Australia sedang melakukan peninjauan terhadap semua 66 izin ekspor militer ke Israel yang disetujui sebelum invasi Gaza tahun lalu, demikian dilaporkan oleh Guardian pada Sabtu (19/10), mengutip sumber-sumber dari Kementerian Pertahanan.

Izin-izin tersebut sedang dievaluasi oleh Departemen Pertahanan secara kasus per kasus, dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan kewajiban internasional Australia, termasuk terkait hak asasi manusia.

Seiring perkembangan situasi di Timur Tengah, Australia terus mengawasi izin ekspor yang sudah ada sebelumnya ke Israel untuk memastikan bahwa izin tersebut sesuai dengan pendekatan terukur kami, kutip surat kabar tersebut dari seorang juru bicara pertahanan yang tidak disebutkan namanya itu.

Peninjauan itu dilakukan setelah ada permohonan dari Australian Centre for International Justice kepada Menteri Pertahanan Richard Marles pada April, yang meminta pembatalan semua izin ekspor yang berlaku ke Tel Aviv dan negara-negara lain yang mungkin kemudian akan menyediakannya untuk Israel.

Canberra berulang kali menyatakan bahwa mereka sudah tidak menyediakan senjata atau amunisi ke Israel sejak perang dimulai, dan terus mempertahankan posisi tersebut.

Namun, pemerintah federal menghadapi kritik karena gagal untuk transparan tentang apa yang dicakup oleh setiap izin.

Canberra juga membela pasokan suku cadang untuk rantai pasokan global pesawat tempur F-35.

Israel telah menggunakan pesawat F-35 di Gaza, di mana mereka telah membunuh lebih dari 42.000 orang sejak serangan lintas batas Hamas dan meruntuhkan daerah tersebut menjadi puing-puing.

Menurut Kementerian Pertahanan, Australia bukanlah eksportir pertahanan utama ke Israel, tetapi izin diperlukan untuk berbagai barang, termasuk peralatan TI, perangkat lunak, radio, komponen elektronik, dan barang-barang penggunaan ganda (dual-use).

Australia telah mengeluarkan sekitar 247 izin yang terkait dengan Israel sejak 2019, di mana sekitar 66 izin masih aktif, menurut pejabat.

Partai Greens, partai politik ketiga terbesar di Australia, telah menuntut penghentian semua perdagangan militer dua arah dengan Israel, dengan juru bicara pertahanan partai tersebut, David Shoebridge, mengatakan Australia tidak boleh melakukan apapun untuk memberi keberanian kepada Israel untuk melanjutkan genosida.

Namun, pemerintah Perdana Menteri Anthony Albanese menolak gagasan untuk mengakhiri kontrak dengan perusahaan-perusahaan Israel yang memasok barang untuk digunakan oleh Angkatan Pertahanan Australia dan polisi.

Australian Centre for International Justice menyambut baik peninjauan ini, mengatakan bahwa perkembangan itu adalah hasil tekanan berkelanjutan dari gerakan protes dari kelompok masyarakat untuk memotong ekspor ke negara "nakal."

Selama 12 bulan terakhir, pemerintah Australia telah diingatkan oleh ICJ, ICC, badan-badan PBB, dan banyak organisasi internasional tentang daftar panjang pelanggaran hukum internasional oleh Israel. Kami menyerukan embargo senjata penuh, tidak ada impor, tidak ada ekspor, tidak ada transfer, kata pusat tersebut dalam sebuah pernyataan yang diposting di X.

Pembela hak asasi manusia Rawan Arraf mengatakan: "Selama 12 bulan, pemerintah senang untuk mengaburkan fakta dan menyebarkan informasi yang salah tentang rezim ekspor senjatanya ke negara nakal."

"Tidak ada alasan untuk penundaan panjang dalam meninjau ekspor senjata saat ini. Peninjauan ini juga harus mencakup pemeriksaan terhadap ekspor yang berakhir di Israel," katanya dalam sebuah unggahan di X.

Pewarta: Primayanti

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024