Jakarta (Antara Babel) - Pertikaian di antara dua koalisi di DPR sekalipun sudah mulai menunjukkan suasana yang menggembirakan karena menghasilkan berbagai kesepakatan, ternyata kini mulai bergeser ke Istana Kepresidenan.

Terutama setelah Presiden Joko Widodo melarang semua menteri dan pejabat tinggi lainnya untuk menghadiri acara dengar pendapat dengan para wakil rakyat.

Pada 4 November 2014, Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengeluarkan Surat Edaran bernomor SE-12/Sekkab yang intinya adalah melarang para menteri, Panglima TNI beserta kepala staf angkatan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jaksa Agung, serta Kapolri untuk menghadiri pertemuan dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, alat kelengkapan DPR sampai dengan  para wakil rakyat itu melakukan konsolidasi internalnya.

Koalisi Merah Putih yang antara lain mencakup Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Golkar, Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional berhadapan dengan Koalisi Indonesia Hebat yang terdiri atas Partai Nasdem, PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan serta Partai Hati Nurani Rakyat atau Hanura untuk memperebutkan puluhan kursi pimpinan komisi-komisi serta alat kelengkapan DPR lainnya.

Ketika mengomentari keluarnya Surat Edaran Sekretaris Kabinet itu, Presiden Jokowi berkata" Iya dong. Nanti, kalau datang'kesana'keliru. Kalau datang 'kesini' keliru".

Selain itu, alasan Jokowi adalah para anggota kabinet baru bekerja satu bulan sehingga pemerintah berpendapat bahwa belum saatnya, DPR memanggil para pejabat untuk menghadiri acara di Senayan misalnya mengikuti rapat dengar pendapat alias rdp.

"Kerja baru satu bulan, apanya yang mau dipanggil?" kata Jokowi yang merupakan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta itu.

Larangan kepada para pejabat tinggi itu menimbulkan sikap pro ataupun kontra baik dari pra anggota koalisi maupun pakar-pakar. Anggota DPR dari Fraksi PKS Ledia Hanifa berpendapat bahwa sudah tidak ada lagi konflik di DPR.

Sementara itu, anggota DPR dari Fraksi Golkar Firman Subagyo mengatakan : "Larangan itu tidak boleh terjadi seharusnya".

Namun di lain pihak, Johhny Plate yang merupakan wakil rakyat dari Partai Nasdem mengatakan  pihaknya bisa memahami larangan Jokowi tersebut. Kemudian, pakar politik Maswadi Rauf menilai larangan itu merupakan hal yang aneh sehingga "Larangan itu tidak pantas dilakukan pemerintah".

Belum selesainya secara tuntas perebutan kursi di DPR yang kini ditambah lagi dengan keinginan ratusan wakil rakyat terutama dari Koalisi Merah Putih Indonesia (KMP) untuk menggunakan Hak Interpelasi terhadap Presiden Jokowi yang telah menaikkan harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM).

Kondisi ini bisa membuat rakyat menjadi makin bingung untuk mengerti atau memahami pertarungan di dunia perpolitikan di Tanah Air tercinta ini.

Jika pertarungan di antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) terutama terjadi karena KIH merasa tidak mendapat posisi atau jabatan di Senayan yang dianggap memadai, maka apakah rencana pemakaian Hak Interpelasi itu hanya "sekedar" mempertanyakan alasan kenaikan harga BBM ataukah ada langkah yang lebih jauh lagi yakni berusaha menjatuhkan atau melakukan pemakzulan terhadap Jokowi yang merupakan anggota PDIP?

                           Usaha
Jika Jokowi memerintahkan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto untuk menerbitkan Surat Edaran yang melarang para pejabat tinggi untuk datang ke Senayan, maka masyarakat sudah bisa sampai pada kesimpulan bahwa Presiden pun tidak bersedia datang ke kantornya wakil rakyat itu untuk menjelaskan kenaikan harga BBM.

Ketidakhadiran Kepala Negara bisa dicarikan alasan-alasannya mulai dari jadwal yang tidak "cocok" di antara kedua pihak, sedang kurang sehat, atau apa pun dalihnya.

Khusus mengenai harga BBM, sebenarnya rakyat pasti ingat bahwa wacana itu sudah ada sejak sebelum Jokowi masuk ke Istana Kepresidenan, yakni pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun SBY menolak melakukan hal itu sekalipun  pemerintahannya juga menyadari bahwa ratusan triliun rupiah terpaksa dikeluarkan pemerintah untuk mensubsidi harga BBM.

Indonesia setiap harinya membutuhkan BBM sekitar 1,6 juta barel sedangkan produksi riil di Tanah Air hanya berkisar pada angka 800.000 barel tiap harinya. Angka 800.000 barel itu pun harus dibagi dua antara Petamina dengan para pengusaha yang menandatangani kontrak bagi hasil yang ikut mencari minyak mentah di Indonesia.

Jadi bisa dibayangkan bahwa betapa "pontang-pantingnya" pemerintah harus menutupi kekurangan produksi minyak mentah dan hasil ikutannya berupa berbaga jenis BBM.

Jadi sebenarnya, para politisi di Senayan pasti bisa memahami bahwa kewajiban pemerintah untuk mengimpor minyak mentah yang mengakibatkan harus diberikannya subsidi ratusan miliar rupiah itu sehingga sebenarnya merupakan hal yang aneh sehingga sampai harus memanggil Presiden datang ke DPR dengan menggunakan dasar hukum" Hak Interpelasi.

Kalaupun Kepala Negara harus didatangkan maka yang pantas dipertanyakan adalah bagaimana usaha pemerintah untuk mengurangi atau menekan pemakaian BBM atau misalnya bagaimana langkah pemerintah untuk mengurangi produksi mobil dan motor yang konsumsinya makin melonjak.

Kalau begitu, maka pantas jika  rakyat bertanya penggunaan Hak Interpelasi itu hanya untuk menanyakan kebijakan Jokowi di bidang migas ataukah ada tujuan "udang di balik batu" berupaya untuk menjatuhkan pemerintahan baik melalui program jangka pendek ataupun jangka panjang.

Bagi rakyat, yang penting adalah siapa pun presidennya maka pemerintah harus mampu makin menyejahterakan masyarakat dan bukan  semakin menyengsarakan nasib puluhan juta warga di Tanah Air.

Alasan lain wakil rakyat di Koalisi Merah Putih adalah mengapa harga BBM naik pada saat harga minyak mentah dunia di berbagai pasar internasional sedang turun secara drastis?  
    
Perlu disadari bahwa sekalipun harga minyak mentah sedang anjlok, harga itu bisa berubah setiap saat karena sifatnya yang sangat bergantung kepada perdagangan berjangka atau "future trading", yakni harga disepakati sekarang tapi realisasi pengiriman baru akan dilakukan kemudian misalnya penyerahan minyak mentah baru akan dilaksanakan tiga minggu atau bahkan satu bulan setelah kontrak diteken.

Dengan pola perdagangan berjangka itu, maka bisa saja harga minyak mentah yang sekarang sedang "murah" dalam kenyataannya beberapa hari kemudian bisa melonjak lagi misalnya karena ada kilang pengolahan mimyak yang tiba-tiba rusak atau ada pemboman di daerah produksi minyak .

Karena itu, sangatlah layak jika rakyat bertanya kepada para wakil rakyat terutama anggota Koalisi Merah Putih apakah gagasan untuk memanggil Presiden Jokowi melalui Hak Interpelasi itu hanya sekadar masalah teknis ekonomi ataukah ada maksud-maksud lain di luar itu.

Para wakil rakyat baik di DPR,DPRD dan DPD serta Presiden dan Wakil Presiden baru saja terpilih dan dilantik sehingga sangat pantas mereka bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh.  
   
Kalau dulu menggunakan istilah "program 100 hari" maka pantas jika pemerintah bekerja dulu dan jika ada tanda-tanda bahwa para pejabat itu tidak berhasil atau ggal maka bolehlah mereka dipanggil untuk "diomeli".

Karena Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla baru dilantik 20 Oktober 2014 maka mereka baru bekerja belum "seumur jagung" sehingga masih pantas bekerja "banting tulang" itu. Karena itu, amat tidak berlebihan jika kedua pejabat tinggi itu beserta anggota "Kabinet Kerja" membuktikan 1001 janji- anji mereka.

Para anggota DPR terutama anggota Koalisi Merah Putih boleh saja merasa "berseberangan" dengan Jokowi tapi mereka juga harus sadar bahwa duduk di Senayan adalah sebagai wakil rakyat sehingga tugas utamanya adalah membela rakyat dan bukannya mengusik-usik pemerintahan.

Karena itu, semua pejabat perlu diberi waktu untuk bekerja maksimal dan jika tidak terbukti tidak berhasil maka sah-sah saja jika berusaha menjatuhkannya atau "memakzulkannya" atau apa pun istilahnya ataupun caranya.

Pewarta: Oleh: Arnaz Firman

Editor : Aprionis


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2014