Satu dan dua tahun setelah PON Aceh-Sumatera Utara 2024 selesai, atlet-atlet yang naik panggung juara dalam tiga pekan terakhir mungkin melanjutkan kiprahnya dalam kompetisi level lebih tinggi.
Di antara kompetisi level tinggi itu adalah Asian Games dan SEA Games, yang bakal digelar pada 2025 dan 2026.
Thailand akan menjadi tuan rumah SEA Games 2025 yang akan diadakan pada 9-20 Desember tahun itu.
Setahun kemudian Aichi dan Nagoya di Jepang menggelar Asian Games pada 19 September-4 Oktober 2026.
Banyak atlet PON 2024 jauh-jauh hari menatap dua acara olahraga besar itu, bahkan ada yang lebih jauh lagi hingga Olimpiade Los Angeles 2028.
Dalam kerangka Olimpiade sendiri, baru empat cabang olahraga yang mempersembahkan medali kepada Indonesia, yakni panahan, bulu tangkis, angkat besi dan panjat tebing.
Jejak dan penampilan lebih baik terlihat di kancah Asian Games.
Sejak Indonesia pertama kali mengikuti Asian Games pada 1951, sampai Hangzhou 2022, sudah 39 cabang olahraga mempersembahkan medali kepada Indonesia.
Ke-39 cabang olahraga itu total menyumbangkan 492 medali, yang 98 keping di antaranya medali emas.
Tapi tak semua dari 39 cabang itu yang menghasilkan emas Asian Games, karena baru 20 cabang olahraga saja yang bisa melakukannya.
Sekitar separuh dari jumlah medali emas itu berasal dari bulu tangkis dan tenis. Bulu tangkis menyumbangkan 28 medali emas, sedangkan tenis 15 medali emas.
Total medali yang dipersembahkan kedua cabang olahraga ini juga paling banyak. Padahal, keduanya hanya memainkan rata-rata lima nomor pertandingan.
Bandingkan dengan atletik dan renang yang menjadi primadona dalam ajang-ajang multicabang, entah PON, SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade.
Atletik yang selalu melombakan nomor terbanyak, sudah mempersembahkan 22 medali Asian Games kepada Indonesia, masih di bawah bulu tangkis, tenis, renang, tinju, karate, dan angkat besi.
71 tahun tanpa emas
Selama 71 tahun sejak Asian Games 1951, atletik baru bisa mempersembahkan empat medali emas.
Namun nasib atletik lebih baik dari renang, jika yang menjadi patokan jumlah emas yang diraih cabang olahraga.
Kendati menjadi cabang olahraga yang menyumbangkan total medali Asian Games terbanyak ketiga setelah bulu tangkis dan tenis, renang belum pernah meraih satu pun medali emas dalam Asian Games.
Ini semestinya melecut semua pemangku kepentingan renang, agar segera mengakhiri nestapa emas Asian Games itu.
Tapi ternyata, di level SEA Games pun prestasi renang tak terlalu bagus.
Setelah mendominasi SEA Games sejak 1977 sampai edisi 1999, Indonesia tak pernah lagi mendominasi kolam renang SEA Ganes sejak 2001, kecuali pada 2011.
Bahkan sejak 2013, Indonesia dilampaui Vietnam, yang aktif lagi dalam SEA Games sejak 1991.
Pada SEA Games 2023 di Kamboja, Indonesia malah hanya mengumpulkan tujuh medali yang tiga di antaranya medali emas.
Padahal, pada 2011 dan 2017 Indonesia bisa mendapatkan 24-25 medali dari renang, bahkan sejak 1977 sampai 1999, rata-rata mendapatkan 26 medali.
Mengapa renang? Karena ini adalah satu dari dua cabang olahraga yang menjadi primadona ajang multicabang, mulai PON sampai Olimpiade.
Renang adalah tambang medali, yang bisa mengangkat citra olahraga sebuah daerah atau negara seperti Australia dalam Olimpiade dan Singapura pada SEA Games.
Dalam PON 2024 pun, renang adalah cabang olahraga dengan nomor pertandingan terbanyak, di samping atletik.
Pada PON Aceh-Sumatera ini, renang melombakan 40 nomor, sedangkan atletik 46 nomor.
Kondisi sama terjadi dalam SEA Games dan Asian Games. Contohnya dalam Asian Games 2022 dan SEA Games 2023.
Pada Asian Games 2022, renang melombakan 41 nomor, sedangkan dalam SEA Games 2023 melombakan 39 nomor.
Paralel di level lebih tinggi
Dengan banyaknya nomor lomba itu, tak pelak lagi renang adalah prospek dan tambang medali yang layak digarap serius oleh siapa pun, termasuk Indonesia yang sudah tak bisa mendominasi lagi kolam renang SEA Games.
PON sendiri tidak terlalu bisa menjadi titik awal atau kawah candradimuka untuk menghasilkan perenang-perenang yang berbicara banyak di level Asia dan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, begitu PON 2024 berakhir, para pemangku kepentingan dalam cabang olahraga ini mesti segera merenungkan langkah selanjutnya.
Hal itu terutama berkaitan dengan event-event level lebih tinggi dari PON, baik single-event maupun multievent.
Salah satu langkah yang bisa diadopsi adalah lewat program jangka panjang yang mengadopsi hal-hal baru, termasuk sains olahraga, khususnya berkaitan dengan meningkatkan kemampuan fisik perenang, termasuk lewat program nutrisi dan intervensi ilmu kesehatan.
Bisa juga dilakukan dengan mengintensifkan lagi "program magang" bagi bakat-bakat renang, di beberapa negara yang memiliki tradisi dan kultur kompetisi renang yang hebat.
Negara-negara Singapura dan Suriname, yang sukses melahirkan perenang hebat seperti Anthony Nesty dan Joseph Schooling yang berjaya dalam Olimpiade, melakukan program semacam itu.
Nesty mengejutkan renang dunia ketika dalam Olimpiade Seoul 1988 menyabet medali emas gaya kupu-kupu 100m putra.
18 tahun kemudian, dalam nomor yang sama, pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016, giliran Schooling yang membuat dunia terpana.
Nesty yang bertinggi badan 180 cm dan Schooling yang 184 cm, adalah contoh bagaimana perenang digembleng oleh kompetisi ketat dan lingkungan kompetisi profesional di luar negeri.
Mereka juga bukti bahwa tinggi badan bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan perenang.
Tinggi badan Nesty dan Schooling hampir sama dengan Triady Fauzi Sidiq dan Glen Victor Sutanto. Kedua perenang Indonesia itu memiliki tinggi badan di atas 180 cm, dan pernah berkompetisi dengan Schooling dalam SEA Games.
Itu hanyalah satu dari banyak langkah dan contoh yang bisa diadopsi Indonesia agar setiap catatan bagus yang dibuat renang selama PON, termasuk PON 2024, paralel dengan catatan bagus di level lebih tinggi, khususnya SEA Games dan Asian Games.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
Di antara kompetisi level tinggi itu adalah Asian Games dan SEA Games, yang bakal digelar pada 2025 dan 2026.
Thailand akan menjadi tuan rumah SEA Games 2025 yang akan diadakan pada 9-20 Desember tahun itu.
Setahun kemudian Aichi dan Nagoya di Jepang menggelar Asian Games pada 19 September-4 Oktober 2026.
Banyak atlet PON 2024 jauh-jauh hari menatap dua acara olahraga besar itu, bahkan ada yang lebih jauh lagi hingga Olimpiade Los Angeles 2028.
Dalam kerangka Olimpiade sendiri, baru empat cabang olahraga yang mempersembahkan medali kepada Indonesia, yakni panahan, bulu tangkis, angkat besi dan panjat tebing.
Jejak dan penampilan lebih baik terlihat di kancah Asian Games.
Sejak Indonesia pertama kali mengikuti Asian Games pada 1951, sampai Hangzhou 2022, sudah 39 cabang olahraga mempersembahkan medali kepada Indonesia.
Ke-39 cabang olahraga itu total menyumbangkan 492 medali, yang 98 keping di antaranya medali emas.
Tapi tak semua dari 39 cabang itu yang menghasilkan emas Asian Games, karena baru 20 cabang olahraga saja yang bisa melakukannya.
Sekitar separuh dari jumlah medali emas itu berasal dari bulu tangkis dan tenis. Bulu tangkis menyumbangkan 28 medali emas, sedangkan tenis 15 medali emas.
Total medali yang dipersembahkan kedua cabang olahraga ini juga paling banyak. Padahal, keduanya hanya memainkan rata-rata lima nomor pertandingan.
Bandingkan dengan atletik dan renang yang menjadi primadona dalam ajang-ajang multicabang, entah PON, SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade.
Atletik yang selalu melombakan nomor terbanyak, sudah mempersembahkan 22 medali Asian Games kepada Indonesia, masih di bawah bulu tangkis, tenis, renang, tinju, karate, dan angkat besi.
71 tahun tanpa emas
Selama 71 tahun sejak Asian Games 1951, atletik baru bisa mempersembahkan empat medali emas.
Namun nasib atletik lebih baik dari renang, jika yang menjadi patokan jumlah emas yang diraih cabang olahraga.
Kendati menjadi cabang olahraga yang menyumbangkan total medali Asian Games terbanyak ketiga setelah bulu tangkis dan tenis, renang belum pernah meraih satu pun medali emas dalam Asian Games.
Ini semestinya melecut semua pemangku kepentingan renang, agar segera mengakhiri nestapa emas Asian Games itu.
Tapi ternyata, di level SEA Games pun prestasi renang tak terlalu bagus.
Setelah mendominasi SEA Games sejak 1977 sampai edisi 1999, Indonesia tak pernah lagi mendominasi kolam renang SEA Ganes sejak 2001, kecuali pada 2011.
Bahkan sejak 2013, Indonesia dilampaui Vietnam, yang aktif lagi dalam SEA Games sejak 1991.
Pada SEA Games 2023 di Kamboja, Indonesia malah hanya mengumpulkan tujuh medali yang tiga di antaranya medali emas.
Padahal, pada 2011 dan 2017 Indonesia bisa mendapatkan 24-25 medali dari renang, bahkan sejak 1977 sampai 1999, rata-rata mendapatkan 26 medali.
Mengapa renang? Karena ini adalah satu dari dua cabang olahraga yang menjadi primadona ajang multicabang, mulai PON sampai Olimpiade.
Renang adalah tambang medali, yang bisa mengangkat citra olahraga sebuah daerah atau negara seperti Australia dalam Olimpiade dan Singapura pada SEA Games.
Dalam PON 2024 pun, renang adalah cabang olahraga dengan nomor pertandingan terbanyak, di samping atletik.
Pada PON Aceh-Sumatera ini, renang melombakan 40 nomor, sedangkan atletik 46 nomor.
Kondisi sama terjadi dalam SEA Games dan Asian Games. Contohnya dalam Asian Games 2022 dan SEA Games 2023.
Pada Asian Games 2022, renang melombakan 41 nomor, sedangkan dalam SEA Games 2023 melombakan 39 nomor.
Paralel di level lebih tinggi
Dengan banyaknya nomor lomba itu, tak pelak lagi renang adalah prospek dan tambang medali yang layak digarap serius oleh siapa pun, termasuk Indonesia yang sudah tak bisa mendominasi lagi kolam renang SEA Games.
PON sendiri tidak terlalu bisa menjadi titik awal atau kawah candradimuka untuk menghasilkan perenang-perenang yang berbicara banyak di level Asia dan Asia Tenggara.
Oleh karena itu, begitu PON 2024 berakhir, para pemangku kepentingan dalam cabang olahraga ini mesti segera merenungkan langkah selanjutnya.
Hal itu terutama berkaitan dengan event-event level lebih tinggi dari PON, baik single-event maupun multievent.
Salah satu langkah yang bisa diadopsi adalah lewat program jangka panjang yang mengadopsi hal-hal baru, termasuk sains olahraga, khususnya berkaitan dengan meningkatkan kemampuan fisik perenang, termasuk lewat program nutrisi dan intervensi ilmu kesehatan.
Bisa juga dilakukan dengan mengintensifkan lagi "program magang" bagi bakat-bakat renang, di beberapa negara yang memiliki tradisi dan kultur kompetisi renang yang hebat.
Negara-negara Singapura dan Suriname, yang sukses melahirkan perenang hebat seperti Anthony Nesty dan Joseph Schooling yang berjaya dalam Olimpiade, melakukan program semacam itu.
Nesty mengejutkan renang dunia ketika dalam Olimpiade Seoul 1988 menyabet medali emas gaya kupu-kupu 100m putra.
18 tahun kemudian, dalam nomor yang sama, pada Olimpiade Rio de Janeiro 2016, giliran Schooling yang membuat dunia terpana.
Nesty yang bertinggi badan 180 cm dan Schooling yang 184 cm, adalah contoh bagaimana perenang digembleng oleh kompetisi ketat dan lingkungan kompetisi profesional di luar negeri.
Mereka juga bukti bahwa tinggi badan bukan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan perenang.
Tinggi badan Nesty dan Schooling hampir sama dengan Triady Fauzi Sidiq dan Glen Victor Sutanto. Kedua perenang Indonesia itu memiliki tinggi badan di atas 180 cm, dan pernah berkompetisi dengan Schooling dalam SEA Games.
Itu hanyalah satu dari banyak langkah dan contoh yang bisa diadopsi Indonesia agar setiap catatan bagus yang dibuat renang selama PON, termasuk PON 2024, paralel dengan catatan bagus di level lebih tinggi, khususnya SEA Games dan Asian Games.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024