Jakarta (Antara Babel) - Anak buah kapal (ABK) Indonesia yang teraniaya saat bekerja di kapal luar negeri perlu mendapatkan perhatian nasional karena mereka merupakan saudara se-Tanah Air.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan berbagai pihak dapat terus berupaya melindungi ABK Indonesia yang diperkirakan masih banyak yang mengalami kondisi tidak manusiawi di berbagai lautan internasional.
"Indonesia pemasok terbesar dalam dunia tenaga kerja ABK," kata Menteri Susi dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Selasa (24/1).
Menurut dia, pada saat ini diperkirakan ada terdapat sekitar ratusan ribu warga negara Indonesia yang bekerja di kapal asing, yang rata-rata berada dalam kondisi kesejahteraan yang minim dan tidak memadai.
Menteri Susi juga mencontohkan, ketika kunjungan Wakil Presiden ke Hawaii (Amerika Serikat) juga ditemukan adanya ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing yang ternyata tidak bisa mendarat ketika kapal berlabuh.
Alasan mengapa mereka tidak bisa menginjakkan kaki di daratan, ungkap Susi, adalah karena para ABK tersebut tidak memiliki dokumen yang legal atau resmi.
Kalau para ABK itu tidak memiliki dokumen resmi, lanjutnya, maka bisa dipastikan pula bahwa mereka juga tidak memiliki proteksi terhadap kondisi mereka.
Dalam investigasi yang dilakukan oleh KKP juga ditemukan adanya ABK Indonesia yang berada di lautan internasional sekitar Samudera Hindia yang bekerja paksa dengan jam kerja yang tidak manusiawi, serta tanpa mendapatkan jatah makanan yang memadai, dan minuman yang kerap berkarat.
KKP juga telah meluncurkan laporan penelitian berdasarkan pengalaman langsung dari para saksi mata yang menjadi korban perdagangan orang di kapal, dan merupakan hasil kerja sama IOM Indonesia dan Satgas 115-KKP, serta bantuan UI dan Coventry University.
Penelitian IOM itu meliputi penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktek rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk berbagai pernyataan saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal.
Kemudian, kasus eksploitasi tenaga kerja seperti memaksa ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari, berbagai tindakan melawan hukum antara lain mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transshipment ilegal, pemalsuan dokumen dan logbook.
Terakhir adalah tumpang tindih regulasi yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal.
Sebelumnya, melalui kerja sama dengan pemerintah RI, IOM pada Maret 2015 telah mengidentifikasi dan memberikan bantuan kepada ribuan ABK asing korban perdagangan orang.
Ribuan ABK asing tersebut dibebaskan dari kondisi perbudakan di kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Indonesia Timur setelah ditetapkannya moratorium untuk memperpanjang izin operasi.
Penelitian terhadap hasil wawancara dengan lebih dari 1.100 korban perdagangan orang yang menunjukkan pelanggaran HAM yang sistematis dan masif serta adanya tindak kriminalitas mulai dari pemalsuan dokumen hingga pembunuhan, yang terbantu tumpang tindihnya peraturan yang dinilai turut melanggengkan praktik tersebut.
Segera bertindak
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengingatkan pemerintah untuk dapat segera bertindak melindungi Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang teraniaya ketika bekerja di kapal asing seperti yang dilaporkan terjadi di Taiwan.
"Pemerintah harus segera menghubungi dan mengirim perwakilan Indonesia di Taiwan guna membantu penyelidikan," kata Dede Yusuf di Jakarta, Kamis (26/1).
Dia mengingatkan bahwa secara internasional telah berlaku Konvensi Ketenagakerjaan Kemaritiman yang memberikan perlindungan kepada ABK Indonesia tersebut.
Politisi Partai Demokrat itu juga menginginkan pemerintah dapat mendorong Taiwan memberi sanksi kepada perusahaan yang telah melakukan praktek seperti perbudakan terhadap ABK Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities Abdul Halim berpendapat, pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan kesejahteraan yang dialami banyak Anak Buah Kapal (ABK) karena aturan yang diterbitkan oleh pemerintah dinilai masih kurang diimplementasikan dengan memadai dan nyata di lapangan.
"Problemnya baru sebatas aturan yang minus implementasi di internal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," kata Abdul Halim.
Abdul Halim mencontohkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 35 tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan sudah dua tahun lalu.
Namun, menurut dia, hingga kini masih terjadi pelanggaran yang dialami oleh ABK di dalam negeri seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Sulawesi Tenggara.
"Pertanyaannya, sudah dijalankan atau belum? Permen No 35/2015 sudah baik, tinggal diimplementasikan dengan baik pula," kata Abdul Halim.
Untuk itu, Abdul Halim menegaskan bahwa jika pemerintah benar-benar gotong-royong, niscaya tidak ada penistaan terhadap hak-hak ABK.
Selain itu, ia juga menginginkan berbagai pihak dapat meningkatkan koordinasi dalam rangka mengatasi permasalahan yang kerap ditemui ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.
"Permasalahan pokoknya adalah ruwetnya mekanisme koordinasi antarkementerian atau lembaga negara yang bertanggung jawab untuk mengelola isu ketenagakerjaan di atas kapal perikanan," katanya.
Menurut dia, permasalahan itu terletak di semua tingkatan birokrasi, seperti dari fase penyiapan tenaga kerja, fase kerja ABK, hingga fase pasca-ABK bekerja.
Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities itu juga menyatakan, pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO No. 188/2007 sehingga kerap kesuliatan mengadvokasi hak-hak ABK yang bekerja di kapal asing.
Dia juga mengungkapkan, sejumlah pelanggaran yang dialami ABK Indonesia antara lain adalah dalam bentuk pemalsuan identitas dan dokumen pelaut, minimnya informasi mengenai pekerjaan serta tiadanya sisitem pelatihan dan pengembangan kapasitas ABK.
Sangat serius
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, pemerintah Republik Indonesia sangat serius dalam menangani berbagai kejahatan yang terjadi di lautan, tidak hanya mengenai kasus pencurian ikan.
"Indonesia sangat serius dalam mengatasi dan memberantas semua kejahatan yang terjadi di lautan," kata Menteri Susi.
Susi Pudjiastuti menegaskan, di Indonesia sendiri telah dilakukan penegakan hukum atas temuan dan investigasi terkait kejadian pelanggaran HAM di bisnis perikanan, seperti kasus di Benjina (Maluku) pada tahun 2015.
Pemerintah melalui KKP juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2017 yang menyasar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di industri perikanan.
Pada 10 Desember 2015, Menteri Susi juga telah menerbitkan Permen No 35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan, dalam rangka menegakkan tiga pilar pembangunan kelautan dan perikanan serta mewujudkan sistem pencegahan pelanggaran HAM dalam bisnis perikanan yang efektif sehingga kasus pelanggaran HAM dalam bidang tersebut tidak terulang lagi.
Dengan adanya peraturan tersebut, ujar Menteri Susi ketika itu, KKP sebagai representasi pemerintah menunjukkan komitmen dalam menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak setiap warga negara.
"Tanpa peraturan tidak bisa ada komitmen. Mudah-mudahan hari ini KKP sudah menanamkan kepedulian, komitmen dan janji untuk melaksanakan HAM secara proporsional dan pada tempatnya," tutur Menteri Kelautan dan Perikanan.
Regulasi yang menjunjung tinggi memang sangat diperlukan untuk memperkuat fondasi kerangka penegakan HAM, tetapi lebih penting lagi untuk memastikan bahwa aturan itu benar-benar diterapkan secara nyata di lapangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan berbagai pihak dapat terus berupaya melindungi ABK Indonesia yang diperkirakan masih banyak yang mengalami kondisi tidak manusiawi di berbagai lautan internasional.
"Indonesia pemasok terbesar dalam dunia tenaga kerja ABK," kata Menteri Susi dalam konferensi pers di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Selasa (24/1).
Menurut dia, pada saat ini diperkirakan ada terdapat sekitar ratusan ribu warga negara Indonesia yang bekerja di kapal asing, yang rata-rata berada dalam kondisi kesejahteraan yang minim dan tidak memadai.
Menteri Susi juga mencontohkan, ketika kunjungan Wakil Presiden ke Hawaii (Amerika Serikat) juga ditemukan adanya ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing yang ternyata tidak bisa mendarat ketika kapal berlabuh.
Alasan mengapa mereka tidak bisa menginjakkan kaki di daratan, ungkap Susi, adalah karena para ABK tersebut tidak memiliki dokumen yang legal atau resmi.
Kalau para ABK itu tidak memiliki dokumen resmi, lanjutnya, maka bisa dipastikan pula bahwa mereka juga tidak memiliki proteksi terhadap kondisi mereka.
Dalam investigasi yang dilakukan oleh KKP juga ditemukan adanya ABK Indonesia yang berada di lautan internasional sekitar Samudera Hindia yang bekerja paksa dengan jam kerja yang tidak manusiawi, serta tanpa mendapatkan jatah makanan yang memadai, dan minuman yang kerap berkarat.
KKP juga telah meluncurkan laporan penelitian berdasarkan pengalaman langsung dari para saksi mata yang menjadi korban perdagangan orang di kapal, dan merupakan hasil kerja sama IOM Indonesia dan Satgas 115-KKP, serta bantuan UI dan Coventry University.
Penelitian IOM itu meliputi penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktek rekrutmen dan eksploitasi ABK dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk berbagai pernyataan saksi mata mengenai kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal.
Kemudian, kasus eksploitasi tenaga kerja seperti memaksa ABK untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari, berbagai tindakan melawan hukum antara lain mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, transshipment ilegal, pemalsuan dokumen dan logbook.
Terakhir adalah tumpang tindih regulasi yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah terkait dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal.
Sebelumnya, melalui kerja sama dengan pemerintah RI, IOM pada Maret 2015 telah mengidentifikasi dan memberikan bantuan kepada ribuan ABK asing korban perdagangan orang.
Ribuan ABK asing tersebut dibebaskan dari kondisi perbudakan di kapal yang sedang berlabuh di pelabuhan Indonesia Timur setelah ditetapkannya moratorium untuk memperpanjang izin operasi.
Penelitian terhadap hasil wawancara dengan lebih dari 1.100 korban perdagangan orang yang menunjukkan pelanggaran HAM yang sistematis dan masif serta adanya tindak kriminalitas mulai dari pemalsuan dokumen hingga pembunuhan, yang terbantu tumpang tindihnya peraturan yang dinilai turut melanggengkan praktik tersebut.
Segera bertindak
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf mengingatkan pemerintah untuk dapat segera bertindak melindungi Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia yang teraniaya ketika bekerja di kapal asing seperti yang dilaporkan terjadi di Taiwan.
"Pemerintah harus segera menghubungi dan mengirim perwakilan Indonesia di Taiwan guna membantu penyelidikan," kata Dede Yusuf di Jakarta, Kamis (26/1).
Dia mengingatkan bahwa secara internasional telah berlaku Konvensi Ketenagakerjaan Kemaritiman yang memberikan perlindungan kepada ABK Indonesia tersebut.
Politisi Partai Demokrat itu juga menginginkan pemerintah dapat mendorong Taiwan memberi sanksi kepada perusahaan yang telah melakukan praktek seperti perbudakan terhadap ABK Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities Abdul Halim berpendapat, pelanggaran aturan ketenagakerjaan dan kesejahteraan yang dialami banyak Anak Buah Kapal (ABK) karena aturan yang diterbitkan oleh pemerintah dinilai masih kurang diimplementasikan dengan memadai dan nyata di lapangan.
"Problemnya baru sebatas aturan yang minus implementasi di internal Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)," kata Abdul Halim.
Abdul Halim mencontohkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 35 tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan sudah dua tahun lalu.
Namun, menurut dia, hingga kini masih terjadi pelanggaran yang dialami oleh ABK di dalam negeri seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Sulawesi Tenggara.
"Pertanyaannya, sudah dijalankan atau belum? Permen No 35/2015 sudah baik, tinggal diimplementasikan dengan baik pula," kata Abdul Halim.
Untuk itu, Abdul Halim menegaskan bahwa jika pemerintah benar-benar gotong-royong, niscaya tidak ada penistaan terhadap hak-hak ABK.
Selain itu, ia juga menginginkan berbagai pihak dapat meningkatkan koordinasi dalam rangka mengatasi permasalahan yang kerap ditemui ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.
"Permasalahan pokoknya adalah ruwetnya mekanisme koordinasi antarkementerian atau lembaga negara yang bertanggung jawab untuk mengelola isu ketenagakerjaan di atas kapal perikanan," katanya.
Menurut dia, permasalahan itu terletak di semua tingkatan birokrasi, seperti dari fase penyiapan tenaga kerja, fase kerja ABK, hingga fase pasca-ABK bekerja.
Abdul Halim yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Center of Maritime Studies for Humanities itu juga menyatakan, pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO No. 188/2007 sehingga kerap kesuliatan mengadvokasi hak-hak ABK yang bekerja di kapal asing.
Dia juga mengungkapkan, sejumlah pelanggaran yang dialami ABK Indonesia antara lain adalah dalam bentuk pemalsuan identitas dan dokumen pelaut, minimnya informasi mengenai pekerjaan serta tiadanya sisitem pelatihan dan pengembangan kapasitas ABK.
Sangat serius
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan, pemerintah Republik Indonesia sangat serius dalam menangani berbagai kejahatan yang terjadi di lautan, tidak hanya mengenai kasus pencurian ikan.
"Indonesia sangat serius dalam mengatasi dan memberantas semua kejahatan yang terjadi di lautan," kata Menteri Susi.
Susi Pudjiastuti menegaskan, di Indonesia sendiri telah dilakukan penegakan hukum atas temuan dan investigasi terkait kejadian pelanggaran HAM di bisnis perikanan, seperti kasus di Benjina (Maluku) pada tahun 2015.
Pemerintah melalui KKP juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2/2017 yang menyasar pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di industri perikanan.
Pada 10 Desember 2015, Menteri Susi juga telah menerbitkan Permen No 35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan, dalam rangka menegakkan tiga pilar pembangunan kelautan dan perikanan serta mewujudkan sistem pencegahan pelanggaran HAM dalam bisnis perikanan yang efektif sehingga kasus pelanggaran HAM dalam bidang tersebut tidak terulang lagi.
Dengan adanya peraturan tersebut, ujar Menteri Susi ketika itu, KKP sebagai representasi pemerintah menunjukkan komitmen dalam menghormati, melindungi, membela dan menjamin hak setiap warga negara.
"Tanpa peraturan tidak bisa ada komitmen. Mudah-mudahan hari ini KKP sudah menanamkan kepedulian, komitmen dan janji untuk melaksanakan HAM secara proporsional dan pada tempatnya," tutur Menteri Kelautan dan Perikanan.
Regulasi yang menjunjung tinggi memang sangat diperlukan untuk memperkuat fondasi kerangka penegakan HAM, tetapi lebih penting lagi untuk memastikan bahwa aturan itu benar-benar diterapkan secara nyata di lapangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017