Jakarta (Antara Babel)  - "Menunda, bukan pembatalan. Itu perlu digarisbawahi..."
Kalimat yang pendek tapi penuh makna itu terlontar dari bibir Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jumat malam ketika mengumumkan sikap pemerintah terhadap kemelut atau pro kontra atas pencalonan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala Kepolisian Republik Indonesia, menggantikan Jenderal Polisi sutarman yang akan pensiun sekitar sembilan bulan lagi atau Oktober 2015.

Setelah Joko Widodo menyampaikan nama Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK malahan mengumumkan bahwa Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi.

Harta perwira tinggi berbintang tiga itu diduga sekitar Rp20 miliar, angka yang pasti sangat mencengangkan prajurit- prajurit Polri.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi masalah hukum sebaliknya mendatangi rumah Budi dan akhirnya menyetujui pencalonannya. Hasilnya dibawa ke sidang paripurna DPR yang kemudian juga menyetujuinya pada hari Kamis.

Pencalonan Budi Gunawan yang namanya kini sering disebut singkat BG itu kemudian menimbulkan sikap pro atau kontra karena statusnya sebagai seorang tersangka.

"Siapa pun juga termasuk Presiden harus mendukung KPK," kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan di Jakarta, Jumat(16/1).

Sementara itu, anggota KPK Adnan Pandu Praja juga berkomentar tentang BG alias Budi Gunawan..

"Komitmen antikorupsinya diragukan," kata Adnan ketika mengomentari keputusan Jokowi terhadap pencalonan Budi.

Ketika Jokowi menyusun kabinetnya Budi termasuk disebut-sebutnya sebagai calon menteri, KPK telah memberikan "catatan merah"  atau tidak mendukung perwira tinggi ini masuk kabinet karena ia diduga terlibat gratifikasi.

Namun tidak sedikit yang mendukung keputusan Joko Widodo maupun Budi Gunawan, misalnya seperti yang dilontarkan pengamat politik dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi.

"Karena DPR menyetujui, Presiden harus menerima konsekuensi politik untuk melantik Budi Gunawan menjadi Kapolri," kata Muradi.

Sementara itu, opini yang bisa disebut sebagai yang netral antara lain diungkapkan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi  Keuangan atau KPK,  Muhammad Yusuf.

"Mudharatnya (sifat jeleknya,red) lebih banyak jika dilantik sebagai Kapolri," kata Muhammad Yusuf..

Menyikapi pro dan kontra itu, kemudian pada hari Jumat malam, Kepala Negara memanggil Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy untuk membahas pencalonan Budi Gunawan.

Jokowi kemudian memutuskan menunda pelantikan Budi sebagai kapolri, dan menetapkan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Polisi Badrodin Haiti sebagai Pelaksana Tugas Kapolri.

Namun Kepala Negara tidak menyebutkan sampai kapan Badrodin Haiti menjadi Pelaksana Tugas Kapolri dan sampai kapan pula penundaan pengangkatan Budi Gunawan sebagai kapolri.

Jokowi memang telah mengambil keputusan tentang nasib Budi. Akan tetapi banyak warga yang masih bertanya-tanya tentang kasus ini, misalnya apakah akhirnya Budi akan tetap dilantik pejabat kapolri atau sebaliknya "terlempar atau tergusur" dari posisi yang pasti didambakan atau diincar setiap jenderal terutama yang berbintang tiga atau inspektur jenderal (irjen) yang berbintang dua.

    
Politik atau hukum
Karena KPK telah menetapkan Komjen Budi sebagai tersangka kasus gratifikasi maka seharusnya kasus ini hanya ditinjau dari aspek hukum. Akan tetapi, karena keputusan pencalonan kapolri ini merupakan hak prerogatif seorang kepala negara atau presiden, maka yang menonjol adalah aspek politiknya.

Posisi Budi yang pernah menjadi ajudan pada era presiden Megawati Soekarnoputri yang masih tetap menjadi Ketua umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) yang kini menjadi partai nomor satu di DPR serta berhasil menempatkan kadernya Joko Widodo sebagai Presiden tentu saja menimbulkan dugaan atau perkiraan bahwa pencalonan BG didukung oleh PDIP.

Dugaan ini tentu saja bisa benar atau salah, apalagi misalnya pada hari Kamis malam (15/1), Megawati  "memanggil" sejumlah politisi untuk datang ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Materi pertemuan itu memang tidak jelas.

Namun akhirnya rakyat Indonesia dan juga pasti dunia internasional melihat bagaimana keputusan Joko Widodo yang "menunda" pengangkatan Komjen Budi Gunawan sebagai kapolri dan menunjuk Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.

Sekalipun DPR menyetujui Budi sebagai calon kapolri, Presiden ternyata juga memperhatikan keputusan KPK tentang status tersangka BG.

Kalau Budi tetap disumpah sebagai pimpinan Polri, maka apa yang bakal terjadi apabila satu saat dia harus ke luar negeri, atau menerima tamu dari luar negeri ataupun misalnya bertemu dengan KPK, maka disebut- sebut " Kapolri yang juga merupakan tersangka gratifikasi oleh KPK..."

Penundaan pengangkatan Budi memang masih harus menunggu keputusan KPK, yakni apakah dia akhirnya harus diajukan ke pengadilan atau malahan sebaliknya dibebaskan karena ternyata bukti-buktinya tidak cukup untuk dibawa ke pengadilan. Keputusan KPK tentu tidak akan bisa diambil dalam satu atau dua  hari atau dua hingga tiga minggu mendatang.

Karena itu, baik pemerintah, DPR maupun masyarakat harus sabar menanti keputusan KPK tentang masalah ini. Apa pun putusan   KPK, semua pihak haru menerima  atau menghormatinya, suka ataupun tidak suka.

Sekalipun untuk sementara waktu, suasana tegang atau ketidakpastian ini sudah mulai reda, tentu  ada yang perlu direnungkan dari kasus ini, terutama yang menyangkut pencalonan seseorang menjadi pejabat tinggi atau pejabat negara.

Ucapan Komjen Budi bahwa hartanya yang bernilai sekitar Rp20 miliar bahwa "wajar dan dapat dipertanggungjawabkan" tentu pantas untuk direnungkan, melihat sisi wajar dari sudut pandang mana..

Kalau seorang jenderal bisa menguasai harta Rp20 miliar sedangkan gaji atau pendapatan resminya paling-paling hanya belasan juta rupiah setiap bulan sedangkan dia harus menghidupi keluarganya, maka bagaimana mungkin sang jenderal punya  miliaran rupiah. Apalagi ada peraturan yang melarang para pejabat untuk berbisnis. Dari mana asal kekayaannya? apakah juga wajar cara mendapatkannya? Semua perlu dibuktikan untuk menepis kecurigaan.

Budi memang pernah berkata bahwa Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri sudah pernah memeriksa dirinya dan tidak ada masalah. Namun kenapa hasil pemeriksaan Bareskrim itu berbeda jauh dengan hasil KPK?
   
Karena itu, tentu tidaklah salah jika seluruh lapisan masyarakat berharap kepada Presiden agar lebih berhati-hati jika ingin mencalonkan seseorang menjadi pejabat publik. Jika KPK dan PPATK pada bulan Oktober diminta untuk meneliti para calon menteri maka kenapa hal itu tidak juga diberlakukan kepada pencalonan setiap bakal pejabat tinggi.

Kasus Budi ini juga menimbulkan pertanyaan tentang situasi dan kondisi DPR terutama yang menyangkut Koalisi Merah Putih alias KMP dan Koalisi Indonesia Hebat atau KIH. Sekalipun disebut-sebut bahwa di Senayan sudah tidak ada lagi koalisi ini dan koalisi itu, maka masyarakat bisa bertanya apakah dua kelompok itu sudah benar-benar lebur atau hilang ataukah baru basa-basi saja.

Apakah mungkin partai- partai politik anggota KMP mau mendukung Komjen Budi Gunawan secara tulus dan ikhlas 100 persen ataukah mereka hanya "berpura-pura" mendukung Jokowi tentang pencalonan Budi dan  satu saat nanti malahan menyalahkan Jokowi yang memilih kapolri atau pejabat mana pun juga yang pernah mendapat predikat "TSK" atau tersangka kasus korupsi.

Kasus Budi Gunawan  ini pantas menjadi pelajaran mahal dan berharga baik para politisi dan juga pejabat atau calon pejabat agar berhati-hati mulai dari cara mencari harta agar tidak menimbulkan kecurigaan serta berhati-hati jika ingin mencalonkan seseorang menjadi pejabat supaya tidak lagi suasana tegang yang sebenarnya tidak perlu karena hanya akan mebingungkan sebagian besar rakyat harus mati-matian mencari uang hanya demi sesuap nasi.

Pewarta:

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015