Jakarta (Antara Babel) - Memasuki satu tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla muncul dorongan agar Presiden melaksanakan perombakan kabinet (reshuffle) jilid dua.

Reshuffle pertama pada Agustus lalu dinilai masih belum mampu membuat perubahan sebagaimana yang diharapkan, meski Presiden Jokowi telah mengganti sejumlah menteri di bidang ekonomi.

Menko Perekonomian Sofyan Djalil diganti oleh Darmin Nasution, Menteri Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo diganti Rizal Ramli, Menteri Perencanan Pembangunan Nasional/Bappenas Andrinof Chaniago diganti Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel digantikan oleh Thomas Lembong.

Di luar bidang ekonomi, Presiden Jokowi juga memberhentikan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdjiatno dan mengangkat Luhut Binsar Pandjaitan sebagai penggantinya. Sekretaris Kabinet yang sebelumnya dijabat Andi Widjajanto diserahkan kepada Pramono Anung.

Namun, Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai Kopi) mencatat sebagian besar masyarakat masih belum puas dengan kinerja pemerintah pascareshuffle berdasarkan survei yang mereka lakukan terhadap 384 responden di seluruh Indonesia.

"Dari survei yang telah kami lakukan sebanyak 54,7 persen masyarakat tidak puas terhadap kinerja Jokowi-JK," kata pakar komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio saat membeberkan hasil survei Kedai Kopi dalam sebuah kegiatan diskusi politik di Jakarta.

Ia menyebutkan sebagian besar masyarakat merasa tidak puas dengan bidang ekonomi, dengan persentase mencapai 71,9 persen dari total 384 responden.

Pada urutan selanjutnya, ketidakpuasan masyarakat jatuh pada bidang hukum yang mencapai 50,8 persen, diikuti bidang politik sebanyak 50,3 persen dari jumlah responden yang sama.

"Satu yang diapresiasi masyarakat, yaitu kemaritiman sebanyak 57,0 persen. Responden yang tidak puas di bidang tersebut hanya 33,9 persen," ujar Hendri memaparkan.

    
Semangat Baru
   
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M Massardi berpendapat, perombakan kabinet bisa  menumbuhkan gagasan dan semangat baru bagi kemajuan pembangunan nasional.

"Kita ingat pemerintahan ke belakang, tidak ada kemajuan. Tapi itu berubah sejak ada 'reshuffle' Agustus kemarin. Reshuffle ada kecenderungan memunculkan ide dan gagasan baru," ujar Adhie di Jakarta.

Dia mencontohkan, salah satu gagasan baru tersebut ialah munculnya program Bela Negara yang dimotori Kementerian Pertahanan.

Menurut dia, program tersebut sebagai usaha dari pemerintah untuk menyadarkan masyarakat bahwa negara harus bersiap untuk menghadapi kondisi bahaya.

"Jika akan 'reshuffle', pasti Presiden sudah lebih paham untuk menentukan siapa yang akan diganti. Siapa yang tidak sejalan dengan program yang ia laksanakan sudah seharusnya diganti," ujar juru bicara presiden di era kepresidenan KH Abdurrahman Wahid itu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menyatakan setahun masa pemerintahan cukup bagi Jokowi melakukan penilaian terhadap kinerja menterinya.

"Jika memang akan melakukan 'reshuffle' jilid dua maka harus selesai sebelum akhir tahun ini, karena tahun depan ada pembahasan APBN baru dan pemerintah harus mengakselerasi ekonomi," kata Djayadi Hanan saat ditemui di Jakarta.

Dia mengatakan salah satu syarat akselerasi ekonomi adalah kondisi politik yang tidak gaduh. Sedangkan perombakan kabinet berpeluang menciptakan kegaduhan politik, sehingga batas waktu melakukan perombakan adalah akhir tahun 2015.

"Karena tahun depan pemerintahan harus berlari, kerja, kerja, dan kerja," ucapnya.

Menurut Djayadi, presiden bisa melihat tiga ukuran dalam menentukan reshuffle kabinet, yakni dari evaluasi objektif yang didasari hasil pemantauan tim presiden, evaluasi politik yakni memantau perilaku menteri apakah membantu atau justru mengganggu kerja kabinet, serta evaluasi publik melalui hasil-hasil kajian lembaga survei.

Tiga evaluasi itu mutlak dilakukan untuk menghasilkan keputusan objektif.

"Presiden nanti bisa putuskan menterinya bisa direshuffle atau tidak," kata dia.

Sementara itu terkait kementerian mana saja yang dipandang kurang memuaskan kinerjanya saat ini, Hanan mengatakan Presiden bisa menilai dari masalah utama yang dihadapi bangsa saat ini.

"Misalnya, dalam mengatasi pengangguran kementerian mana saja yang terlibat, dalam kurangi orang miskin kementerian mana saja yang terlibat, dalam menjaga harga kebutuhan pokok siapa saja terlibat. Presiden bisa mengecek mana yang tidak bekerja dengan baik," tuturnya.

    
Respons Dingin
   
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi merespons dingin wacana reshuffle jilid dua. Ia menyebut wacana perombakan atau reshuffle kabinet adalah isu ringan yang tidak penting dibicarakan.

"Reshuffle ini masalah ringan, tidak penting dibicarakan atau diwacanakan. Ada baiknya bangsa ini tidak pusing 'merecoki' urusan presiden," kata Yuddy di Jakarta.

Yuddy mengatakan perombakan kabinet adalah hal biasa yang menjadi hak presiden. Selama ini menteri kabinet kerja tidak pernah memikirkan hal tersebut.

"Jadi, mau presiden mempertahankan menteri hingga bertahun-tahun seperti era Pak Soeharto ya biasa saja, mau presiden mengganti menteri setiap minggu seperti era Gus Dur biasa saja, semua hak mandataris presiden," ujarnya.

PDI Perjuangan juga meyakini Presiden Joko Widodo saat ini lebih fokus bekerja bersama kabinet untuk menyelesaikan persoalan ekonomi ketimbang memikirkan masalah perombakan kabinet.

"Dengan pernyataan-pernyataan Presiden, pemerintah saat ini lebih fokus terhadap konsolidasi bagaimana mengatasi masalah perekonomian (dibandingkan reshuffle). Dan memang syarat dari reshuffle itu menghindari risiko politik baru," kata Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.

Hasto mengatakan PDIP memandang dalam situasi sekarang ini pemerintah sebaiknya tetap fokus menyelesaikan tantangan sektor ekonomi daripada berbicara aspek-aspek yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan.

"Kami tidak pernah campur tangan (dalam reshuffle). Presiden tentu melakukan berdasarkan pertimbangan matang, tapi saat ini pemerintah berdasarkan pernyataannnya lebih fokus konsolidasi," tekan Hasto.

Sedangkan terkait wacana masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) dalam kabinet, PDIP mengatakan secara umum akan mendukung segala hal yang memberikan kemanfaatan bagi konsolidasi pemerintahan dan mampu mempercepat program pembangunan.

Sesuai sistem presidensial yang dianut Indonesia --meski beberapa kalangan menyebut presidensial yang dianut Indonesia tidak murni-- rehuffle kabinet merupakan hak prerogatif presiden.

Sejauh ini Presiden Jokowi belum pernah mengisyaratkan, apalagi menyebut dengan jelas, rencana reshuffle jilid dua.

Masyarakat, tepatnya sejumlah kalangan di masyarakat, boleh-boleh saja mewacanakan bahkan mendorong reshuffle jilid dua, tapi harus disadari semua itu tergantung keputusan presiden.

Pewarta: Roy Rosa Bachtiar

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2015