Nama seorang tokoh dunia usaha Oesman Sapta Odang alias OSO sejak Senin (3/4) tiba-tiba semakin terkenal ke seluruh Tanah Air setelah secara "mendadak" dilantik menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bersama dua Wakil Ketua  Nono Sampono dan Darmayanti Lubis.

OSO bisa dibilang memecahkan rekor di bidang politik dalam negeri karena sampai detik itu secara sekaligus mengendalikan tiga jabatan penting yakni Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Hanura menggantikan Jenderal Purnawirawan Wiranto, dan Ketua DPD. Pada zaman Orde Baru saja rasanya belum pernah ada pejabat "sehebat" ini.

OSO disumpah dengan "tuntunan" Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suwardi untuk menggantikan Muhammad Saleh yang hanya beberapa bulan menjadi ketua DPD guna menggantikan Irman Gusman yang jatuh dari kursi empuknya karena "hanya" menerima uang sogokan atau bahasa halusnya gratifikasi Rp100 juta dari seorang pengusaha gula di Provinsi Sumatera Barat yang meminta " jasa atau bantuan" Irman agar bisa mengimpor gula.

Keributan perdebatan bahkan saling mendorong diantara anggota DPD itu terjadi ketika  ada sekelompok anggota DPD yang ingin memaksakan terpilihnya pimpinan baru lembaga negara itu sedangkan sebaliknya ada juga anggota-anggota yang belum atau bahkan tidak mau terjadinya perubahan kepemimpinan lembaga ini.

Oesman Sapta Odang didampingi oleh Nono Sampono yang ternyata adalah seorang jenderal purnawirawan dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang pernah memiliki berbagai jabatan antara lain komandan Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres pada zaman pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Saat ini Nono juga bergerak di dunia bisnis.

Sinetron atau pertunjukan yang sangat memalukan yang dipertontonkan segelintir dari 132 anggota DPD itu akhirnya mengundang reaksi dari berbagai kalangan mulai dari pejabat tinggi hingga pengamat politik.

Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla tanpa sungkan-sungkan melontarkan rasa malunya, antara lain dengan menyatakan "Terus-terang memalukan kita, baik di dalam negeri maupun di luar negeri".

Sementara itu, seorang pakar hukum tata negara Profesor Jimly Asshidiqie menyampaikan  rasa keprihatinannya yang sangat mendalam, dengan mengatakan "Putusan MA harus tetap dihormati. Namun musyawarah mufakat internal DPD juga harus tercapai".

Kenapa sih sampai muncul situasi carut-marut ini sehingga membuat rakyat pusing?

Masa jabatan semua anggota DPD adalah lima tahun, sehingga seharusnya masa jabatan pimpinan  lembaga negara ini juga lima tahun. Namun ternyata, pada saat Irman Gusman masih memimpin instansi ini, tiba-tiba muncul wacana agar masa jabatan ketua dan wakil ketua "disunat" menjadi hanya dua tahun dan enam bulan. Dengan munculnya "gagasan cemerlang" ini maka bisa muncul penempatan pimpinan yang baru. Namun ternyata gagasan itu ditentang atau ditolak oleh sebagian anggota DPD.

Rupanya para pendukung wacana ini terus "bergerilya" tidak kehilangan akal  sehingga memanfaatkan jatuhnya Irman Gusman untuk terus mewujudkan ambisi politiknya itu antara lain dengan cara menempatkan Muhammad Saleh sebagai ketua pengganti Irman.

Namun ternyata mayoritas rakyat tidak tahu bahwa di balik mendudukkan Muhammad saleh itu ada skenario lain yaitu tetap memutuskan masa jabatan  dua tahun dan enam bulan kedua akan segera diterapkan. Karena itu, dilemparkan ide bahwa  kepemimpinan  DPD haruslah "digilir" berdasarkan asal wilayah para anggota lembaga ini. Jika dahulu Irman disebut-sebut mewakili wilayah Indonesia Barat, kemudian Saleh dari Indonesia Tengah maka kini menjadi "kehormatan"  wakil rakyat dari Indonesia Timur untuk memimpin DPD  yakni OSO.

Karena masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun, maka kemudian segelintir anggota DPD mengambil keputusan supaya masa jabatan pimpinannya "disunat" saja menjadi dua tahun dan enam bulan". Namun ternyata Mahkamah Agung memutuskan bahwa  keputusan DPD itu tidak sah sehingga harus dikembalikan ke periode lima tahun.

Namun "entah kenapa", tiba- tiba Wakil Ketua MA Suwardi "menuntun" pelantikan OSO, Nono dan Darmayanti, dengan alasan bahwa Ketua MA Hatta Ali sedang melakukan ibadah umroh ke Arab Saudi, sehingga berhasillah para pendukung OSO untuk menempatkan Oesman Sapta Odang ini di tampuk pimpinan tertinggi DPD.

Kenapa memalukan?

Untuk sementara itu, lawan politik OSO seperti Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad "kalah" karena lawan politiknya sudah dilantik sehingga memiliki "posisi politik" yang cukup kuat sehingga tentu saja tidak mudah untuk "digoyang" walaupun masih saja ada peluang untuk menata kembali atau mengembalikan posisi kepemimpinan lima tahun misalnya dengan mengajukan judicial review.

Namun, yang pantas dipertanyakan oleh mayoritas penduduk di Tanah Air adalah kenapa sampai harus terjadi "perang terbuka" di antara sesama anggota DPD untuk memperebutkan posisi pimpinan DPD ini?

Yang pasti adalah jika muncul tiga orang yang menjadi ketua dan dua wakil ketua DPD, maka gengsi mereka akan naik secara drastis. Nono Sampono dan Darmayanti Lubis misalnya saja bisa "disetarakan" dengan Wapres Jusuf Kalla karena posisi OSO sudah sama dengan Presiden Joko Widodo. Ke mana pun OSO pergi maka dia pasti akan dikawal oleh posisi dan mendapat kehormatan "hamparan karpet merah".

Apabila melakukan kunjungan ke daerah maka para pejabat lokal harus pontang-panting menyambut OSO dan begitu banyak lagi fasilitas yang bakal dinikmatinya. Sekalipun  uang tunjangan jabatan yang bakal diterima OSO pasti setumpuk, jumlah itu bisa diperkirakan" tidak ada artinya" karena harta kekayaan Oesman pasti sudah setumpuk, atau jika dengan bahasa gurauan maka uang OSO itu "tak ada nomor serinya" karena sudah sulit dihitung.

Kenikmatan duniawi tidak hanya akan dinikmati tiga tokoh ini tapi juga pasti dirasakan oleh para pengikutnya atau "gengnya" karena baik secara langsung maupun tidak langsung juga bakal kecipratan.

Karena itu, pertanyaan yang pantas disampaikan kepada "kelompok baru" ini adalah apakah mereka benar- benar ingin mengabdikan dirinya kepada ratusan juta orang Indonesia yang mayoritas masih hidup di bawah garis kemiskinan ataukah mereka cuma ingin menikmati "kehidupan yang glamour" selama dua tahun dan enam bulan mendatang?

Selama ini boleh dibilang para anggota DPD merengek-rengek atau mengemis kepada "saudara tuanya" di Dewan Perwakilan Rakyat supaya mereka juga memiliki hak-hak politik yang benar-benar setara atau sederajat. Akan tetapi gara-gara "pertikaian internal" di DPD maka bisa saja DPR akan semakin "sebel" terhadap saudara-saudara mudanya itu.

Masyarakat perlu mengetahui bahwa jumlah anggota DPD adalah 132 orang, karena setiap provinsi berhak mengirimkan empat wakilnya  ke Senayan. Sampai saat ini baru 33 provinsi yang  sudah menempatkan wakilnya di lembaga negara ini, sedangkan Kalimantan Utara atau Kalut belum bisa mengirimkan utusannya ke DPD karena daerah itu baru beberapa tahun berdiri sendiri sebagai provinsi yang baru yang terpisah dari provinsi induknya Kalimantan Timur.

Dengan merenungkan kasus terbaru ini, maka apa yang harus dipikirkan 132 anggota DPD terutama OSO, Nono dan Darmayanti?

Semua anggota tanpa terkecuali harus memikirkan secara mendalam dan sungguh-sungguh apakah pergantian pimpinan DPD ini terjadi karena ingin meningkatkan kinerja, posisi politik mereka ataukah cuma "sekadar" bagi- bagi kue alias rezeki?

Jika tujuan utama mereka adalah meningkatkan posisi politik maka bisa diduga rakyat terutama para politisi, pakar serta pejabat niscaya bisa mendukung wacana itu. Namun sebaliknya, apabila  yang maju sebagai pimpinan DPD yang baru ini bersama "gengnya" hanya untuk menambah  "uang saku" maka pasti bisa dibayangkan rakyat atau mayoritas rakyat di Tanah Air akan membenci mereka sehingga tidak lagi dikatakan  sebagai hal yang memalukan tapi juga memuakkan.

Karena itu, pimpinan dan seluruh anggota DPD harus memutuskan pilihan manakah yang bakal dipilihnya  agar jangan sampai akhirnya mayoritas rakyat Indonesia menjatuhkan pilihannya supaya DPD dibubarkan saja karena merasa "tak ada gunanya" sedikitpun.

Pewarta: Arnaz Firman

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017