"Beliau mengatakan kalau ada permintaan maaf kepada PKI  maka kami akan berhadapan dengan NU, Muhmmadiyah, TNI dan Polri," kata Sekretaris Umum Pimpinan Muhammadiyah Abdul Muti di Istana Kepresidenan di Jakarta baru-brau  ini.

Yang dimaksud dengan beliau adalah Presiden Joko Widodo atau Jokowi setelah pengurus baru PP Muhammadiyah menemui mantan wali kota Solo itu antara lain untuk menanyakan kebenaran berbagai isu bahwa Kepala Negara akan mengeluarkan permintaan maaf terhadap partai komunis itu yang melancarkan kudeta pada tahun 1965.

Abdul Muti kemudian mengatakan" Ternyata beliau mengatakan sama sekali tidak ada agenda bahkan  terpikir pun tidak sehingga kalau ada isu- isu yang berkembang di media bahwa pemerintah  akan minta maaf kepada PKI, maka sudah kami klarifikasi".

Abdul Muti kemudian berkata" Kami minta klrifikasi kepada Presiden tentang isu yang berseliweran  apakah pemerintah  akan memberikan pernyataan atau minta maaf kepada PKI". Ia menegaskan bahwa selain untuk memperkenalkan kepengurusan baru, maka para pimpinan Muhammadiyah sengaja menemui mantan gubernur DKI Jakarta ini untuk minta penjelasan tentang akan dikeluarkan atau tidaknya permintaan maaf pemerintah kepada para pemberontak itu.

Tanpa terasa upaya pemberontakan yang dilakukan oleh para anggota dan simpatisan pada tahun 1965 itu terjadi 50 tahun lalu yang antara lain ditandai dengan diculiknya dan dibunuhnya secara keji beberapa jenderal, perwira menengah Tentara Nasional Angkatan Darat serta seorang gadis cilik, Ade Irma Nasution yang merupakan anak kedua Jenderal Abdul Haris Nasution.

Penegasan Presiden Joko Widodo tentang tidak akan disampaikannya permintaan maaf kepada PKI itu muncul karena kini muncul lagi sikap pro dan kontra tentang upaya kesekian kalinya yang dilancarkan PKI untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah, yang saat itu dipimpin Presiden Soekarno.

Selain sikap jelas pemerintah, maka kini muncul sikap dari sebuah organisasi yang bernama Gerakan Bela Negara atau GBN, yang tidak ingin atau sangat menentang  lahirnya kembali organisasi  yang berlambang palu dan arit, apalagi masih ada beberapa negara yang menganut paham komunisme.

"Saat ini, ada beberapa tanda kebangkitan PKI seperti munculnya lambang-lambang partai terlarang itu di beberapa daerah," kata Wakil Ketua Umum GBN Brigadir Jenderal TNI Purnawirawan Adityawarman Taha.

Sementara itu, baru-baru ini menjelang Kepala Negara menyampaikan pidato kenegaraan menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Republik Indonesia, Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Soerjadi juga menyinggung masalah partai terlarang itu yang telah berulang kali berusaha melakukan kudeta.

Soerjadi minta Presiden jangan membicarakan masalah PKI di depan sidang DPR terutama permintaan maaf kepada partai terlarang itu karena mereka telah membunuh banyak perwira senior ABRI (saat itu yang kini bernama TNI) khususnya TNI-AD.

Masalah ini mungkin sudah lama dilupakan  Bangsa Indonesia terutama generasi mudanya yang tidak mengalami masa pahit getirnya suasana di tahun 1965-an saat antek- antek PKI bermunculan dalam pemerintahan. Generasi muda yang tidak merasakan suasana "panas'  saat G-30S/PKI mulai aksinya dan keadaan setelah itu. Masyarakat yang hidup saat itu, pasti tidak akan melupakan siaran televisi yang menggambarkan betapa sulitnya mencari mayat- mayat perwira Angkatan Darat yang diculik, dibunuh dan kemudian dimasukkan ke dalam lubang di kawasan Lubang Buaya di Jakarta Timur. Kemudian bagaimana usaha para perwira bersama tokoh- tokoh masyarakat untuk memulihkan pemerintahan apalagi ada kecurigaan atau diduga terlibatnya pucuk pimpinan negara saat itu pada peristiwa berdarah-darah itu.

Setelah PKI ditumpas atau digulung maka sebagian pimpinan dan anggota partai palu arit itu dipindahkan ke Pulau Buru, Maluku untuk diasingkan.

    
  Minta maaf?
    
Seorang tokoh agama Frans Magnis Suseno baru- baru ini mengeluarkan sebuah pernyataan yang menarik, yang patut direnungkan.

"Pemerintah harus minta maaf. Pengakuan bahwa telah terjadi kejahatan besar yang ditutup-tutupi. Malahan kalau mungkin diberi restitusi (atau ganti rugi)," kata Frans Magnis Suseno yang dikenal sebagai salah satu rohaniwan terkenal dan terkemuka.

Pemberontakan G-30-S/ PKI memang telah menimbulkan korban jiwa dan luka-luka yang jumlahnya mencapai ribuan orang.

Namun pertanyaan yang bisa muncul akibat pernyataan Magnis Suseno itu adalah kenapa pemerintahan Republik Indonesia yang harus minta maaf kepada PKI dan antek- anteknya? Kalau pemerintah RI yang harus minta maaf dan bahkan kemudian memberi ganti rugi maka sedikitnya bias timbul kesan atau pendapat bahwa pemerintahan yang sah lah yang memprakarsai atau memulai tindakan kekerasan pada September-Oktober itu. Kalau pemerintah yang memulai peristiwa berdarah itu, maka wajarlah jika Jakarta yang meminta maaf.

Akan tetapi, karena peristiwa itu didalangi oleh partai komunis maka tentu saja permintaan Magnis Suseno itu terasa aneh atau janggal.  Pihak lain yang berbuat bodoh atau sama sekali tidak bertanggung jawab maka kok pemerintahan yang sah yang harus minta maaf bahwa memberikan ganti rugi.

Karena itu, sangatlah tepat kalau Presiden Jokowi menegaskan bahwa  pemerintahannya tidak pernah berpikir untuk minta maaf kepada PKI.

Sementara itu, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan atau menegaskan bahwa permintaan maaf kepada PKI itu sama sekali belum pernah dibahas dalam sidang kabinet sekalipun juga.

"Tidak pernah dibicarakan dalam sidang- sidang kabinet maupun ketika mendampingi beliau (Jokowi,red)," kata Pramono dengan tegas.

Jika Kepala Negara, Sekretaris Kabinet dan berbagai lembaga masyarakat sudah menegaskan sikap mereka tentang sama sekali tidak diperlukannya permintaan maaf pemerintah kepada partai terlarang itu dan ribuan keluarganya, maka tidak berlebihan tentunya apabila tuntutan rohaniwan Frans Magnis Suseno itu bisa tidak usah dipikirkan atau patut dikesampingkan.

Bahkan kepada Magnis Suseno harus dipertanyakan apakah di pernah menuntut ketua DN Aidit, Letnan Kolonel Untung untuk minta maaf kepada jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban langsung ataupun tidak langsung dari pemberontakan PKI itu"?
   
Kalau Magnis Suseno tidak pernah menuntut PKI dan antek-anteknya untuk minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, maka tentu tuntutan kepada pemerintahan saat ini tidak perlu dilanjutkan".

Bangsa Indonesia kini sedang terus membangun yang sayangnya "diganggu" oleh berbagai faktor dalam negeri dan  eksternal seperti melemahnya kegiatan ekonomi dunia. Karena itu, niat bangsa ini untuk mengembangkan dirinya jangan diganggu oleh ajakan atau usul yang "aneh-aneh" yang malahan hanya membuat bangsa ini ribut terus.

Tentu boleh saja jika keluarga Pahlawan Revolusi seperti anak dan cucu Jenderal Achmad Yani, Jenderal DI Pandjaitan, Jenderal Sutoyo, Jenderal AH Nasution dan lainnya untuk bermaaf-maafan dengan keluarga Aidit dan lainnya. Namun bukan berarti aspek hukum dari pemberontakan itu harus dihapus atau dihilangkan.

Biar bagaimanapun juga pemberontakan demi pemberontakan yang dilontarkan PKI sedikitpun tidak boleh dilupakan atau "ditinggalkan" hanya demi rekonsiliasi. Hukum harus ditegakkan sekalipun misalnya anak-anak dan cucu Jenderal Yani bersalaman atau berpelukan dengan sanak saudara Aidit.

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015