Perth (Antara Babel) - Sekitar 23,9 persen penduduk Muslim di Australia pada 2011 tercatat memiliki gelar sarjana tapi 12,1 persen populasi mereka ternyata tidak mendapatkan pekerjaan karena terhadang diskriminasi saat melamar pekerjaan berdasarkan atas latar belakang agama.

Penelitian pada 2011 mendapati bahwa 32 persen Muslim di Australia mendapat pekerjaan jauh lebih kecil daripada rata-rata nasional, yaitu 46,8 persen. Perbedaan itu semakin mencolok bila dibandingkan dengan kelompok usia, dengan sekitar 54 persen Muslim berusia 25-45 tahun bekerja, padahal secara nasional untuk kelompok usia sama angkanya adalah 78,4 persen.

Apakah itu karena pendidikan kurang memadai? Justru jumlah Muslim di Australia adalah yang paling tinggi lulus SMA jika dibandingkan dengan mereka berlatar belakang agama lain, yaitu 25 persen. Orang dari golongan Anglikan hanya 14,6 persen yang lulus SMA, terendah daripada Muslim, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Jumlah bagus di sisi pendidikan tidak tercermin dalam dunia pekerjaan ketika Muslim melamar kerja, kata harian "The Australian", Rabu.

Direktor Pusat Penelitian Internasional untuk Pemahaman Muslim dan Non-Muslim, Riaz Hassan, menjelaskan bahwa kondisi ini mempersulit upaya Muslim untuk terintegrasi dengan seutuhynya di Australia, terutama mereka yang keturunan Lebanon.

Masalah ini sedikit banyak disebabkan oleh kerusuhan di Cronulla tahun 2005, yang disorot karena menimbulkan kesan radikalisasi sekelompok kecil Muslim di Australia.

Menurut Profesor Hassan, diskriminasi di dunia kerja sangat kerap terjadi di kalangan migran Muslim di Australia. Ia mengutip riset oleh para ekonom di Universitas Nasional Australia (ANU) yang mengirim 4.000 surat lamaran pekerjaan yang fiktif dan menghitung jumlah panggilan wawancara.

Studi itu mendapatkan fakta bahwa pelamar yang namanya berbau Anglo-Saxon memiliki peluang yang lebih besar, sementara mereka yang memiliki nama berbau Timur Tengah berpeluang paling kecil.

Pusat Penelitian Internasional untuk Pemahaman Muslim dan Non-Muslim juga menyebutkan bahwa tren ini sangat nyata di lapangan. Ketika seorang perempuan Muslim dengan kualifikasi yang sangat bagus melamar pekerjaan di tingkat junior dengan nama asli, balasannya sangat lambat. Tapi saat ia melamar dengan nama yang bernuansa Anglican, dalam waktu 30 menit saja perempuan itu menerima telepon untuk wawancara.

"Ini adalah bukti nyata diskriminasi yang melembaga di dunia mencari pekerjaan di Australia," kata  dia.

"Ada banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi (Muslim tidak mendapatkan pekerjaan meskipun mempunyai kualifikasi akademik). Bisa jadi ini soal pengakuan kualifikasi, bisa jadi soal bahasa, atau preferensi untuk bekerja di lokasi-lokasi tertentu," tambahnya.

Profesor Terence Lovat dari Universitas Newcastle yang memimpin penelitian tahun 2011 tentang pengalaman Muslim di dunia pekerjaan, menyebutkan bahwa komunitas Muslim adalah etnis yang paling menderita diskriminasi berdasarkan agama.

"Kita tidak bicara soal diskriminasi terhadap mereka yang beragama Buddha atau Katolik," katanya.

"Tapi kita menyadari bahwa diskriminasi itu ada ketika kita melihat komunitas Muslim (yang tidak banyak berhasil mendapatkan pekerjaan)," tambah dia.

Survei pada 2011 mendapatkan lamaran pekerjaan dari orang yang berlatar belakang Muslim atau Timur Tengah paling sedikit mendapatkan respon panggilan di Kota Melbourne. Posisi kedua paling sedikit dipanggil di Sydney dan Brisbane, di dunia kota ini etnis China paling rendah dipanggil untuk wawancara. Sementara di kota Brisbane dan Sydney yang paling tinggi prosentase dipanggil untuk wawancara adalah mereka dengan nama Anglo-Saxon (42 dan 38 persen), sementara pelamar dengan nama-nama Timur Tengah adalah  28 dan 21 persen.

Pewarta: Ella Syafputri

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015