Jakarta (Antara Babel) - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menjelaskan masalah pembatalan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) beberapa perusahaan Jepang yang disinggung oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

"Itu complain perusahaan-perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Lantas waktu saya ke Jepang, bertemu perdana menterinya, perdana menteri Jepang menyampaikan complain berat soal itu karena itu melanggar ketentuan dan tidak benar," kata Luhut di kompleks Istana Presiden Jakarta, Selasa.

"Lalu setelah saya pulang ke Indonesia, saya undang instansi yang terkait, menanyakan termasuk perusahaan-perusahaan Jepang yang besar-besar itu, termasuk duta besarnya, termasuk dengan Dirjen Pajak. Kemudian dibuka bukunya, dan setelah dibuka bukunya memang Dirjen Pajak salah, mereka mengakui itu salah," katanya.

Pada Senin (13/3), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv sempat memberikan kesaksian bahwa ia mewakili Direktur Jenderal Pajak dipanggil Luhut Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan untuk membereskan sejumlah keluhan pajak perusahaan Jepang terkait pencabutan PKP perusahaan Jepang oleh Kantor Pelayanan Pajak Penananam Modal Asing Enam Jakarta.

"Besoknya saya dipanggil Pak Luhut, Menkopolhukam waktu itu. Yang dipanggil Pak Dirjen tapi saya yang diminta ke sana. Di situ ada Dubes Jepang, semua kumpul. Saya ditanya 'siapa kau?' Saya katakan kalau saya Kakanwil Pajak khusus, lalu saya disampaikan bahwa Dubes Jepang sudah ke Presiden (Jokowi), 'Kau selesaikan sore ini bisa?' Saya katakan 'siap Pak'," katanya.

"Lalu saya ditugaskan untuk menyelesaikan. Saya telepon Pak Dirjen Pajak, lalu dibatalkan semua pencabutan PKP dan pengusaha Jepang itu datang ke saya dan menyampaikan terima kasih," kata Haniv di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu (13/3).

Luhut pun mengakui bahwa pembatalan itu dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

"Tidak ada Dubes Jepang menghadap Presiden, maksudnya Perdana Menteri Jepang bertemu saya. Lalu mereka (pihak Dirjen Pajak) mengatakan akan mencabut kebijakan pajak itu, ya silakan cabut. Pertanyaan saya, apakah bisa dicabut hari itu juga? Dan bisa saja," jelas Luhut. 

Luhut membantah bahwa ia mengupayakan pencabutan PKP untuk satu perusahaan khusus.

"Tidak ada untuk perusahaan khusus, dan saya juga tidak ada follow-up ke Dirjen Pajak. Itu urusan Dirjen Pajak karena saya minta Dirjen Pajak pelajari itu, dibuka semua, kenapa kok kita bisa berubah-ubah aturan? Itu semua di Direktorat Jenderal Pajak," ungkap Luhut.

Luhut mengaku tidak merasa namanya diseret-seret dalam perkara itu.

"Tidak ada merasa diseret-seret, itulah pekerjaan kita kalau mau melurus-luruskan. Pastilah ada yang mau ngomong sana-sini, wong semuanya sudah terbuka," kata Luhut.

Haniv mengemukakan masalah pencabutan PKP perusahaan Jepang saat bersaksi dalam sidang kasus suap dengan terdakwa Country Director PT EK Prima Ekspor (EKP) Ramapanicker Rajamohanan Nair.

Ramapanicker didakwa menyuap Kepala Subdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno dengan uang 148.500 dolar AS (Rp1,98 miliar) dari komitmen Rp6 miliar untuk Muhammad Haniv dan Handang.

Pemberian suap itu ditujukan untuk melancarkan usuran pengajuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) periode Januari 2012-Desember 2014 sebanyak Rp3,53 miliar, Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai, Penolakan Pengampunan Pajak, Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Pemeriksaan Bukti Permulaan di KPP PMA Enam Kalibata dan Kantor Kanwil Dirjen Pajak (DJP) Jakarta Khusus.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017