Pengamat Ekonomi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Dr Marshal Imar Pratama S.E, M.M mengatakan kenaikan royalti 10 persen dari PT Timah Tbk untuk Kepulauan Babel akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan pembangunan dan perekonomian masyarakat di provinsi penghasil bijih timah nomor terbesar di Indonesia itu.
"Saat ini tuntutan kenaikan royalti 10 persen ini memang masih menjadi polemik di tengah-tengah publik," kata Marshal Imar Pratama di Pangkalpinang, Selasa.
Ia menilai tuntutan kenaikan royalti 10 persen bisa memberikan pendapatan yang signifikan dalam jangka pendek dan dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan atau pendidikan masyarakat di provinsi tambang ini.
Namun, jika royalti ini dihabiskan tanpa ada alokasi untuk program lingkungan atau keberlanjutan, maka manfaat ekonomi akan hilang dalam waktu dekat sementara kerusakan lingkungan bertahan lebih lama," terang akademisi asal Bangka Belitung ini.
Ia menyatakan beberapa pendekatan valuasi mencoba mengonversi dampak lingkungan menjadi nilai ekonomi. Misalnya melalui biaya kesehatan yang timbul dari pencemaran atau nilai ekonomi dari layanan ekosistem yang hilang. Hasilnya sering menunjukkan bahwa dampak kerusakan jauh lebih besar dibandingkan royalti yang diterima.
"Hal ini berdasarkan fakta yang ada, dimana negara atau wilayah yang bergantung pada pertambangan sering mendapati bahwa meskipun pendapatan langsung dari royalti besar, biaya sosial dan lingkungan dalam jangka panjang dapat jauh melampaui nilai tersebut," katanya.
Menurut dia jika royalti 10 persen ini tetap diterima, maka sebagian dana bisa dialokasikan untuk mitigasi kerusakan, seperti investasi dalam teknologi penambangan yang lebih ramah lingkungan, reboisasi, atau pelatihan masyarakat lokal untuk pekerjaan di luar sektor tambang.
"Alternatifnya adalah membangun dana cadangan untuk rehabilitasi lingkungan pasca-tambang, yang menjadi tanggung jawab perusahaan atau penerima royalti," katanya.
Kendati demikian, kesimpulan yang bisa diambil dalam polemik ini, lanjut dia, memang dalam banyak kasus nilai royalti 10 persen kemungkinan besar tidak sebanding dengan dampak negatif lingkungan yang diakibatkan oleh industri pertambangan timah, terutama jika mempertimbangkan dampak jangka panjang dan biaya pemulihan yang tinggi.
"Jika kerusakan lingkungan bisa diminimalkan dengan regulasi yang ketat atau teknologi yang lebih ramah lingkungan, nilai royalti ini mungkin lebih dapat diterima. Namun, tanpa upaya mitigasi atau pemulihan yang memadai, dampaknya pada lingkungan dan masyarakat lokal cenderung akan lebih besar daripada manfaat finansial yang diberikan royalti tersebut," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024
"Saat ini tuntutan kenaikan royalti 10 persen ini memang masih menjadi polemik di tengah-tengah publik," kata Marshal Imar Pratama di Pangkalpinang, Selasa.
Ia menilai tuntutan kenaikan royalti 10 persen bisa memberikan pendapatan yang signifikan dalam jangka pendek dan dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan atau pendidikan masyarakat di provinsi tambang ini.
Namun, jika royalti ini dihabiskan tanpa ada alokasi untuk program lingkungan atau keberlanjutan, maka manfaat ekonomi akan hilang dalam waktu dekat sementara kerusakan lingkungan bertahan lebih lama," terang akademisi asal Bangka Belitung ini.
Ia menyatakan beberapa pendekatan valuasi mencoba mengonversi dampak lingkungan menjadi nilai ekonomi. Misalnya melalui biaya kesehatan yang timbul dari pencemaran atau nilai ekonomi dari layanan ekosistem yang hilang. Hasilnya sering menunjukkan bahwa dampak kerusakan jauh lebih besar dibandingkan royalti yang diterima.
"Hal ini berdasarkan fakta yang ada, dimana negara atau wilayah yang bergantung pada pertambangan sering mendapati bahwa meskipun pendapatan langsung dari royalti besar, biaya sosial dan lingkungan dalam jangka panjang dapat jauh melampaui nilai tersebut," katanya.
Menurut dia jika royalti 10 persen ini tetap diterima, maka sebagian dana bisa dialokasikan untuk mitigasi kerusakan, seperti investasi dalam teknologi penambangan yang lebih ramah lingkungan, reboisasi, atau pelatihan masyarakat lokal untuk pekerjaan di luar sektor tambang.
"Alternatifnya adalah membangun dana cadangan untuk rehabilitasi lingkungan pasca-tambang, yang menjadi tanggung jawab perusahaan atau penerima royalti," katanya.
Kendati demikian, kesimpulan yang bisa diambil dalam polemik ini, lanjut dia, memang dalam banyak kasus nilai royalti 10 persen kemungkinan besar tidak sebanding dengan dampak negatif lingkungan yang diakibatkan oleh industri pertambangan timah, terutama jika mempertimbangkan dampak jangka panjang dan biaya pemulihan yang tinggi.
"Jika kerusakan lingkungan bisa diminimalkan dengan regulasi yang ketat atau teknologi yang lebih ramah lingkungan, nilai royalti ini mungkin lebih dapat diterima. Namun, tanpa upaya mitigasi atau pemulihan yang memadai, dampaknya pada lingkungan dan masyarakat lokal cenderung akan lebih besar daripada manfaat finansial yang diberikan royalti tersebut," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2024