Kenyataan kelam itu datang tatkala Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada Rabu (29/3) malam WIB secara resmi mengumumkan pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia Sepak Bola FIFA U-20 2023.
Esok harinya, langit Jakarta seolah merasakan kesedihan dan kekecewaan masyarakat Indonesia. Hujan deras mengguyur ibu kota.
Kantor Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di Senayan, Jakarta, berhias deretan karangan bunga lengkap dengan beragam kalimat, namun senada, memberikan semangat.
Di tempat berbeda, di Hotel Sultan, Senayan, para pesepak bola muda Indonesia menunjukkan wajah lesu dengan pita hitam melingkar di lengan. Hokky Caraka dan kawan-kawan berkumpul bersama dengan pelatih, staf, serta jajaran pengurus PSSI yang juga hadir dengan perasaan yang sama. Sedih dan kecewa.
Dalam dua tahun terakhir, mereka berlatih keras di dalam maupun luar negeri. Menguras fisik dan mental. Jauh dari orang tua dan sahabat mereka jalani untuk impian tampil di Piala Dunia U-20.
Namun harapan skuad Garuda Muda runtuh seketika. Satu slot peserta di pesta sepak bola terakbar usia muda itu hilang seiring pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah.
Pencoretan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menjadi pukulan telak bagi Indonesia yang telah lama mempersiapkan diri sebagai tuan rumah pesta sepak bola di dunia tersebut. Dari aspek mana pun, sudah pasti rugi.
Menilik ke belakang, Indonesia mendapat status tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2019 setelah bersaing dengan Brasil dan Peru. Kala itu, Piala Dunia U-20 seharusnya bergulir pada 2021, namun pandemi COVID-19 memaksa ajang tersebut ditunda hingga 2023.
Indonesia terus bekerja keras membangun sarana dan prasarana, di antaranya memperbaiki enam stadion di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Palembang, dan Bali untuk memenuhi standar FIFA.
Masyarakat Indonesia pun bersemangat karena ini menjadi kali pertama Tanah Air tercinta menjadi penyelenggara.
Seiring berjalannya waktu, persoalan itu tiba. Sejumlah pihak mulai melontarkan keberatan, khususnya ketika Israel yang tahun lalu lolos kualifikasi Piala Dunia U-20 untuk pertama kalinya.
Seruan penolakan Israel makin menyeruak mendekati tanggal penyelenggaraan, yakni 20 Mei-11 Juni 2023. Semula FIFA tetap yakin Indonesia dapat mengatasi segala persoalan yang ada.
Bahkan FIFA tetap dalam keputusan untuk menggelar Piala Dunia U-20 di Tanah Air, meski terjadi Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang menghilangkan 135 nyawa.
Namun penolakan dari beberapa pejabat tinggi di daerah membuat FIFA pada Minggu (26/3) mengumumkan untuk menunda dan akhirnya membatalkan drawing atau pengundian grup di Bali yang seharusnya terlaksana Jumat (31/3).
Pembatalan tiba-tiba dari acara pengundian grup memicu kekhawatiran Indonesia kehilangan status tuan rumah.
Benar saja, FIFA akhirnya resmi mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Meski faktanya, FIFA tidak merinci alasan konkret keputusan tersebut, mereka hanya menyatakan "karena keadaan saat ini".
Sanksi
Kabar buruk tidak berhenti di pencoretan, FIFA melalui pernyataannya juga menyebut akan ada potensi sanksi untuk Indonesia.
Mendengar kabar tersebut, teringat luka lama pada 2015. Kala itu, Indonesia mendapat sanksi dari FIFA lantaran adanya intervensi pemerintah ke PSSI yang berakhir dengan larangan berkompetisi secara internasional selama setahun.
Bayang-bayang itu yang saat ini dirasakan. Bahkan potensi sanksi lebih berat itu ada, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali.
"Tinggal yang ditunggu tindakan susulan, tentu saya berharap jangan sampai kita terkena sanksi berat," kata Amali, sembari mengingat sejarah kelam pada 2015.
Berbagai spekulasi terkait sanksi bermunculan. Dari beragam potensi hukuman, paling pahit dan mengerikan adalah pembekuan PSSI oleh FIFA. Jika ini terjadi, hukuman dapat merembet ke yang lain hingga berdampak buruk pada persepakbolaan di Tanah Air.
Sanksi lain yang membayangi adalah penolakan FIFA untuk PSSI berpartisipasi pada semua ajang kalender FIFA. Ada juga potensi sanksi yang membuat Indonesia sulit untuk kembali mendapat kesempatan menjadi tuan rumah ajang internasional, termasuk tuan rumah Piala Dunia 2034.
Pada sisi lain, kepercayaan dunia terhadap Indonesia berpotensi hilang. Tak hanya dalam urusan sepak bola, melainkan olahraga lainnya.
Padahal selama ini, Pemerintah melalui Kemenpora terus berupaya membawa ajang internasional ke Indonesia dengan misi besar menjadi tuan rumah Olimpiade 2036.
Celah
Sanksi berat membayangi, namun tentu harapan besar itu tidak terjadi. Para pemangku kepentingan sudah pasti bakal berjuang agar FIFA tak keras dalam memberikan hukuman.
Bahkan sebelum FIFA mengumumkan pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah, Pemerintah Indonesia dan PSSI langsung gerak cepat.
Dengan arahan Presiden Joko Widodo, Ketua Umum PSSI Erick Thohir langsung terbang ke Doha, Qatar untuk berdiplomasi mencari solusi. Memang pada akhirnya tak sesuai harapan, namun itu telah menunjukkan keseriusan Indonesia.
Jokowi pun kembali meminta Erick Thohir untuk terus berupaya semaksimal mungkin agar sepak bola Indonesia tidak terkena sanksi, termasuk kesempatan untuk menjadi tuan rumah ajang-ajang lainnya.
Pun bila terkena sanksi sesuai dengan pernyataan FIFA, harapannya tidak terlalu berat. Sebelum mengeluarkan hukuman, FIFA juga pastinya sudah memperhitungkan segala aspek, termasuk kecintaan masyarakat Indonesia terhadap sepak bola. Dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Itu yang menjadi landasan FIFA berpotensi tidak memberikan sanksi keras.
Contoh konkret ketika Tragedi Kanjuruhan. Indonesia bisa terlepas dari sanksi FIFA setelah Pemerintah Indonesia melakukan langkah cepat untuk melakukan pendekatan kepada FIFA.
Namun tetap saja semua keputusan ada di FIFA. Harapan besar tentu saja Indonesia tak terkena sanksi. Pun bila ada, jangan sampai memberatkan.
Terpenting lagi seperti yang diungkapkan Jokowi, jadikan hal ini sebagai pembelajaran berharga bagi kita semua, bagi persepakbolaan Indonesia.
Pembenahan harus tetap dilakukan agar situasi seperti saat ini tak terulang. Kalimat penutup yang kurang lebih sama untuk naskah Tragedi Kanjuruhan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023
Esok harinya, langit Jakarta seolah merasakan kesedihan dan kekecewaan masyarakat Indonesia. Hujan deras mengguyur ibu kota.
Kantor Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di Senayan, Jakarta, berhias deretan karangan bunga lengkap dengan beragam kalimat, namun senada, memberikan semangat.
Di tempat berbeda, di Hotel Sultan, Senayan, para pesepak bola muda Indonesia menunjukkan wajah lesu dengan pita hitam melingkar di lengan. Hokky Caraka dan kawan-kawan berkumpul bersama dengan pelatih, staf, serta jajaran pengurus PSSI yang juga hadir dengan perasaan yang sama. Sedih dan kecewa.
Dalam dua tahun terakhir, mereka berlatih keras di dalam maupun luar negeri. Menguras fisik dan mental. Jauh dari orang tua dan sahabat mereka jalani untuk impian tampil di Piala Dunia U-20.
Namun harapan skuad Garuda Muda runtuh seketika. Satu slot peserta di pesta sepak bola terakbar usia muda itu hilang seiring pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah.
Pencoretan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menjadi pukulan telak bagi Indonesia yang telah lama mempersiapkan diri sebagai tuan rumah pesta sepak bola di dunia tersebut. Dari aspek mana pun, sudah pasti rugi.
Menilik ke belakang, Indonesia mendapat status tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 2019 setelah bersaing dengan Brasil dan Peru. Kala itu, Piala Dunia U-20 seharusnya bergulir pada 2021, namun pandemi COVID-19 memaksa ajang tersebut ditunda hingga 2023.
Indonesia terus bekerja keras membangun sarana dan prasarana, di antaranya memperbaiki enam stadion di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Palembang, dan Bali untuk memenuhi standar FIFA.
Masyarakat Indonesia pun bersemangat karena ini menjadi kali pertama Tanah Air tercinta menjadi penyelenggara.
Seiring berjalannya waktu, persoalan itu tiba. Sejumlah pihak mulai melontarkan keberatan, khususnya ketika Israel yang tahun lalu lolos kualifikasi Piala Dunia U-20 untuk pertama kalinya.
Seruan penolakan Israel makin menyeruak mendekati tanggal penyelenggaraan, yakni 20 Mei-11 Juni 2023. Semula FIFA tetap yakin Indonesia dapat mengatasi segala persoalan yang ada.
Bahkan FIFA tetap dalam keputusan untuk menggelar Piala Dunia U-20 di Tanah Air, meski terjadi Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 yang menghilangkan 135 nyawa.
Namun penolakan dari beberapa pejabat tinggi di daerah membuat FIFA pada Minggu (26/3) mengumumkan untuk menunda dan akhirnya membatalkan drawing atau pengundian grup di Bali yang seharusnya terlaksana Jumat (31/3).
Pembatalan tiba-tiba dari acara pengundian grup memicu kekhawatiran Indonesia kehilangan status tuan rumah.
Benar saja, FIFA akhirnya resmi mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Meski faktanya, FIFA tidak merinci alasan konkret keputusan tersebut, mereka hanya menyatakan "karena keadaan saat ini".
Sanksi
Kabar buruk tidak berhenti di pencoretan, FIFA melalui pernyataannya juga menyebut akan ada potensi sanksi untuk Indonesia.
Mendengar kabar tersebut, teringat luka lama pada 2015. Kala itu, Indonesia mendapat sanksi dari FIFA lantaran adanya intervensi pemerintah ke PSSI yang berakhir dengan larangan berkompetisi secara internasional selama setahun.
Bayang-bayang itu yang saat ini dirasakan. Bahkan potensi sanksi lebih berat itu ada, sebagaimana diungkapkan Wakil Ketua Umum PSSI Zainudin Amali.
"Tinggal yang ditunggu tindakan susulan, tentu saya berharap jangan sampai kita terkena sanksi berat," kata Amali, sembari mengingat sejarah kelam pada 2015.
Berbagai spekulasi terkait sanksi bermunculan. Dari beragam potensi hukuman, paling pahit dan mengerikan adalah pembekuan PSSI oleh FIFA. Jika ini terjadi, hukuman dapat merembet ke yang lain hingga berdampak buruk pada persepakbolaan di Tanah Air.
Sanksi lain yang membayangi adalah penolakan FIFA untuk PSSI berpartisipasi pada semua ajang kalender FIFA. Ada juga potensi sanksi yang membuat Indonesia sulit untuk kembali mendapat kesempatan menjadi tuan rumah ajang internasional, termasuk tuan rumah Piala Dunia 2034.
Pada sisi lain, kepercayaan dunia terhadap Indonesia berpotensi hilang. Tak hanya dalam urusan sepak bola, melainkan olahraga lainnya.
Padahal selama ini, Pemerintah melalui Kemenpora terus berupaya membawa ajang internasional ke Indonesia dengan misi besar menjadi tuan rumah Olimpiade 2036.
Celah
Sanksi berat membayangi, namun tentu harapan besar itu tidak terjadi. Para pemangku kepentingan sudah pasti bakal berjuang agar FIFA tak keras dalam memberikan hukuman.
Bahkan sebelum FIFA mengumumkan pencoretan Indonesia sebagai tuan rumah, Pemerintah Indonesia dan PSSI langsung gerak cepat.
Dengan arahan Presiden Joko Widodo, Ketua Umum PSSI Erick Thohir langsung terbang ke Doha, Qatar untuk berdiplomasi mencari solusi. Memang pada akhirnya tak sesuai harapan, namun itu telah menunjukkan keseriusan Indonesia.
Jokowi pun kembali meminta Erick Thohir untuk terus berupaya semaksimal mungkin agar sepak bola Indonesia tidak terkena sanksi, termasuk kesempatan untuk menjadi tuan rumah ajang-ajang lainnya.
Pun bila terkena sanksi sesuai dengan pernyataan FIFA, harapannya tidak terlalu berat. Sebelum mengeluarkan hukuman, FIFA juga pastinya sudah memperhitungkan segala aspek, termasuk kecintaan masyarakat Indonesia terhadap sepak bola. Dengan penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia memiliki potensi pasar yang besar. Itu yang menjadi landasan FIFA berpotensi tidak memberikan sanksi keras.
Contoh konkret ketika Tragedi Kanjuruhan. Indonesia bisa terlepas dari sanksi FIFA setelah Pemerintah Indonesia melakukan langkah cepat untuk melakukan pendekatan kepada FIFA.
Namun tetap saja semua keputusan ada di FIFA. Harapan besar tentu saja Indonesia tak terkena sanksi. Pun bila ada, jangan sampai memberatkan.
Terpenting lagi seperti yang diungkapkan Jokowi, jadikan hal ini sebagai pembelajaran berharga bagi kita semua, bagi persepakbolaan Indonesia.
Pembenahan harus tetap dilakukan agar situasi seperti saat ini tak terulang. Kalimat penutup yang kurang lebih sama untuk naskah Tragedi Kanjuruhan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2023