Pengamat Politik dari Universitas Widya Mandira Kupang, Nusa Tenggara Timur, Mikhael Rajamuda Bataona menilai peluang koalisi besar antara PDIP dengan koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) semakin terbuka menghadapi Pilpres 2024.

"Peluang terjadinya koalisi besar antara PDIP, KIR, KIB semakin terbuka lebar pada Pilpres 2024 untuk menghadapi koalisi perubahan yang digagas Nasdem, Demokrat dan PKS," katanya ketika dihubungi di Kupang, Jumat.

Ia mengatakan makna-makna simbolik yang direpresentasikan para pimpinan partai politik KIB (Golkar, PAN, PPP) dan KIR (Gerindra dan PKB) sejauh ini menunjukkan indikasi yang kuat.

Terutama dalam narasi komunikasi politik yang muncul, terbaca bahwa mereka memiliki satu titik pijak yang sama yaitu melawan pihak yang menolak melanjutkan visi kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Artinya, baik KIR maupun KIB, keduanya mempunyai situasi psikologis dan suasana kebatinan yang sama, yaitu menolak calon presiden yang menjadi anti tesis Presiden Jokowi.

Menurut dia, bagi KIR maupun KIB, melanjutkan proyek pembangunan seperti Ibu Kota Negara (IKN), program hilirisasi bahan tambang seperti nikel, tembaga, program dana desa, pembangunan infrastruktur dan lainnya dalam rangka memperkuat perekonomian Indonesia adalah hal yang wajib.

Program-program itu, kata dia, adalah kerja-kerja nyata Presiden Jokowi yang wajib dilanjutkan demi Indonesia hebat, sehingga bagi KIR, KIB maupun PDIP, kata dia, taruhannya akan sangat mahal jika kepemimpinan berikutnya jatuh ke tangan kelompok yang menjadi anti tesis Presiden Jokowi.

"Inilah alasan rasional mengapa koalisi PDIP, KIB, KIR, berpeluang terjadi karena pada dasarnya mereka mempunyai situasi psikologis dan suasana kebatinan yang sama. Yaitu sebagai gerbong besar yang ingin melanjutkan program-program Presiden Jokowi," katanya.

Bataona mengatakan, hal lain dari simbolisme politik yang sering direpresentasikan dua gerbong ini (KIB dan KIR) adalah dua poros koalisi ini, meskipun berbeda nama tetapi isinya sama yaitu sama-sama ingin agar ada "Jokowi baru" yang melanjutkan kepemimpinan bangsa ini.

"Pemegang 'kartu as' dua poros koalisi ini, adalah Presiden Jokowi. Artinya, dari yang terbaca secara politik, KIB adalah poros koalisi yang sengaja dikonsolidasikan dan sangat nampak sebagai representasi kekuatan Jokowi," katanya.

KIB, kata dia, seperti sebuah sekoci politik yang memang dirancang dan sudah disiapkan Presiden Jokowi untuk menjadi alat tawar menawar dengan PDIP dan KIR.

Dengan demikian, pada saatnya, PDIP akan berkomunikasi dengan Jokowi mengenai siapa yang harus dimajukan oleh PDIP. PDIP akan sangat mendengarkan Jokowi karena di belakangnya ada kekuatan politik besar yaitu KIB.

"Dari situ dapat diinterpretasi bahwa akan sangat mudah bagi PDIP untuk mendekati KIB dan membangun komunikasi dalam rangka berkoalisi, bahkan bisa saja PDIP menawarkan opsi ini ke KIR juga," katanya.

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.  

Saat ini, terdapat 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga, pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.

Pewarta: Aloysius Lewokeda

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023