dimiliki oleh suku-suku besar penguasa Pulau Timor yang telah mereka singkirkan itu.

Meski sudah lama suku-suku besar di Pulau Timor ini bercerai berai, tetapi di bawah kendali Meo Naek Teflopo, melalui salah seorang cucu kandungnya Yoseph Ariyanto Lu Teflopo, dapat menemukan mereka kembali melalui panggilan alam dan dorongan leluhur yang tak mau anak cucunya terus bercerai berai.

"Saya berkeyakinan bahwa arus darah itu tak dapat disangkal dan garis keturunan itu tak mungkin dipungkiri, ibarat memotong air yang tak mungkin putus sekalipun dengan menggunakan pedang yang tajam," ujar Lu Teflopo.

Dalam setiap derap langkahnya di Sonaf Huketu Kopnan Olanit Babau Na Pan Muti Lilo Ma Baknas, cucu kandung Meo Naek Teflopo ini berdoa dan sangat yakin bahwa suatu saat, suku-suku besar yang menguasai Pulau Timor dari puncak gunung Taebenu, gunung Fatuleu, gunung TiiMau, puncak gunung Mutis, gunung Lakaan, gunung Aileu sampai puncak gunung Ramelau di Lospalos, Timor Leste itu pasti disatukan dan akan bersatu kembali.

Atas dasar itu, ia buktikan dengan sebuah refleksi yang bermakna sebagai "Reuni Keluarga Besar Teflopo" di Sonaf Huketu Kopnan Olanit Babau Na Pan Muti Lilo Ma Baknas yang dihadiri oleh suku besar Amabi yang diwakili Martinus Amabi, suku besar Tanof yang diwakili Awat Bahren Tanof dan Balkis Soraya Bahren Tanof, suku besar Tefnai diwakili Henci Rudolof Neo Hai Tefnai, dan suku besar Kapitan diwakil Yohanes Mboo Kapitan.

Reuni tersebut dilukiskan sebagai awal dari upaya merefleksi kembali perjalanan sejarah yang panjang dan melelahkan yakni menerima peran dari Meo Naek Teflopo untuk meletakkan kembali dasar-dasar sejarah yang benar dan sesungguhnya kepada anak cucu Tanah Timor, sehingga mereka dengan benar memahami sejarah Tanah Timor yang suci, luhur, dan bermartabat di atas hamparan cendana wangi.

"Reuni ini ini tidak memiliki dimensi politik apapun dengan fenomena politik yang terjadi di Indonesia saat ini. Reuni ini semata-mata bersifat kekeluargaan untuk merajut kembali tali silaturahmi yang terputus akibat eksisnya penjajah dengan politik adu domba atau devide et empira pada saat itu," ujarnya.

Sebagai ungkapan rasa terima kasih dalam merefleksi kembali perjalanan sejarah suku-suku besar di Pulau Timor dalam bentuk reuni ini, Yoseph Ariyanto Lu Teflopo sebagai cucu kandung dari Meo Naek Teflopo, kemudian menyematkan symbol-simbol adat sebagai tanda kasih berupa destar, kujang Siliwangi, serta busana kebesaran dalam bentuk kain tenun dan pita merah yang akan diikatkan pada pinggang masing-masing pewaris suku besar Pulau Timor yang hadir dalam reuni keluarga besar Teflopo tersebut.

Cucu kandung Meo Naek Teflopo juga menaikkan destar dan kujang Siliwangi kepada dua putra Nusa Tenggara Timur yang mengabdi di tanah Bangka dan Belitung, yakni Venus Esong dan Maria Susi Susanti, ketika senja mulai melangkah pergi membawa gelap menutup ruang bumi dengan disaksikan oleh kesulungan Tanah Timor Liurai Malaka Wehali Nai Kloit Dominicus Tey Seran.

"Ini bentuk penghormatan kepada anak-anak NTT yang mengabdi di rantau orang, karena mereka juga terus bekerja untuk merajut kembali benang sejarah yang putus antara Timor dan Bangka lewat pengabdian Depati Amir dan Panglima Hamzah yang dibuang ke Pulau Timor oleh koloni Belanda pada saat itu," kata Lu Teflopo.

Dominicus Kloit Tey Seran sebagai kesulungan Tanah Timor menilai langkah sejarah yang diambil cucu kandung Meo Naek Teflopo dalam kisah reuni keluarga ini adalah sebuah tindakan yang spektakuler ketika orang modern sudah mulai lupa dan tidak lagi mengenal peran penguasa pada masa lalu.

"Ini sebuah kebangkitan sejarah..Dan, apa yang dirintis oleh cucu kandung Meo Naek Teflopo ini adalah sebuah tindakan yang luar biasa, karena tidak mudah mengumpulkan sesama saudara yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun tercerai berai, karena kekejaman kolonial pada masa itu," kata Kloit Tey Seran.

"Jika apa yang kita lakukan itu untuk sebuah kebenaran sejarah, pasti akan mendapat restu dari para leluhur. Dan, reuni keluarga besar Teflopo ini sebagai salah satu buktinya," katanya menambahkan.

Sebelum kegiatan reuni ini digelar, keluarga besar telah mendahuluinya dengan menyiram rampai di kuburan Amabi dan Leoanak di Oebufu, makam Amabi di Kuanino, makam Tanof di puncak gunung Taebenu serta Yohanes Ali Tanof dan Arindang Abdul Wahab Bahren di pekuburan Batu Kadera, pada Minggu tanggal 12 Oktober 2014.

Pewaris keturunan dari keluarga besar Tanof, Awat Bahren Tanof melukiskan kisah reuni tersebut ibarat sebuah mimpi. "Kami yang telah lama hilang, akhirnya disatukan kembali oleh cucu kandung Meo Naek Teflopo. Dan, kini kami telah kembali untuk terus bersama Teflopo seperti pada masa lalu," kata Awat.

Lukisan perasaan yang dilontarkan itu sebagai penegasan bahwa sejarah masa lalu yang dicabik-cabik oleh kolonialisme, kini mulai disulam kembali oleh cucu kandung Meo Naek Teflopo Yoseph Ariyanto Lu Teflopo lewat renda-renda sejarah mulai dari benang sejarah Amabi, Tanof, Tefnai dan Kapitan.

"Suatu saat nanti, anak cucu penguasa Tanah Timor dibawa kendali Meo Naek Teflopo, yang terbentang dari puncak Gunung Taebeno di Timor bagian barat NTT sampai ke puncak Gunung Ramelau di Timor bagian timur Timor Leste akan bersatu kembali dalam refleksi reuni keluarga besar Teflopo yang mungkin lebih menggelegar lagi," demikian Yoseph Ariyanto Lu Teflopo. ***

Pewarta: Oleh Laurensius Molan

Editor : Donatus Dasapurna Putranta


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014