Selasa (11/4) merupakan hari yang pasti tidak bisa dilupakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena ada dua kejadian luar biasa yang terjadi, yakni penyerangan terhadap penyidik senior Novel Baswedan melalui penyiraman atau penyemprotan air keras terhadap bekas anggota Polri itu sehingga pada Rabu, Novel harus dibawa ke Singapura untuk menjalani pengobatan lebih mendalam.
Kejadian kedua yang pasti akan dikenang rakyat di seluruh Tanah Air adalah penetapan status cekal terhadap Setya Novanto yang status resminya adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR dan juga menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya atau Golkar. Status cekal itu diberlakukan karena Setya Novanto diduga keras terlibat dalam kasus penyalahgunaan anggaran pembuatan KTP Elektronik.
Proyek mahabesar ini nilainya mencapai Rp5 triliun sedangkan lembaga antirasuah KPK menduga ada korupsi atau penyalahgunaan tidak kurang dari Rp2,3 triliun. Pada tahun 2009-2019, Novanto adalah ketua Fraksi Golkar dan pengadilan tindak pidana korupsi sedang menyidangkan dua terdakwa yakni mantan direktorat jenderal Kependudukan dan catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Proyek yang pasti membuat ngiler puluhan pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR serta segelintir pengusaha kelas kakap ini antara lain juga diduga menjerat mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraeni serta pengusaha "kelas kakap" yang selama ini sukses menggaet beberapa proyek besar pemerintah yaitu Andi Narogong atau Andi Agustinus.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan" Pencekalan dilakukan karena kaitan Novanto dengan Andi cukup erat. Keterangan Novanto akan banyak dibutuhkan oleh penyidik sehingga membutuhkan banyak waktu dari yang bersangkutan," ungkap Alexander Martawa.
Tindakan pencegahan Novanto untuk pergi ke luar negeri itu akan berlangsung tidak kurang dari enam bulan. Dengan dicekalnya Ketua DPR untuk bepergian atau "berjalan-jalan ke luar negeri" maka hal itu tentu saja diperkirakan bisa menghambat pelaksanaan tugas pimpinan lembaga negara ini.
Apa sih reaksi para wakil rakyat yang terhormat terhadap penetapan status cekal terhadap Ketua DPR ini?
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengungkapkan lembaga perwakilan rakyat ini merasa sangat keberatan terhadap penetapan status cekal terhadap koleganya itu.
Namun ternyata di pihak lain ada juga wakil rakyat yang jujur dengan menyatakan bahwa upaya membongkar dugaan kasus korupsi dana rakyat sekitar Rp2,3 triliun itu harus benar-benar dihormati termasuk larangan bepergian ke luar negeri terhadap sang Ketua selama enam bulan.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita mendukung putusan KPK antara lain dengan menyatakan "Pencegahan itu adalah hal yang biasa dan merupakan hak prerogatif penyidik KPK". Agus Gumiwang adalah putra Ginandjar Kartasasmit yang juga merupakan tokoh senior Golkar.
Kenapa sih pencekalan Novanto ini menjadi bahan gunjingan banyak pihak?
Hal itu muncul terutama karena yang dicekal adalah Ketua DPR walaupun status Novanto pada saat kasus ini muncul adalah ketua Fraksi Golkar di DPR dan yang tak kalah pentingnya adalah karena KPK mungkin baru pertama kalinya menetapkan larangan bepergian ke luar negeri bagi seorang pimpinan lembaga negara.
Bernilaikah pencekalan ini?
Usai diumumkannya status cekal itu, kemudian Setya Novanto kepada wartawan antara lain mengatakan dirinya siap berhubungan atau berkomunikasi dengan lembaga KPK.
"Saya siap berhubungan dengan KPK," katanya.
Kasus ini menjadi pusat perhatian para anggota DPR, politisi yang duduk di DPR, hingga orang awam karena menyangkut nama Setya Novanto. Pada masa lalu, nama Setnov telah berulang kali dikait- kaitkan dengan sejumlah proyek pemerintah yang menghabiskan dana yang sangat besar dan selalu saja Setnov selalu "sukses" berkelit dari dugaan-dugaan atau tuduhan itu.
Sampai detik ini saja, ada segelintir wakil rakyat yang terhormat yang masih dikait-kaitkan dengan proyek- proyek menggiurkan nilainya mulai dari Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro serta Musa Zainuddin. Sebelumnya beberapa tahun yang lalu muncul nama- nama dari Senayan mulai dari Angelina Sondakh, Mohammad Nazarudin hingga Anas Urbaningrum.
Para wakil rakyat itu umumnya "berhasil" menarik" uang pemerintah ke kantongnya pribadi karena pada saat itu pemerintah dikuasai oleh partai- partai politik tempat mereka "berlindung".
Namun karena pemilihan umum tinggal dua tahun lagi yakni pada tahun 2019, maka ada ada pertanyaan yang sangat patut direnungkan atau dipikirkan oleh ratusan juta calon pemilih bagi pemilu mendatang.
Karena di parlemen mulai dari MPR, DPR dan DPRD hing kini masih ada "oknum-oknum" yang tidak bertanggung jawab karena matanya menjadi "sangat hijau" jika melihat uang rakyat yang bertumpuk-tumpuk maka masih pantaskah orang-orang semacam ini dipilih atau bahkan dipilih lagi menjadi wakil rakyat yang sangat terhormat"?.
Cobalah rakyat melihat kasus keributan di antara 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPR yang detik ini pada dasarnya bisa dibagi ke dalam dua "geng" atau kelompok, yaitu pendukung Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad serta di lain pihak "geng" Oesman Sapta Odang atau OSO dan Nono Sampono.
Benarkah kedua pihak yang sering disebutkan "berseberangan" ini 100 persen mengabdi kepada kepentingan sedikitnya 252 juta orang Indonesia ataukah mereka ini termasuk kelompok yang sangat memprioritaskan prinsip "UUD" atau "ujung- ujungnya duit".
Kalau kedua pihak ini benar-benar 1000 persen mengabdi kepada rakyat atau selalu mengutamakan kepentingan masyarakat maka pasti tidak akan terjadi aksi dorong-mendorong di forum yang sangat mulia atau terhormat di gedung parlemen, Senayan, Jakarta.
Jika masyarakat kembali ke kasus pencekalan Ketua DPR yang sangat luar biasa memprihatinkan atau menyedihkan itu maka ada satu pertanyaan yang wajib dijawab oleh pemilih yakni apakah model yang "beginiankah" yang masih patut dicoblos gambarnya pada tahun 2019?
Tanpa menyebutkan satu nama pun juga yang selama ini sudah duduk di "singgasana parlemen" maka sudah seharusnya rakyat bisa tahu siapa saja yang pantas mewakili mereka pada DPR dan DPRD serta DPD masa bakti 2019-2024.
Tidak berlebihan sama sekali pasti masih ada anggota DPR yang sopan, tahu diri terhadap posisi mereka sebagai wakil rakyat yang benar-benar berjiwa kerakyatan dan juga matanya tidak langsung "hijau atau berbinar-binar" jika melihat setumpuk uang di depan mata mereka.
Kini tiba saatnya bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya para calon pemilih para pemilu 2019 untuk membuka lebar-lebar mata mereka guna mempelajari calon-calon wakil rakyat yang bernafsu maju ke pemilu supaya tidak terperdaya atau tertipu lagi menyaksikan kampanye-kampanye yang gombal yang dilontarkan demi kepentingan pribadi mereka sendiri dan bukannya demi rakyat Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017
Kejadian kedua yang pasti akan dikenang rakyat di seluruh Tanah Air adalah penetapan status cekal terhadap Setya Novanto yang status resminya adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR dan juga menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golongan Karya atau Golkar. Status cekal itu diberlakukan karena Setya Novanto diduga keras terlibat dalam kasus penyalahgunaan anggaran pembuatan KTP Elektronik.
Proyek mahabesar ini nilainya mencapai Rp5 triliun sedangkan lembaga antirasuah KPK menduga ada korupsi atau penyalahgunaan tidak kurang dari Rp2,3 triliun. Pada tahun 2009-2019, Novanto adalah ketua Fraksi Golkar dan pengadilan tindak pidana korupsi sedang menyidangkan dua terdakwa yakni mantan direktorat jenderal Kependudukan dan catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Proyek yang pasti membuat ngiler puluhan pejabat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat alias DPR serta segelintir pengusaha kelas kakap ini antara lain juga diduga menjerat mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri Diah Anggraeni serta pengusaha "kelas kakap" yang selama ini sukses menggaet beberapa proyek besar pemerintah yaitu Andi Narogong atau Andi Agustinus.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkapkan" Pencekalan dilakukan karena kaitan Novanto dengan Andi cukup erat. Keterangan Novanto akan banyak dibutuhkan oleh penyidik sehingga membutuhkan banyak waktu dari yang bersangkutan," ungkap Alexander Martawa.
Tindakan pencegahan Novanto untuk pergi ke luar negeri itu akan berlangsung tidak kurang dari enam bulan. Dengan dicekalnya Ketua DPR untuk bepergian atau "berjalan-jalan ke luar negeri" maka hal itu tentu saja diperkirakan bisa menghambat pelaksanaan tugas pimpinan lembaga negara ini.
Apa sih reaksi para wakil rakyat yang terhormat terhadap penetapan status cekal terhadap Ketua DPR ini?
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengungkapkan lembaga perwakilan rakyat ini merasa sangat keberatan terhadap penetapan status cekal terhadap koleganya itu.
Namun ternyata di pihak lain ada juga wakil rakyat yang jujur dengan menyatakan bahwa upaya membongkar dugaan kasus korupsi dana rakyat sekitar Rp2,3 triliun itu harus benar-benar dihormati termasuk larangan bepergian ke luar negeri terhadap sang Ketua selama enam bulan.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang Kartasasmita mendukung putusan KPK antara lain dengan menyatakan "Pencegahan itu adalah hal yang biasa dan merupakan hak prerogatif penyidik KPK". Agus Gumiwang adalah putra Ginandjar Kartasasmit yang juga merupakan tokoh senior Golkar.
Kenapa sih pencekalan Novanto ini menjadi bahan gunjingan banyak pihak?
Hal itu muncul terutama karena yang dicekal adalah Ketua DPR walaupun status Novanto pada saat kasus ini muncul adalah ketua Fraksi Golkar di DPR dan yang tak kalah pentingnya adalah karena KPK mungkin baru pertama kalinya menetapkan larangan bepergian ke luar negeri bagi seorang pimpinan lembaga negara.
Bernilaikah pencekalan ini?
Usai diumumkannya status cekal itu, kemudian Setya Novanto kepada wartawan antara lain mengatakan dirinya siap berhubungan atau berkomunikasi dengan lembaga KPK.
"Saya siap berhubungan dengan KPK," katanya.
Kasus ini menjadi pusat perhatian para anggota DPR, politisi yang duduk di DPR, hingga orang awam karena menyangkut nama Setya Novanto. Pada masa lalu, nama Setnov telah berulang kali dikait- kaitkan dengan sejumlah proyek pemerintah yang menghabiskan dana yang sangat besar dan selalu saja Setnov selalu "sukses" berkelit dari dugaan-dugaan atau tuduhan itu.
Sampai detik ini saja, ada segelintir wakil rakyat yang terhormat yang masih dikait-kaitkan dengan proyek- proyek menggiurkan nilainya mulai dari Damayanti Wisnu Putranti, Budi Supriyanto, Andi Taufan Tiro serta Musa Zainuddin. Sebelumnya beberapa tahun yang lalu muncul nama- nama dari Senayan mulai dari Angelina Sondakh, Mohammad Nazarudin hingga Anas Urbaningrum.
Para wakil rakyat itu umumnya "berhasil" menarik" uang pemerintah ke kantongnya pribadi karena pada saat itu pemerintah dikuasai oleh partai- partai politik tempat mereka "berlindung".
Namun karena pemilihan umum tinggal dua tahun lagi yakni pada tahun 2019, maka ada ada pertanyaan yang sangat patut direnungkan atau dipikirkan oleh ratusan juta calon pemilih bagi pemilu mendatang.
Karena di parlemen mulai dari MPR, DPR dan DPRD hing kini masih ada "oknum-oknum" yang tidak bertanggung jawab karena matanya menjadi "sangat hijau" jika melihat uang rakyat yang bertumpuk-tumpuk maka masih pantaskah orang-orang semacam ini dipilih atau bahkan dipilih lagi menjadi wakil rakyat yang sangat terhormat"?.
Cobalah rakyat melihat kasus keributan di antara 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPR yang detik ini pada dasarnya bisa dibagi ke dalam dua "geng" atau kelompok, yaitu pendukung Kanjeng Ratu Hemas dan Farouk Muhammad serta di lain pihak "geng" Oesman Sapta Odang atau OSO dan Nono Sampono.
Benarkah kedua pihak yang sering disebutkan "berseberangan" ini 100 persen mengabdi kepada kepentingan sedikitnya 252 juta orang Indonesia ataukah mereka ini termasuk kelompok yang sangat memprioritaskan prinsip "UUD" atau "ujung- ujungnya duit".
Kalau kedua pihak ini benar-benar 1000 persen mengabdi kepada rakyat atau selalu mengutamakan kepentingan masyarakat maka pasti tidak akan terjadi aksi dorong-mendorong di forum yang sangat mulia atau terhormat di gedung parlemen, Senayan, Jakarta.
Jika masyarakat kembali ke kasus pencekalan Ketua DPR yang sangat luar biasa memprihatinkan atau menyedihkan itu maka ada satu pertanyaan yang wajib dijawab oleh pemilih yakni apakah model yang "beginiankah" yang masih patut dicoblos gambarnya pada tahun 2019?
Tanpa menyebutkan satu nama pun juga yang selama ini sudah duduk di "singgasana parlemen" maka sudah seharusnya rakyat bisa tahu siapa saja yang pantas mewakili mereka pada DPR dan DPRD serta DPD masa bakti 2019-2024.
Tidak berlebihan sama sekali pasti masih ada anggota DPR yang sopan, tahu diri terhadap posisi mereka sebagai wakil rakyat yang benar-benar berjiwa kerakyatan dan juga matanya tidak langsung "hijau atau berbinar-binar" jika melihat setumpuk uang di depan mata mereka.
Kini tiba saatnya bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya para calon pemilih para pemilu 2019 untuk membuka lebar-lebar mata mereka guna mempelajari calon-calon wakil rakyat yang bernafsu maju ke pemilu supaya tidak terperdaya atau tertipu lagi menyaksikan kampanye-kampanye yang gombal yang dilontarkan demi kepentingan pribadi mereka sendiri dan bukannya demi rakyat Indonesia.
COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017