Berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang untuk pertama kali dilaksanakan pada bulan Juni 2005.
Landasan normatif dalam Hukum di Indonesia dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa peraturan yang utama, pengakuan kesamaan kedudukan dalam pemerintahan diakui dalam Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.
Dengan pengakuan tersebut penguatan dan otonomi perempuan serta pengembangan status perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik adalah esensial bagi prestasi pemerintahan dan administrasi yang transparan dan akuntabel serta pembangunan yang berkelanjutan di semua bidang kehidupan.
Dalam tahun 2015 pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pertama kali di laksanakan di 269 daerah di Indonesia. Selanjutkan pada Pilkada tahun 2020 di 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2020 ada di 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, dan Kabupaten Belitung Timur.
Hak-hak politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum maupun dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut. Undang – Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women).
Partisipasi menjadi tolak ukur dalam penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya, tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.
Keterlibatan setiap warga menjadi mutlak bagi tercapainya tujuan nasional, karena tanpa adanya partisipasi politik perempuan, maka tujuan negara yang hendak dicapai menjadi sulit untuk diwujudkan.
Partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Faktor pendukung rendahnya partisipasi diantaranya kesadaran politik dan kurangnya pemahaman tentang politik praktis.
Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat, tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya.
Anggota masyarakat perlu berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pemerintah tanpa membedakan jenis kelamin (Gender) baik laki-laki maupun perempuan didalam kehidupan sosial berbangsa, setiap warga negara pada dasarnya tidak berbeda atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum, termasuk hak berpolitik, dan hak untuk memberikan pendapat.
Kini gerbang demokrasi telah dibuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan diri telah dijamin bahwa Perspektif Gender dan Eksistensi Perempuan diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 dalam Pasal 92 Ayat (11) komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Semestinya frasa “memperhatikan” menjadi catatan bagi penguatan Demokrasi yang berspektif gender dengan menghadirkan kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan walaupun bukan suatu kewajiban tetapi beririsan terhadap penentuan kebijakan penyelenggaraan pemilu dalam sistem Demokrasi.
Pergerakan politik perempuan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi.
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada pemilu tahun 2020, merupakan salah satu kontestasi politik. Pergantian kepemimpinan sebagai salah satu wujud demokrasi dalam pelaksanaan pemilu, yang menuntut keterlibatan warga negara didalamnya.
Kegiatan pemilu ditujukan sebagai sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif.
Kehadiran perempuan sebagai penyelenggara maupun pengawas Pemilu telah memberi warna dalam berbagai kegiatan pencegahan maupun pengawasan. Perempuan memiliki gaya atau style kepemimpinan yang khas, memiliki pendekatan logika dan pendekatan persuasive dalam memotivasi masyarakat maupun menghindari politik uang serta kecurangan dalam Pemilu.
Propaganda politik dan berbagai upaya mengubah orientasi mendorong kaum perempuan ikut aktif berpartisipasi sebagai pengawas pemilu.
Partisipasi politik perempuan sangat mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk memikul tanggung jawab, mengambil keputusan, juga berorientasi pada pelayanan lingkungan dan minat yang mencerminkan keuletan dan kelebihan seorang srikandi pengawas. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik diekspektasikan akan meningkatkan demokrasi.
Batasan ruang lingkup partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan pemilu sejatinya juga disebabkan oleh proses politik. lembaga penyelenggara pemilu sangat didominasi oleh laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik terlalu mendominasi proses politik dan kebijakan publik yang dihasilkan.
Padahal perempuan memiliki nilai, kepentingan kebutuhan dan aspirasi yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini sangat penting untuk dapat terwakili sebagai srikandi penyelenggara pemilu, untuk memberikan perubahan terhadap proses politik ke arah yang lebih demokratis.
Diskursus mengenai keterlibatan perempuan dalam pengawasan politik, merupakan indikasi kemajuan dan kualitas demokrasi yang menyatakan bahwa seharusnya setiap pengambilan kebijakan senantiasa menghadirkan sensitifitas gender.
Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi.
Sebagai salah satu intrumen demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk mengukur kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat.
Sehingga keterlibatan setiap elemen masyarakat menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. Keikutsertaan perempuan sebagai pengawas pemilu tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong politik perempuan dan menentukan bentuk dari berpartisipasi.
Dukungan keluarga dan masyarakat sangat membantu kaum perempuan dapat melaksanakan kerja-kerja pengawasan.
Secara kuantitas data pengawas perempuan dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangka Barat masih jauh dari yang diharapkan, namun partisipasi Pengawas Perempuan yang diwujudkan dalam Komunitas Pesan Ibu sangat membantu kerja-kerja pengawasan pada semua tahapan pemilukada.
Tantangan berat bagi perempuan Indonesia saat ini, diantaranya masih adanya keraguan di kalangan masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran sebagai pengawas pemilu.
Persoalan yang dihadapi perempuan lebih disebabkan kendala nilai sosial budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga politik, kendatipun aspek kemampuan intelegensi, manajerial dan kemampuan kepemimpinan perempuan Indonesia memiliki kualitas yang memadai dan setara dengan kaum lelaki.
Disisi lain masih kurangnya pengetahuan perempuan tentang pemilu, faktor kedudukan kaum perempuan dalam rumah tangga yang terikat dan membelenggu hak-hak kebebasannya, dengan izin dari suami serta tugas merawat dan mengasuh dalam rumah tangga menjadikan kaum perempuan enggan untuk turut berkiprah sebagai pengawas pemilu.
Perjuangan kedepan adalah bagaimana startegi yang harus ditempuh agar keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sebanyak 30% dapat menjadi kenyataan.
Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen, di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk menetapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan demokratis.
Di tengah banyaknya informasi media yang simpang siur, literasi politik oleh perempuan juga menjadi penting sebagai modal partisipasi perempuan.
Sehingga kandidat yang terpilih juga mampu mengakomodasi aspirasi dan tuntutan-tuntutan perempuan.
Untuk memaksimalkan partisipasi perempuan pada penyelenggaraan pemilu, yang menjadi menarik adalah bagaimana mengorganisasikan dan memaksimalkan relawan perempuan. sehingga perlu dilibatkan dalam advokasi isu perempuan.
Saat ini sudah waktunya perempuan mengoptimalkan peranannya guna mengubah kebijakan yang masih didominasi kepetingan laki-laki dan buta gender (gender blind).
Perempuan harus mengejar ketertinggalannya selama ini dengan bekerja ekstra, memberdayakan para kandidat yang akan duduk di lembaga formal dengan membekali pendidikan, kemampuan kepemimpinan guna mendukung kinerjanya sebagai Pengawas politik, Perempuan harus keluar rumah, bangun organisasi dan pergerakan perempuan melawan partriarki, militerisme dan kapitalisme, serta mengimplementasi hak-hak politik dan partisipasi politik agar terwujudnya demokrasi yang berkeadilan dalam perspektif gender.
Penulis: Erika Herlina, M.Pd;
Komisioner Bawaslu Kabupaten Bangka Barat
Devisi Hukum, Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022
Kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang untuk pertama kali dilaksanakan pada bulan Juni 2005.
Landasan normatif dalam Hukum di Indonesia dilihat dari Undang-Undang Dasar 1945 dan beberapa peraturan yang utama, pengakuan kesamaan kedudukan dalam pemerintahan diakui dalam Pasal 27 ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.
Dengan pengakuan tersebut penguatan dan otonomi perempuan serta pengembangan status perempuan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik adalah esensial bagi prestasi pemerintahan dan administrasi yang transparan dan akuntabel serta pembangunan yang berkelanjutan di semua bidang kehidupan.
Dalam tahun 2015 pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak pertama kali di laksanakan di 269 daerah di Indonesia. Selanjutkan pada Pilkada tahun 2020 di 270 daerah dengan rincian 9 Provinsi, 224 Kabupaten, dan 37 Kota.
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2020 ada di 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, dan Kabupaten Belitung Timur.
Hak-hak politik perempuan ditetapkan melalui instrumen hukum maupun dengan meratifikasi berbagai konvensi yang menjamin hak-hak politik tersebut. Undang – Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 46 menyebutkan sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif dan yudikatif harus menjadi keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Penegasan hak-hak politik perempuan dibuktikan dengan telah diratifikasinya Konvensi Hak-hak Politik Perempuan (Convention on the Political Rights of Women).
Partisipasi menjadi tolak ukur dalam penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya, tanpa membedakan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan.
Keterlibatan setiap warga menjadi mutlak bagi tercapainya tujuan nasional, karena tanpa adanya partisipasi politik perempuan, maka tujuan negara yang hendak dicapai menjadi sulit untuk diwujudkan.
Partisipasi dapat dipandang sebagai dimensi utama stratifikasi sosial. Faktor pendukung rendahnya partisipasi diantaranya kesadaran politik dan kurangnya pemahaman tentang politik praktis.
Seiring dengan era reformasi yang semakin terbuka ditandai dengan hidupnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat, tentunya memberikan kesempatan yang luas kepada setiap warga negara untuk menikmatinya.
Anggota masyarakat perlu berpartisipasi dalam penentuan kebijakan pemerintah tanpa membedakan jenis kelamin (Gender) baik laki-laki maupun perempuan didalam kehidupan sosial berbangsa, setiap warga negara pada dasarnya tidak berbeda atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum, termasuk hak berpolitik, dan hak untuk memberikan pendapat.
Kini gerbang demokrasi telah dibuka dengan lebar dan peluang perempuan untuk turut mengaktualisasikan diri telah dijamin bahwa Perspektif Gender dan Eksistensi Perempuan diatur dalam UU nomor 7 tahun 2017 dalam Pasal 92 Ayat (11) komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Semestinya frasa “memperhatikan” menjadi catatan bagi penguatan Demokrasi yang berspektif gender dengan menghadirkan kesetaraan gender dalam pengambilan keputusan walaupun bukan suatu kewajiban tetapi beririsan terhadap penentuan kebijakan penyelenggaraan pemilu dalam sistem Demokrasi.
Pergerakan politik perempuan menjadi suatu bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi.
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada pemilu tahun 2020, merupakan salah satu kontestasi politik. Pergantian kepemimpinan sebagai salah satu wujud demokrasi dalam pelaksanaan pemilu, yang menuntut keterlibatan warga negara didalamnya.
Kegiatan pemilu ditujukan sebagai sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif.
Kehadiran perempuan sebagai penyelenggara maupun pengawas Pemilu telah memberi warna dalam berbagai kegiatan pencegahan maupun pengawasan. Perempuan memiliki gaya atau style kepemimpinan yang khas, memiliki pendekatan logika dan pendekatan persuasive dalam memotivasi masyarakat maupun menghindari politik uang serta kecurangan dalam Pemilu.
Propaganda politik dan berbagai upaya mengubah orientasi mendorong kaum perempuan ikut aktif berpartisipasi sebagai pengawas pemilu.
Partisipasi politik perempuan sangat mempengaruhi kemampuan dan kecakapan untuk memikul tanggung jawab, mengambil keputusan, juga berorientasi pada pelayanan lingkungan dan minat yang mencerminkan keuletan dan kelebihan seorang srikandi pengawas. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan politik diekspektasikan akan meningkatkan demokrasi.
Batasan ruang lingkup partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan pemilu sejatinya juga disebabkan oleh proses politik. lembaga penyelenggara pemilu sangat didominasi oleh laki-laki, sehingga nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas mereka menentukan agenda politik terlalu mendominasi proses politik dan kebijakan publik yang dihasilkan.
Padahal perempuan memiliki nilai, kepentingan kebutuhan dan aspirasi yang berbeda dengan laki-laki. Perbedaan ini sangat penting untuk dapat terwakili sebagai srikandi penyelenggara pemilu, untuk memberikan perubahan terhadap proses politik ke arah yang lebih demokratis.
Diskursus mengenai keterlibatan perempuan dalam pengawasan politik, merupakan indikasi kemajuan dan kualitas demokrasi yang menyatakan bahwa seharusnya setiap pengambilan kebijakan senantiasa menghadirkan sensitifitas gender.
Tiada demokrasi tanpa partisipasi politik warga, sebab partisipasi merupakan esensi dari demokrasi.
Sebagai salah satu intrumen demokrasi, pemilu merupakan sarana untuk mengukur kualitas dan kuantitas partisipasi masyarakat.
Sehingga keterlibatan setiap elemen masyarakat menjadi syarat mutlak bagi keberlangsungan demokrasi. Keikutsertaan perempuan sebagai pengawas pemilu tidak dapat dilepaskan dari adanya motif yang mendorong politik perempuan dan menentukan bentuk dari berpartisipasi.
Dukungan keluarga dan masyarakat sangat membantu kaum perempuan dapat melaksanakan kerja-kerja pengawasan.
Secara kuantitas data pengawas perempuan dalam pemilu kepala daerah di Kabupaten Bangka Barat masih jauh dari yang diharapkan, namun partisipasi Pengawas Perempuan yang diwujudkan dalam Komunitas Pesan Ibu sangat membantu kerja-kerja pengawasan pada semua tahapan pemilukada.
Tantangan berat bagi perempuan Indonesia saat ini, diantaranya masih adanya keraguan di kalangan masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran sebagai pengawas pemilu.
Persoalan yang dihadapi perempuan lebih disebabkan kendala nilai sosial budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga politik, kendatipun aspek kemampuan intelegensi, manajerial dan kemampuan kepemimpinan perempuan Indonesia memiliki kualitas yang memadai dan setara dengan kaum lelaki.
Disisi lain masih kurangnya pengetahuan perempuan tentang pemilu, faktor kedudukan kaum perempuan dalam rumah tangga yang terikat dan membelenggu hak-hak kebebasannya, dengan izin dari suami serta tugas merawat dan mengasuh dalam rumah tangga menjadikan kaum perempuan enggan untuk turut berkiprah sebagai pengawas pemilu.
Perjuangan kedepan adalah bagaimana startegi yang harus ditempuh agar keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu sebanyak 30% dapat menjadi kenyataan.
Dengan disepakatinya kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di parlemen, di satu sisi merupakan agenda besar bagi perempuan untuk menetapkan langkahnya berpartisipasi dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, dan menyuarakan aspirasi perempuan yang selama ini terpinggirkan dan juga mengubah kondisi masyarakat kearah yang lebih baik dan demokratis.
Di tengah banyaknya informasi media yang simpang siur, literasi politik oleh perempuan juga menjadi penting sebagai modal partisipasi perempuan.
Sehingga kandidat yang terpilih juga mampu mengakomodasi aspirasi dan tuntutan-tuntutan perempuan.
Untuk memaksimalkan partisipasi perempuan pada penyelenggaraan pemilu, yang menjadi menarik adalah bagaimana mengorganisasikan dan memaksimalkan relawan perempuan. sehingga perlu dilibatkan dalam advokasi isu perempuan.
Saat ini sudah waktunya perempuan mengoptimalkan peranannya guna mengubah kebijakan yang masih didominasi kepetingan laki-laki dan buta gender (gender blind).
Perempuan harus mengejar ketertinggalannya selama ini dengan bekerja ekstra, memberdayakan para kandidat yang akan duduk di lembaga formal dengan membekali pendidikan, kemampuan kepemimpinan guna mendukung kinerjanya sebagai Pengawas politik, Perempuan harus keluar rumah, bangun organisasi dan pergerakan perempuan melawan partriarki, militerisme dan kapitalisme, serta mengimplementasi hak-hak politik dan partisipasi politik agar terwujudnya demokrasi yang berkeadilan dalam perspektif gender.
Penulis: Erika Herlina, M.Pd;
Komisioner Bawaslu Kabupaten Bangka Barat
Devisi Hukum, Penindakan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2022