Jakarta (Antara Babel) - Surya Dharma makin penasaran dengan guru mengajinya karena berbagai persoalan pribadi yang ditanyakan mudah dijawab, bahkan terasa makin mencerahkan. Kendati demikian ia kadang merasa tidak puas, mengingat jawaban sang guru disampaikan dengan kalimat sangat sederhana dan tepat tanpa terminologi ilmiah.

Sebagai alumni dari perguruan tinggi beken, Surya Dharma ingin penjelasan sang guru atas persoalan yang menimpanya dapat dibahas dengan pendekatan ilmiah. Paling tidak, jawaban sang guru disertai contoh kasus sehingga persoalan yang membelit dirinya dapat dicarikan solusi secara akademis pula.

Surya kini tak dapat menyembunyikan "kehebatan" sang guru. Jawabannya yang sederhana dan tepat, tanpa disertai argumentasi ilmiah itu selalu ada kesesuaian, bahkan persis sama seperti yang tertuang dalam buku-buku ilmiah. Padahal sang guru tak pernah duduk di bangku kuliah, apalagi menyelesaikan program S-2 dan seterusnya.

Kini rasa ingin tahu Surya terhadap "kehebatan" sang guru makin kuat. Terlebih lagi, pertanyaan-pertanyaan sebelum diajukan kepada sang guru itu di dalam majelis taklim secara tidak sengaja dapat terjawab rekannya yang duduk di sebelahnya. Sang guru, di mata Surya, seolah sudah dapat melihat dengan dimensi lain.

Suatu saat ia mengetes kemampuan sang guru yang kemudian menjadi guru spiritual pribadinya apakah ia melaksanakan shalat Asyar atau tidak pada hari sebelumnya. Surya berpura-pura lupa, dengan menyebut alasan terlalu lelah pada sore hari sehingga tidur.

Sambil senyum sang guru menjelaskan, tidak baik mengajukan pertanyaan tidak bermanfaat. Apalagi menguji keimanan seseorang. Padahal orang yang bersangkutan sudah mengerjakan kewajibannya seperti yang diperintahkan Allah.

"Anda sudah mengerjakannya, tapi itu tidak penting," kata sang guru dengan bijak.

Sang guru spiritual ini lantas menasihati Surya. Katanya, jika ingin mengerti dan memahami tentang kehebatan seseorang sejatinya hal itu tidak terlalu penting. Keesaan Allah dan segela kebesaran penciptaan-Nya menjadi penting untuk dihayati dan diamalkan dalam perjalanan hidup ini.

Surya semakin tidak paham kalimat gurunya itu. Dan sang guru pun mahfum. Lantas sang guru pun berucap. Pasti tak tahu kemana arah kalimat itu. Tapi, untuk tidak menambah penasaran, sang guru mengajari sang muridnya itu agar banyak merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta, pemilik alam semesta ini.

Tarekat dan Hati

Melaksanakan kewajiban seperti yang tertuang dalam rukun Islam dan Iman sudah pasti harus melekat dalam jiwa. Tidak cukup diungkap dalam kata-kata, sudahkah anda shalat lima waktu, sudahkah anda bersedekah dan memperhatikan anak yatim, dan menjalankan kesalehan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Terpenting, selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, baik dalam keadaan senang dan sulit. Kapan dan dimanapun.

Kini Surya mulai paham. Tetapi pemahaman itu baru sebatas fisik saja. Yaitu, kesalehan sosial dan spiritual yang banyak dilihat dari kegiatan orang banyak. Belum menyentuh hati, yang dalam spiritual tarekat, punya peranan penting. Hati sejatinya menjadi rujukan, panduan atau bisa pula sebagai kompas dalam perjalanan bagi seseorang yang memahami tanda-tanda kebesaran Allah dalam perjalanan di permukaan bumi ini.

Dalam spiritual Islam, untuk memahami hakikat kebesaran Allah, dikenal tarekat (thoriqoh, Bahasa Arab). Melalui tarekat seseorang mendapatkan jalan atau petunjuk, sistem, haluan. Belajar tarekat harus dibimbing seorang guru agar sang murid memperoleh pemahaman yang tepat tentang keesaan Allah.

Biasanya, para murid yang tergabung dalam majelis tarekat --seperti tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah atau Thoriqoh Qoodiriyah Naqsyabandiyah-- sering melaksanakan zikir bersama yang dikenal sebagai manaqib. Disebut manaqib lantaran pada pengujung acara zikir dibacakan biografi atau riwayat orang soleh.

Tentu, dengan harapan anggota jemaah zikir tersebut makin menghayati ajaran yang disampaikan, misalnya berupa anjuran meningkatkan amal saleh (kesalehan sosial), kehidupan bertoleransi dan kasih sayang sesama, tolong menolong. Termasuk menjalin hubungan yang baik dengan para petinggi negeri tanpa melukai siapa pun di negeri ini.

Pokoknya, pesan yang disampaikan sangat indah. Terlebih ketika disampaikan pesan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi, pendiri tarekat ini yang berdiri pada abad XIX M. Di Tanah Air, tarekat jumlahnya cukup banyak, tetapi untuk tarekat yang satu ini pengikutnya cukup besar. Hampir di tiap provinsi ada wakilnya yang disebut sebagai mursid tingkat provinsi.

Mengutip penjelasan dari tarekat Tijaniyyah, pengertian mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia tarekat. Ia sebelumnya memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shohibuth Thoriqoh dari Rasulullah SAW untuk mentalqin dzikir/ wirid tarekat kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid).

Dalam tarekat ini, sebutan untuk mursyid adalah "muqoddam".

Esensi dari ajaran tarekat adalah "jalan" atau "metode", dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam dalam upaya mencari kebenaran sejati. Lantas bagaimana caranya?

Petunjuk Guru

Dalam praktik, seperti yang dilakukan Surya Dharma, adalah mengikuti seluruh petunjuk dari sang guru sebagai mursidnya. Dalam kehidupan sehari-hari, sang murid tentu harus mengindahkan dan melaksanakan kewajiban rukun Islam dan Iman. Menghormati orang tua dan guru. Ia secara berkelanjutan memperbanyak zikir dengan ikhlas, semata-mata karena Allah. Menjauhkan ria atau sombong dan segala larangan Allah sebagai jalan membersihkan hati.

Jika saja semua itu berjalan dengan baik, dilakukan semata-mata mencari keridhoan Allah, maka hati yang semula diselimuti "kabut gelap" akan menjadi cerah. Ke depan, seperti yang diharapkan Surya Dharma, posisi hati mana kala sudah bersih dapat menjadi lentera dalam perjalanan hidup. Kadang, ia juga bisa melihat hati sebagai cermin untuk digunakan sebagai panduan hidup.

Tentu pula, lagi-lagi, Surya Dharma akan dilebihkan oleh Allah kedudukannya di atas permukaan bumi. Ia dapat memahami gerak hati orang lain yang dikenal sebagai ayat kauniyah, yaitu tanda berupa wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah.

Ayat-ayat ini bisa berbentuk kejadian, peristiwa dan sebagainya di dalam alam ini. Penting dipahami bahwa alam ini hanya mampu digerakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturan-Nya. Peristiwa kecelakaan, misalnya, harus dipahami sebagai pembelajaran bagi umat agar berkendaraan berhati-hati dan selalu mengecek "kesehatan" kendaraan yang digunakan.

Demikian juga kejadian longsor, bagi kalangan tarekat dimaknai sebagai pembelajaran bahwa manusia harus mengelola bumi dengan bijak. Tidak membabat hutan semena-mena sehingga dapat merusak lingkungan di kemudian hari.

Karena itu, para pengajar di kalangan pondok pesantren banyak menekankan pentingnya kejernihan hati bagi para santrinya. Harapannya, dengan hati yang jernih maka akan memudahkan santri dalam memahami materi yang disampaikan dan diajarkan sang guru atau ustadz.

Ini tidak bermaksud semua orang mesti belajar tarekat. Tetapi, yakinlah kejernihan hati penting dan akan memudahkan seseorang menerima materi pelajaran. Tarekat adalah salah satu upaya ke arah itu. Terpenting, semua bermuara untuk menggapai ridho Allah.

Pewarta: Edy Supriatna Sjafei

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017