Jakarta (Antara Babel) - Rencana pemerintah menekan harga listrik energi baru terbarukan (EBT) melalui pemangkasan subsidi dinilai salah sasaran, karena porsi EBT dibandingkan sumber energi lain dalam pembangkit listrik sangat kecil.

"Kalau mau mengurangi subsidi, harusnya pada energi yang porsinya besar namun membuat PLN tidak efisien, seperti solar. Kalau EBT yang dikurangi, selain porsinya kecil, juga kontraproduktif," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro di Jakarta, Jumat.

Komaidi menambahkan porsi EBT sampai saat ini secara total hanya sekitar 14 persen terhadap keseluruhan energi pembangkit listrik. EBT dimaksud, sudah termasuk tenaga angin, air, matahari, dan panas bumi. Terbanyak adalah air, yakni sekitar delapan persen. Hal ini bisa dimengerti, karena PLN memang sudah cukup lama membangun PLTA. Sedangkan panas bumi sekitar empat persen, dan sisanya adalah EBT lain.

Itulah sebabnya, lanjut dia, pengurangan subsidi EBT secara maksimal pun tidak akan berdampak bagi keuangan negara. Namun sebaliknya, pengurangan subsidi sekecil apa pun akan berdampak sangat siginifikan terhadap perkembangan EBT itu sendiri.

Tujuan pemberian subsidi adalah untuk merangsang pertumbuhan EBT. Yang perlu dipahami, dalam kondisi subsidi saat ini saja perkembangan EBT lambat, apalagi kalau dikurangi.

"Jadi strategi seperti itu saya rasa harus dikonstruksikan ulang. Pemerintah jangan hanya berpikir jangka pendek, namun juga jangka panjang," lanjutnya.

    
Luar biasa
      
Sebaliknya, jika pemangkasan subsidi dilakukan terhadap solar, menurut Komaidi, dampak positifnya sangat luar biasa. Komaidi mencontohkan, dalam kondisi infrastruktur belum matang saja, harga jual listrik yang dihasilkan panas bumi adalah Rp1.200 per kWh. Harga itu, jauh lebih murah dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan pembangkit bertenaga solar, yang berada pada kisaran Rp3.400-Rp4.000 per kWh.

"Jadi bisa dibayangkan, jika subsidi solar yang dipangkas dan dipakai untuk mendorong pertumbuhan EBT, maka akan terjadi penghematan luar biasa, baik bagi APBN maupun harga jual listrik," jelas Komaidi.

Dalam konteks itu,  Komaidi mengingatkan, bahwa stigma EBT mahal adalah sama sekali keliru. EBT saat ini dianggap mahal, karena memang infrastruktur belum berkembang dan kapasitas produksi belum banyak. Cabang produksi apapun, jika dalam kondisi seperti EBT saat ini tentu akan mahal pada tahap awal. Untuk membuat mereka murah, tentu harus ditumbuhkan terlebih dahulu, katanya.

Komaidi melanjutkan, stigma mahal yang diberikan pada EBT, adalah terkait dengan infrastruktur yang memang masih belum berkembang. Karena jangan lupa, untuk panas bumi misalnya, hampir semua sumber terdapat di daerah gunung. Untuk itu, pemerintah hendaknya tidak menjadikan berbagai negara, termasuk Uni Emirat Arab, yang sebagian besar medannya adalah gurun pasir sebagai contoh. Karena, tentu saja tingkat kesulitan pembangunan infrastruktur lebih rendah dibandingkan gunung.

Pemerintah disebutkan berencana mengeluarkan aturan baru soal harga EBT di setiap daerah. Tarif EBT, dipatok tak boleh lebih dari 85 persen Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik di daerah.

Pewarta: Faisal Yunianto

Editor : Mulki


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017