Jakarta (Antara Babel) - Presiden RI Joko Widodo sebaiknya mempertimbangan keberatan sejumlah pihak termasuk salah satunya dari Komisi Pemberantasan Korupsi tentang draf revisi Peraturan Pemerintah yang tidak memberikan angin segar bagi para terpidana korupsi.

Koalisi Masyarakat Sipil dipimpin Emerson Yuntho sehari menjelang HUT Kemerdekaan RI-71 menyambangi Gedung KPK dengan menyatakan keberatan atas revisi PP Nomor: 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang diantaranya menyebutkan pemberian remisi terhadap terpidana korupsi.

Gagasan revisi itu disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yasonna  Laoly dengan argumentasi tidak lain untuk meminimalisir kerusuhan di unit pelaksana teknis pemasyarakatan.

Menkumham menilai PP 99/2012 dibuat tanpa mempertimbangkan masukan dari kriminolog, proyeksi terhadap angka kriminalitas, dan kemampuan anggaran negara untuk menambah fasilitas dan jumlah pegawai.

Selain itu, Kementerian Hukum dan HAM menganggap remisi merupakan hak narapidana, yang mana peraturan soal remisi ini kemudian diharapkan dapat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.

Tak pelak revisi tersebut ditentang oleh para aktivis antikorupsi di tanah air karena korupsi merupakan bagian dari "Ordinary Crime" atau kejahatan luar biasa sama dengan tindak pidana terorisme dan narkoba.

Memang wajar penolakan itu dimana seseorang pelaku tindak pidana korupsi dapat hadiah, padahal dari perilaku mereka telah menyengsarakan jutaan masyarakat Indonesia.

Jika Presiden Joko Widodo menerima revisi yang diajukan oleh Menkumham itu sama saja dengan meberikan atau "merentang karpet merah" bagi para bandit perampok uang negara itu.

Koalisi Masyarakat Sipil meminta dalam mengambil keputusan terkait revisi itu dilakukan dengan melibatkan banyak pihak, bahkan presiden juga harus mempertanyakan kajian yang sudah dilakukan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamongan Laoly.

Proses revisi itu apakah sudah memiliki naskah akademik atau membuat kajian yang menjelaskan latar belakang perlunya melakukan revisi tersebut.

Ia mengkhawatirkan jika revisi itu disetujui maka akan menguntungkan bagi 3.662 koruptor. Sehingga dalam mengambil keputusan revisi itu, untuk tidak gegabah.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menolak pemberian remisi kepada koruptor karena dinilai menghilangkan efek jera yang ingin ditanamkan lembaga antirasuah tersebut.

"Kalau koruptor harapan kami jangan ada remisi," kata Agus di Gedung Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, Selasa(16/8).

Ia menjelaskan pertimbangan KPK menolak wacana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran akan adanya tindak pidana korupsi yang diulang oleh koruptor.

Bahkan, menurut dia, kini lembaganya sedang merancang hukuman bagi koruptor dengan efek jera yang lebih besar dibandingkan produk hukum yang ada saat ini.    
  
"Selain hukuman badan, kami juga sedang memikirkan langkah agar kerugian negara dikembalikan, beserta denda," ujar Agus.

Sementara itu, dua narapidana korupsi binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Mataram, Nusa Tenggara Barat, mendapat remisi atau pengurangan masa hukuman perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.

Kalapas Kelas II A Mataram melalui Kepala Seksi Bimbingan Narapidana atau Anak Didik (Binadik) Muh Saleh kepada wartawan di Mataram, Senin, mengatakan, dua narapidana korupsi yang mendapat remisi 17 Agustus 2017, merupakan nama-nama yang muncul dari 11 narapidana korupsi yang sebelumnya mengajukan remisi.

"Dari jumlah keseluruhan yang kami ajukan, ada dua narapidana korupsi yang mendapat remisi tahanan," kata Muh Saleh.

Terkait dengan identitas kedua narapidana tersebut, Muh Saleh enggan menyebutkan. Melainkan, identitas kedua narapidana yang dimaksud baiknya diketahui saat remisi dibacakan pada momentum Rabu (17/8) mendatang.

"Biar seru, besok saja, pas dibacakan remisi," ujarnya.

    
Justice Collaborator
    
Sementara itu, LSM Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebutkan kejaksaan merupakan institusi yang paling rajin mengeluarkan status "Justice Collaborator"  tercatat 670 orang sepanjang 2013 sampai Juli 2016.

"Dapat disorot, dari jumlah JC yang dikeluarkan oleh masing-masing kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk kasus korupsi berdasarkan data Ditjen PAS yang dipersentasikan oleh Center for Detention Studies (CDS) pada Senin, 15 agustus 2016 di Jakarta.

Ditemukan bahwa Kejaksaan sebagai institusi yang paling `rajin¿ mengeluarkan status JC dengan jumlah mencapai 670 orang sepanjang 2013 sampai dengan Juli 2016, tepat setelah PP 99 Tahun 2012 mulai berlaku, kata Supriyadi W Eddyono, Direktur Eksekutif ICJR melalui siaran persnya di Jakarta, Selasa.

Justice Collaborator dapat dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.

Seperti diketahui, revisi PP Nomor 99 tahun 2012 menyebutkan JC menjadi syarat remisi bagi terpidana korupsi.

Sementara itu, polisi hanya mengeluarkan 17 JC dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 1 JC.   
Ia mengatakan status JC tidak boleh sembarangan diberikan, dan label JC juga dilakukan saat proses penuntutan dan secara resmi dinyatakan dalam tuntutan, di luar skema tersebut maka JC bisa jadi hanya untuk memfasilitasi remisi.

Status JC juga harus dipublikasikan ke publik sejak awal bukan diminta di ujung ketika hendak memohon remisi. Berdasarkan catatan ICJR, hal Ini mungkin terjadi karena SOP mengenai JC di kejaksaan juga tidak pernah dipersiapkan. Akibatnya dicurigai banyak implementasi yang berbeda-beda.

Dari data tersebut timbul pertanyaan, yaitu apakah seluruh status JC yang dikeluarkan oleh institusi penegak hukum ini diberikan pada saat proses penuntutan atau dengan kata lain apakah diberikan sebelum atau sesudah putusan.

Hal yang menjadi catatan penting adalah apabila status JC baru diberikan setelah putusan dijatuhkan, maka angka ini adalah angka yang sangat mengejutkan, karena secara hukum di Indonesia, JC seharusnya diberikan sebelum putusan atau saat proses penuntutan di lakukan.

Logika ini sebenarnya logika yang sama yang diatur dalam PP 99 Tahun 2012, dimana JC menjadi syarat remisi untuk memberikan insentif atau kompensasi kepada penyidik dan penuntut umum agar tersangka atau terdakwa mau bekerja sama dalam mengungkap kejahatan, khususnya korupsi yang bersifat sistemik dan terorganisir.

Apabila status JC diberikan pasca putusan atau proses penuntutan, maka apa guna JC diberikan selain untuk mendapatkan remisi? Dari sinilah harusnya dugaan adanya ¿permainan atau komoditas yang diperjualbelikan¿ dapat ditelusuri.

Untuk itu, ICJR meminta agar Kepolisian, Kejaksaan dan KPK mengeluarkan nama-nama siapa aja orang-orang yang mendapatkan status JC tersebut dan apakah status JC tersebut diberikan pada saat proses penuntutan atau sebelum putusan atau malah diberikan setelah putusan dikeluarkan dan dengan alasan apa.

"Dengan begitu maka misteri 'jual beli status JC' dapat ditelusuri," katanya.

Pewarta: Riza Fahriza

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2016