PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk berhasil mencatatkan laba bersih 2021 sebesar Rp10,89 triliun, tumbuh 232,2 persen atau tiga kali lipat dibanding tahun 2020
Kami menutup tahun 2021 dengan peningkatan laba bersih tiga kali lipat dari perolehan 2020 dan kami yakin itu sudah berada di atas ekspektasi pasar. Kami pun sepenuhnya memahami bahwa ada ruang untuk peningkatan lebih baik lagi depan, kata Direktur Utama BNI (Persero) Tbk Royke Tumilaar saat konferensi pers secara daring, Rabu.
Royke menyampaikan laba bersih tersebut mampu melampaui ekspektasi pasar. Pencapaian laba bersih tersebut dihasilkan dari Pendapatan Operasional Sebelum Pencadangan (PPOP) yang tumbuh 14,8 persen (yoy) menjadi Rp31,06 triliun.
Pencapaian tersebut, lanjutnya, lebih tinggi dari pendapatan operasional sebelum pandemi. Selain itu upaya perbaikan kualitas kredit melalui monitoring, penanganan dan kebijakan yang efektif membuat cost of credit membaik menjadi 3,3 persen.
BNI mempercayai bahwa masih terdapat ruang untuk terus tumbuh kedepannya, ujarnya.
Lebih lanjut Royke menyampaikan peningkatan pendapatan operasional bank dihasilkan dari pertumbuhan kredit 5,3 persen (yoy) menjadi Rp582,44 triliun, Net Interest Margin (NIM) di level 4,7 persen, serta pendapatan berbasis komisi (FBI) yang pada akhir tahun 2021 tercatat tumbuh 12,8 persen.
Royke melanjutkan pendorong utama kredit 2021 adalah penyaluran sektor business banking terutama pembiayaan ke segmen korporasi swasta yang tumbuh 7,6 persen (yoy) menjadi Rp10,4 triliun, segmen large commercial yang tumbuh 10,4 persen menjadi Rp 40,9 triliun, dan segmen kecil juga tumbuh 12,9 persen dengan nilai kredit Rp 95,8 triliun. Secara keseluruhan kredit di sektor business banking tumbuh 4,5 persen menjadi Rp 82,4 triliun.
Sementara di sektor consumer, kredit terbesar yang tumbuh adalah kredit payroll yang naik 18,3 persen (yoy) menjadi Rp35,8 triliun, kemudian kredit kepemilikan rumah (mortgage) tumbuh 7,7 persen menjadi Rp 49,6 triliun, sehingga secara keseluruhan kredit consumer tumbuh 10,1 persen menjadi Rp 99 triliun.
Pada kesempatan yang sama Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini memaparkan peran pendapatan nonbunga juga tergolong semakin kuat pada pencapaian 2021. FBI pada 2021 tumbuh 12,8 persen (yoy) menjadi sebesar Rp13,64 triliun. FBI tahun 2021 didukung oleh fee consumer dan fee business banking yang masing-masing tumbuh 6,0 persen dan 10,7 persen.
Pertumbuhan kredit ditopang oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mencapai Rp29,17 triliun atau tumbuh 15,5 persen (yoy) dan membawa BNI pada situasi likuiditas yang sangat mencukupi dan jauh melampaui pertumbuhan kredit tahun lalu," katanya.
Penghimpunan DPK tersebut, kata Novita, menguat di kuartal 4 tahun 2021, meskipun suku bunga simpanan terus menurun. Bekal DPK tersebut membuat BNI memiliki cadangan likuiditas yang tangguh dan siap digunakan jika permintaan kredit meningkat atau pasar obligasi berubah menjadi lebih baik tahun 2022.
Dana murah atau CASA BNI juga masih mendominasi DPK, yaitu terjaga pada level 69,4 persen dari seluruh DPK. CASA terdongkrak hingga 17,1 persen (yoy) menjadi Rp506,06 triliun. Pertumbuhan dana murah ini mendorong perbaikan cost of fund dari 2,6 persen pada akhir tahun 2020 menjadi 1,6 persen tahun 2021, jelas dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022
Kami menutup tahun 2021 dengan peningkatan laba bersih tiga kali lipat dari perolehan 2020 dan kami yakin itu sudah berada di atas ekspektasi pasar. Kami pun sepenuhnya memahami bahwa ada ruang untuk peningkatan lebih baik lagi depan, kata Direktur Utama BNI (Persero) Tbk Royke Tumilaar saat konferensi pers secara daring, Rabu.
Royke menyampaikan laba bersih tersebut mampu melampaui ekspektasi pasar. Pencapaian laba bersih tersebut dihasilkan dari Pendapatan Operasional Sebelum Pencadangan (PPOP) yang tumbuh 14,8 persen (yoy) menjadi Rp31,06 triliun.
Pencapaian tersebut, lanjutnya, lebih tinggi dari pendapatan operasional sebelum pandemi. Selain itu upaya perbaikan kualitas kredit melalui monitoring, penanganan dan kebijakan yang efektif membuat cost of credit membaik menjadi 3,3 persen.
BNI mempercayai bahwa masih terdapat ruang untuk terus tumbuh kedepannya, ujarnya.
Lebih lanjut Royke menyampaikan peningkatan pendapatan operasional bank dihasilkan dari pertumbuhan kredit 5,3 persen (yoy) menjadi Rp582,44 triliun, Net Interest Margin (NIM) di level 4,7 persen, serta pendapatan berbasis komisi (FBI) yang pada akhir tahun 2021 tercatat tumbuh 12,8 persen.
Royke melanjutkan pendorong utama kredit 2021 adalah penyaluran sektor business banking terutama pembiayaan ke segmen korporasi swasta yang tumbuh 7,6 persen (yoy) menjadi Rp10,4 triliun, segmen large commercial yang tumbuh 10,4 persen menjadi Rp 40,9 triliun, dan segmen kecil juga tumbuh 12,9 persen dengan nilai kredit Rp 95,8 triliun. Secara keseluruhan kredit di sektor business banking tumbuh 4,5 persen menjadi Rp 82,4 triliun.
Sementara di sektor consumer, kredit terbesar yang tumbuh adalah kredit payroll yang naik 18,3 persen (yoy) menjadi Rp35,8 triliun, kemudian kredit kepemilikan rumah (mortgage) tumbuh 7,7 persen menjadi Rp 49,6 triliun, sehingga secara keseluruhan kredit consumer tumbuh 10,1 persen menjadi Rp 99 triliun.
Pada kesempatan yang sama Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini memaparkan peran pendapatan nonbunga juga tergolong semakin kuat pada pencapaian 2021. FBI pada 2021 tumbuh 12,8 persen (yoy) menjadi sebesar Rp13,64 triliun. FBI tahun 2021 didukung oleh fee consumer dan fee business banking yang masing-masing tumbuh 6,0 persen dan 10,7 persen.
Pertumbuhan kredit ditopang oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mencapai Rp29,17 triliun atau tumbuh 15,5 persen (yoy) dan membawa BNI pada situasi likuiditas yang sangat mencukupi dan jauh melampaui pertumbuhan kredit tahun lalu," katanya.
Penghimpunan DPK tersebut, kata Novita, menguat di kuartal 4 tahun 2021, meskipun suku bunga simpanan terus menurun. Bekal DPK tersebut membuat BNI memiliki cadangan likuiditas yang tangguh dan siap digunakan jika permintaan kredit meningkat atau pasar obligasi berubah menjadi lebih baik tahun 2022.
Dana murah atau CASA BNI juga masih mendominasi DPK, yaitu terjaga pada level 69,4 persen dari seluruh DPK. CASA terdongkrak hingga 17,1 persen (yoy) menjadi Rp506,06 triliun. Pertumbuhan dana murah ini mendorong perbaikan cost of fund dari 2,6 persen pada akhir tahun 2020 menjadi 1,6 persen tahun 2021, jelas dia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022