Tim peneliti bersama pakar kesehatan saat ini berada dalam tahap akhir uji klinis manfaat obat herbal untuk COVID-19, ungkap Ketua Umum Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), dr. Inggrid Tania.
"Ya uji klinik herbal imunomodulator di Wisma Atlet yang kami,PDPOTJI lakukan bersama LIPI, UGM, Kalbe Farma, Balitbangkes bersama tim di Wisma Atlet saat ini sedang masa di tahap akhir ya karena sudah direkrut 90 subjek," kata Tania dalam diskusi PDPOTJI bersama media, Rabu (5/8) malam.
Dia dan tim masih menunggu hasil intervensi dengan produk uji selama sekitar 28 hari untuk sampai pada tahap analisa data hingga nantinya menyimpulkan apakah dua produk uji herbal imunomodulator yang diteliti bisa berhasiat secara signifikan atau bermakna dibandingkan plasebo.
Tania berharap hasil uji klinis akan bisa memberikan bukti positif, salah satunya obat herbal bisa bermanfaat terhadap COVID-19, sebagai terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar.
"Semoga nanti hasilnya menunjukkan bukti-bukti bahwa penambahan obat herbal untuk COVID-19 bisa lebih memberikan efek yang lebih bagus dibandingkan pemakaian obat standar saja. Jadi kombinasinya dengan antara herbal dengan obat standar semoga menghasilkan pengobatan yang lebih baik," tutur dia.
Sebelumnya, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan Akhmas Saikhu menegaskan, penggunaan obat tradisional seperti jamu tidak bisa menyembuhkan COVID-19, karena obat satu-satunya antivirus yang sampai saat ini masih dalam penelitian.
Penggunaan jamu atau herbal untuk membantu meringankan gejala-gejala penyerta yang bisa memperparah kondisi pasien COVID-19 seperti hipertensi dan diabetes.
Menurut Tania, tidak menutup kemungkinan obat herbal atau jejamuan yang sejauh ini bisa membantu meningkatkan imunitas tubuh bisa diklaim sebagai antivirus, misalnya untuk SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Untuk sampai pada klaim ini, perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal ini mulai dari uji in-vitro, praklinis hingga uji klinis pada strain COVID-19 secara langsung.
"Jadi jamu menguatkan sistem imun, tapi tidak menutup kemungkinan kalau nanti diteliti lebih lanjut misalnya jamu atau herbal tersebut bisa menghasilkan klaim sebagai antivirus SARS-CoV-2. Tetapi harus diteliti spesifik dari uji in-vitro, praklinis hingga uji klinis terhadap strain COVID-19 langsung," kata Tania.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020
"Ya uji klinik herbal imunomodulator di Wisma Atlet yang kami,PDPOTJI lakukan bersama LIPI, UGM, Kalbe Farma, Balitbangkes bersama tim di Wisma Atlet saat ini sedang masa di tahap akhir ya karena sudah direkrut 90 subjek," kata Tania dalam diskusi PDPOTJI bersama media, Rabu (5/8) malam.
Dia dan tim masih menunggu hasil intervensi dengan produk uji selama sekitar 28 hari untuk sampai pada tahap analisa data hingga nantinya menyimpulkan apakah dua produk uji herbal imunomodulator yang diteliti bisa berhasiat secara signifikan atau bermakna dibandingkan plasebo.
Tania berharap hasil uji klinis akan bisa memberikan bukti positif, salah satunya obat herbal bisa bermanfaat terhadap COVID-19, sebagai terapi komplementer atau melengkapi pengobatan standar.
"Semoga nanti hasilnya menunjukkan bukti-bukti bahwa penambahan obat herbal untuk COVID-19 bisa lebih memberikan efek yang lebih bagus dibandingkan pemakaian obat standar saja. Jadi kombinasinya dengan antara herbal dengan obat standar semoga menghasilkan pengobatan yang lebih baik," tutur dia.
Sebelumnya, Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kementerian Kesehatan Akhmas Saikhu menegaskan, penggunaan obat tradisional seperti jamu tidak bisa menyembuhkan COVID-19, karena obat satu-satunya antivirus yang sampai saat ini masih dalam penelitian.
Penggunaan jamu atau herbal untuk membantu meringankan gejala-gejala penyerta yang bisa memperparah kondisi pasien COVID-19 seperti hipertensi dan diabetes.
Menurut Tania, tidak menutup kemungkinan obat herbal atau jejamuan yang sejauh ini bisa membantu meningkatkan imunitas tubuh bisa diklaim sebagai antivirus, misalnya untuk SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Untuk sampai pada klaim ini, perlu penelitian lebih lanjut mengenai hal ini mulai dari uji in-vitro, praklinis hingga uji klinis pada strain COVID-19 secara langsung.
"Jadi jamu menguatkan sistem imun, tapi tidak menutup kemungkinan kalau nanti diteliti lebih lanjut misalnya jamu atau herbal tersebut bisa menghasilkan klaim sebagai antivirus SARS-CoV-2. Tetapi harus diteliti spesifik dari uji in-vitro, praklinis hingga uji klinis terhadap strain COVID-19 langsung," kata Tania.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2020