Jakarta (Antara Babel) - Terorisme merupakan puncak dari aksi kekerasan yang bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung terhadap orang lain.
Dimulai hampir dua dasawarsa terakhir ini, aksi terorisme kembali mencuat hingga membuat khawatir masyarakat Indonesia dengan munculnya kelompok teror yang menyerang simbol asing hingga negara melalui kepolisian.
Tepat pada 1 Agustus 2000 terjadi ledakan bom dari sebuah mobil yang parkir di depan rumah dinas Duta Besar untuk Indonesia Leonides T Caday kawasan Menteng Jakarta Pusat menewaskan dua orang dan melukai 21 orang.
Rangkaian teror bom di Indonesia terus terjadi dengan sasaran lambang atau simbol asing yang dilakukan kelompok radikal, karena alasan ingin menunjukkan sikap "pemberontakan" terhadap pemerintah Indonesia yang dianggap mendukung negara asing, khususnya Amerika Serikat.
Kemudian kelompok teroris itu menargetkan peledakan bom di Bursa Efek Jakarta dan Kedubes Malaysia di Jakarta.
Bahkan kelompok radikal itu "menggelar" aksi serangkaian ledakan bom tepat malam Natal pada beberapa kota di Indonesia yang merengut nyawa 16 orang tewas, 96 korban luka dan 37 mobil rusak pada 24 Desember 2000.
Pelaku teror semakin berani menyerang tempat ibadah Gereja Santa Anna dan HKBP di kawasan Kalimalang Jakarta Timur pada 22 Juli 2001, kemudian ledakan bom di Plaza Atrium Senen Jakarta Pusat, 23 September 2001.
Namun, serangan teror bom terbesar terjadi tiga ledakan di Bali yang menelan korban 202 orang tewas dan 300 orang luka 12 Oktober 2002.
Rangkaian teror bom tersebut digawangi Imam Samudera, Ali Imron, Muchlas dan Amrozi, serta melibatkan warga Malaysia yang dianggap tokoh utama teroris yakni Noordin M Top dan Dr Azhari.
Lepas dari bayangan Imam Samudera cs yang telah dieksekusi mati, kemudian muncul peneror lainnya seperti Santoso berbasis di Poso Sulawesi Tengah yang lebih berkiblat kepada kelompok bersenjata ISIS.
Pengamat teroris Al Chaidar pernah menyatakan sasaran kelompok Santoso berasal dari Jamaah Islamiyah (JI) yang memiliki dendam terhadap anggota Polri.
"Itu dendam lamanya sejak JI (terbentuk) karena banyak dari mereka dan mantan JI yang ditangkap polisi," ucap Al Chaidar.
Mayoritas anggota JI bergabung dengan organisasi lain, termasuk ISIS yang digerakkan Abubakar Al Baqdadi sebagai pimpinan tertinggi.
Al Chaidar menganggap kelompok pendukung ISIS menyimpan rasa dendam yang tinggi dan menargetkan polisi sebagai sasaran penyerangan.
Penyerangan kelompok bersenjata itu menjalankan modus dengan berbaur dengan masyarakat sipil dan meninggalkan kesan eksklusif.
Beberapa kejadian terjadi teror terhadap polisi seperti bom bunuh diri saat anggota apel pagi di Polres Poso pada 9 Juni 2013, namun tidak ada korban dari pihak kepolisian.
Kemudian ledakan bom dan baku tembak antara pelaku teror dengan anggota kepolisian di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016.
Mantan Komisioner Kompolnas Edi Hasibuan menyatakan rencana pergantian Kapolri dari Jenderal Polisi Badrodin Haiti kepada Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian menjadi momentum dan penangkapan kelompok Santoso tetap sebagai prioritas.
Edi menyebutkan perburuan Santoso menjadi ujian bagi Tito Karnavian ketika secara resmi menyandang jabatan Kapolri yang saat ini masih menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kepolisian Indonesia (Lemkapi) itu menganggap Polri maupun TNI kesulitan menangkap Santoso karena terkendala kondisi geografis.
"Tapi yakin Santoso akan tertangkap karena ini soal waktu saja," sebut Edi.
Edi mengingatkan polisi harus selalu waspada terhadap potensi ancaman teroris meskipun saat ini situasi dan kondisi nisbi aman.
Potensi ancaman teror, menurut Edi tidak dapat dianggap remeh sehingga polisi harus menindaklanjuti segala bentuk laporan maupun informasi yang mencurigakan.
Siap Serang Pospol
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar mengatakan empat terduga teroris yang ditangkap di Surabaya, Jawa Timur terungkap siap menyerang pos kepolisian (Pospol).
Boy mengungkapkan anggota kelompok yang menginduk ISIS itu hendak menyerang simbol negara atau kepolisian lantaran dianggap memberantas teror.
Para pelaku memetakan empat lokasi yang akan menjadi sasaran aksi teror bom yakni Polres Tanjung Perak Surabaya, Pos Polisi Jalan Darmo, Pos Polisi Jalan Basuki Rahmat dan Pos Polisi Taman Bungkul.
Keempat tersangka teroris itu adalah Priyo Hadi Utomo (PHP), Befri Rahmawan (BR) alias Azis alias Ibnu, Feri Novandi (FN) alias Abu Fahri alias Koceng dan Sali alias Abah (SS).
"Keempatnya ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua Depok Jawa Barat," tutur mantan Kapolda Banten itu.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terungkap tersangka PHP diduga siap menjadi pelaku bom bunuh diri atau "pengantin" dengan barang bukti ditemukan tiga bom bunuh diri siap ledak di wilayah Surabaya.
Anggota Densus 88 Antiteror Polri membekuk PHP di Kenjeran Surabaya, BR di ditangkap di Jalan Kalianak Surabaya, FN diringkus di rumahnya yang berada di Dukuh Setro Kecamatan Tambaksari Surabaya.
PHP, BR dan FN dijerat Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sedangkan, tersangka Sali yang berperan sebagai perakit bahan peledak dikenakan Pasal 7, Pasal 13 huruf B dan C Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain membuat bom, Sali juga menyiapkan tempat perakitan bahan peledak dan mengetahui aksi serangan yang akan dilakukan.
Tersangka PHP sebagai pemimpin kelompok, ahli merekrut dan membuat bahan peledak, BR yang mengatur rencana aksi dan menyediakan bahan peledak dan menyiapkan calon eksekutor, sedangkan FN merangkai elektronik menggunakan sensor cahaya.
Tambah Anggaran
Pada kesempatan lain, Kepala BNPT Komjen Polisi Tito Karnavian mengajukan penambahan anggaran untuk program penanganan teroris pada 2017 senilai Rp892 miliar kepada Komisi III DPR RI.
Tito menjelaskan awalnya Bappenas telah menetapkan pagu anggaran BNPT sebesar Rp505.592.273.000 pada 13 Mei 2016, angka itu menurun dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp531.914.878.000.
Padahal saat penyusunan RKP 2017 yang melibatkan Bappenas, Kementerian Keuangan dan BNPT, Tito mengusulkan alokasi anggaran RP892.379.553.000.
Kekurangan dana Rp386 miliar itu, diungkapkan Tito untuk belanja barang dan modal terkait program BNPT.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016
Dimulai hampir dua dasawarsa terakhir ini, aksi terorisme kembali mencuat hingga membuat khawatir masyarakat Indonesia dengan munculnya kelompok teror yang menyerang simbol asing hingga negara melalui kepolisian.
Tepat pada 1 Agustus 2000 terjadi ledakan bom dari sebuah mobil yang parkir di depan rumah dinas Duta Besar untuk Indonesia Leonides T Caday kawasan Menteng Jakarta Pusat menewaskan dua orang dan melukai 21 orang.
Rangkaian teror bom di Indonesia terus terjadi dengan sasaran lambang atau simbol asing yang dilakukan kelompok radikal, karena alasan ingin menunjukkan sikap "pemberontakan" terhadap pemerintah Indonesia yang dianggap mendukung negara asing, khususnya Amerika Serikat.
Kemudian kelompok teroris itu menargetkan peledakan bom di Bursa Efek Jakarta dan Kedubes Malaysia di Jakarta.
Bahkan kelompok radikal itu "menggelar" aksi serangkaian ledakan bom tepat malam Natal pada beberapa kota di Indonesia yang merengut nyawa 16 orang tewas, 96 korban luka dan 37 mobil rusak pada 24 Desember 2000.
Pelaku teror semakin berani menyerang tempat ibadah Gereja Santa Anna dan HKBP di kawasan Kalimalang Jakarta Timur pada 22 Juli 2001, kemudian ledakan bom di Plaza Atrium Senen Jakarta Pusat, 23 September 2001.
Namun, serangan teror bom terbesar terjadi tiga ledakan di Bali yang menelan korban 202 orang tewas dan 300 orang luka 12 Oktober 2002.
Rangkaian teror bom tersebut digawangi Imam Samudera, Ali Imron, Muchlas dan Amrozi, serta melibatkan warga Malaysia yang dianggap tokoh utama teroris yakni Noordin M Top dan Dr Azhari.
Lepas dari bayangan Imam Samudera cs yang telah dieksekusi mati, kemudian muncul peneror lainnya seperti Santoso berbasis di Poso Sulawesi Tengah yang lebih berkiblat kepada kelompok bersenjata ISIS.
Pengamat teroris Al Chaidar pernah menyatakan sasaran kelompok Santoso berasal dari Jamaah Islamiyah (JI) yang memiliki dendam terhadap anggota Polri.
"Itu dendam lamanya sejak JI (terbentuk) karena banyak dari mereka dan mantan JI yang ditangkap polisi," ucap Al Chaidar.
Mayoritas anggota JI bergabung dengan organisasi lain, termasuk ISIS yang digerakkan Abubakar Al Baqdadi sebagai pimpinan tertinggi.
Al Chaidar menganggap kelompok pendukung ISIS menyimpan rasa dendam yang tinggi dan menargetkan polisi sebagai sasaran penyerangan.
Penyerangan kelompok bersenjata itu menjalankan modus dengan berbaur dengan masyarakat sipil dan meninggalkan kesan eksklusif.
Beberapa kejadian terjadi teror terhadap polisi seperti bom bunuh diri saat anggota apel pagi di Polres Poso pada 9 Juni 2013, namun tidak ada korban dari pihak kepolisian.
Kemudian ledakan bom dan baku tembak antara pelaku teror dengan anggota kepolisian di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat pada 14 Januari 2016.
Mantan Komisioner Kompolnas Edi Hasibuan menyatakan rencana pergantian Kapolri dari Jenderal Polisi Badrodin Haiti kepada Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian menjadi momentum dan penangkapan kelompok Santoso tetap sebagai prioritas.
Edi menyebutkan perburuan Santoso menjadi ujian bagi Tito Karnavian ketika secara resmi menyandang jabatan Kapolri yang saat ini masih menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kepolisian Indonesia (Lemkapi) itu menganggap Polri maupun TNI kesulitan menangkap Santoso karena terkendala kondisi geografis.
"Tapi yakin Santoso akan tertangkap karena ini soal waktu saja," sebut Edi.
Edi mengingatkan polisi harus selalu waspada terhadap potensi ancaman teroris meskipun saat ini situasi dan kondisi nisbi aman.
Potensi ancaman teror, menurut Edi tidak dapat dianggap remeh sehingga polisi harus menindaklanjuti segala bentuk laporan maupun informasi yang mencurigakan.
Siap Serang Pospol
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Boy Rafli Amar mengatakan empat terduga teroris yang ditangkap di Surabaya, Jawa Timur terungkap siap menyerang pos kepolisian (Pospol).
Boy mengungkapkan anggota kelompok yang menginduk ISIS itu hendak menyerang simbol negara atau kepolisian lantaran dianggap memberantas teror.
Para pelaku memetakan empat lokasi yang akan menjadi sasaran aksi teror bom yakni Polres Tanjung Perak Surabaya, Pos Polisi Jalan Darmo, Pos Polisi Jalan Basuki Rahmat dan Pos Polisi Taman Bungkul.
Keempat tersangka teroris itu adalah Priyo Hadi Utomo (PHP), Befri Rahmawan (BR) alias Azis alias Ibnu, Feri Novandi (FN) alias Abu Fahri alias Koceng dan Sali alias Abah (SS).
"Keempatnya ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua Depok Jawa Barat," tutur mantan Kapolda Banten itu.
Berdasarkan hasil pemeriksaan terungkap tersangka PHP diduga siap menjadi pelaku bom bunuh diri atau "pengantin" dengan barang bukti ditemukan tiga bom bunuh diri siap ledak di wilayah Surabaya.
Anggota Densus 88 Antiteror Polri membekuk PHP di Kenjeran Surabaya, BR di ditangkap di Jalan Kalianak Surabaya, FN diringkus di rumahnya yang berada di Dukuh Setro Kecamatan Tambaksari Surabaya.
PHP, BR dan FN dijerat Pasal 7 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sedangkan, tersangka Sali yang berperan sebagai perakit bahan peledak dikenakan Pasal 7, Pasal 13 huruf B dan C Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Selain membuat bom, Sali juga menyiapkan tempat perakitan bahan peledak dan mengetahui aksi serangan yang akan dilakukan.
Tersangka PHP sebagai pemimpin kelompok, ahli merekrut dan membuat bahan peledak, BR yang mengatur rencana aksi dan menyediakan bahan peledak dan menyiapkan calon eksekutor, sedangkan FN merangkai elektronik menggunakan sensor cahaya.
Tambah Anggaran
Pada kesempatan lain, Kepala BNPT Komjen Polisi Tito Karnavian mengajukan penambahan anggaran untuk program penanganan teroris pada 2017 senilai Rp892 miliar kepada Komisi III DPR RI.
Tito menjelaskan awalnya Bappenas telah menetapkan pagu anggaran BNPT sebesar Rp505.592.273.000 pada 13 Mei 2016, angka itu menurun dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp531.914.878.000.
Padahal saat penyusunan RKP 2017 yang melibatkan Bappenas, Kementerian Keuangan dan BNPT, Tito mengusulkan alokasi anggaran RP892.379.553.000.
Kekurangan dana Rp386 miliar itu, diungkapkan Tito untuk belanja barang dan modal terkait program BNPT.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016