Pemalang, Jateng (Antara Babel) -  Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah,  Muntohir, bertekad mengajak semua pemangku kepentingan memelihara ekosistem laut setempat untuk mempertahankan kelestarian rajungan (Portunus pelagicus) sebagai salah satu komoditas perikanan penyumbang devisa negara yang besar.

"Jadi dengan mempertemukan para pihak agar ada satu persepsi, persamaan pemikiran dalam penangkapan ikan, termasuk rajungan agar tidak terjadi kesalahan dan pelanggaran hukum karena usaha ini sifatnya berkelanjutan dan sumber daya perikanan tetap lestari," katanya di Pemalang, Selasa.

Saat membuka kegiatan "Sosialisasi Penangkapan dan Pendataan Perikanan Rajungan Yang  Berkelanjutan" atas kerja sama para pihak, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Perikanan Kabupaten Pemalang, Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), PT Blue Star Anugrah (BSA),   Sustainable Fisheries Partnership (SFP) itu, ia menekankan keniscayaan pentingnya menaati aturan yang berlaku guna mencapai tujuan.

"Kalau tidak ada aturan, seperti sekali menangkap dalam jumlah banyak lalu selesai, dan kemudian sumber daya yang ada tidak kontinyu, maka tidak memberikan nilai tambah bagi semua pihak," katanya di depan puluhan peserta, baik dari kalangan pemerintah, pengusaha, dan nelayan rajungan, dengan narasumber utama peneliti utama Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (BBPPI) Semarang-Ditjen Tangkap KKP Zarochman.

Dia mengatakan usaha-usaha dalam rantai industri perikanan rajungan itu sebagai suatu keharusan dan membutuhkan pasokan bahan baku yang berkelanjutan.

"Kita pelihara lautnya, ikuti perundangannya agar sumber daya rajungan dan ikan di Pemalang tetap lestari," katanya.

Muntohir menambahkan bahwa Peraturan Menteri (Permen) KKP Nomor 56/Permen-KP/2016 tentang penangkapan dan/atau pengeluaran lobster (panulirus spp.), kepiting (scylla spp.), dan rajungan (portunus spp.) dari wilayah  negara Republik Indonesia, di antaranya mengatur penangkapan rajungan berukuran minimal 10 cm.

Harapannya, agar rajungan yang kecil dan bertelur  tidak sembarangan ditangkap  hingga ukuran sesuai aturan guna tetap lestarinya sumber daya yang ada.  

Di sisi lain, kata dia, ada syarat yang semakin ketat karena pasar dunia/internasional mensyaratkan aturan-aturan dengan prinsip keberlanjutan.

"Dan tidak menerima barang dari manapun kalau melanggar peraturan, terutama komoditas rajungan," katanya.

Ia mengatakan sosialisasi semacam itu sangat penting agar menjadi rujukan semua pemangku kepentingan.

Mengawali

Sekjen APRI Bambang Arif Nugraha dalam kesempatan itu memaparkan sejarah bahwa Kabupaten Pemalang daerah yang mengawali pengembangan rajungan dalam skala industri.

"Industrialisasi pengolahan perikanan rajungan dimulai di Pemalang, 2 Juli 1994, jadi hingga kini sudah sekitar 23 tahun silam," katanya.

Dia mengatakan kegiatan dipelopori oleh sebuah perusahaan dari Amerika Serikat, Phillips Seafoods.

Dahulu, katanya, sebelum industri berkembang, rajungan tidak memiliki nilai yang berarti, hanya menjadi produk "bycatch", dan bukan merupakan produk target penangkapan.

Ia mengatakan roses industrialisasi membuat rajungan menjadi buruan utama, sehingga pada gilirannya menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi nelayan skala kecil, di bawah 10 GT, beserta seluruh keluarganya untuk bekerja di rantai pasok industri rajungan.

Namun demikian, selama 23 tahun perjalanan industrialiasi perikanan rajungan, menunjukkan beberapa permasalahan, seperti permasalahan kualitas produk dan "overfishing".

Oleh karena itu, APRI yang didirikan industri pengolahaan rajungan kemudian mengupayakan kegiatan Fishery Improvement Project (FIP) untuk menjaga kelestarian pengelolaan rajungan.

"Saat ini APRI memiliki proyek pemilihan perikanan rajungan atau disebut FIP itu," katanya.

Ia merujuk pada data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM)-KKP yang mencatat nilai ekspor rajungan Indonesia pada 2014 melebihi 308 juta dolar AS atau sekitar Rp4 triliun.

Volume ekspor rajungan terjadi peningkatan signifikan, yaitu pada 2014 sekitar 10, 8 juta ton, pada 2015 mencapai 15, 8 juta ton, dan pada 2016 menjadi 19,4 juta ton.      
Nilai perdagangan ekspor rajungan dan kepiting dengan "harmonized system (HS) code" (kode sistem harmonisasi atau nomenklatur tarif yang diakui secara internasional berdasarkan klasifikasi produk yang diperdagangkan) yang sama--  tertinggi,  terjadi pada 2014 yang mencapai 414, 372 juta dolar atau sekitar Rp5,4 triliun.

Menurut Arie Prabawa dari PT BSN, pelaku industri rajungan,  Pemalang, sebagai daerah pertama, di mana industri rajungan berdiri masih eksis hingga kini.

"Harapannya Pemalang sebaga inovator industrialisasi rajungan akan tetap lestari. Karena itu, kami bekerja sama dengan nelayan dan 'miniplant', mohon dukungan dan bantuan agar jika ada kepentingan surat dan izin ekspor dapat dilakukan dengan efektif dan efisien," katanya.

Peneliti utama BBPPI Zarochman  menjelaskan pentingnya pemakaian alat tangkap ramah lingkungan untuk terjaganya sumber daya rajungan, tidak hanya di Pemalang namun juga di daerah-daerah lain di Indonesia yang menjadi sentra komoditas itu.

Tita Nopitawati dari SFP menambahkan pihaknya bekerja sama dengan APRI terus menggagas upaya perbaikan pengelolaan rajungan, sehingga terjadi sinergi antara kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017