Presiden Joko Widodo merasa kecewa bahwa sejumlah proyek infrastruktur terhambat karena penolakan masyarakat, padahal proyek infrastruktur sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Kekecewaan diungkapkan Jokowi pada saat menerima Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LHP LKPP) Tahun 2016, di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa, 23 Mei 2017.

Pemerintah pusat mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan. Jokowi mengatakan, seharusnya prestasi pemerintah ini menjadi momentum positif bagi semua pihak.  

Apalagi, pemerintah juga sebelumnya mendapat status "investment grade" atau layak investasi dari lembaga pemeringkatan dunia Standard and Poors (S&P).

Ia menyayangkan jika upaya pemerintah membangun infrastruktur tidak didukung oleh seluruh komponen masyarakat, padahal pembangunan infrastruktur seperti jalan dan transportasi massal akan sangat bermanfaat bagi masyarakat.

Masyarakat bisa terhindar dari kemacetan transpor yang rawan menimbulkan kerugian Rp27 triliun setiap tahunnya.    

Saya dapat ikut merasakan rasa kecewa Presiden Jokowi atas hambatan yang dihadapi berbagai proyek pembangunan infrastruktur.

Namun ikut merasakan saja jelas tidak cukup maka saya memberanikan diri untuk menawarkan solusi berdasar telaah kelirumologis terhadap masalah yang dihadapi program pembangunan infrastruktur yang dihadapi di Indonesia.

Telaah kelirumologis dilakukan Pusat Studi Kelirumologi sejak tahun 2016 terhadap atas penolakan rakyat terhadap pembangunan infrastruktur di Kampung Pulo, Kalijodo, Kalibata, Pasar Ikan Akuarium dan sebagai puncak adalah 28 September 2016 di Bukit Duri.

Berdasar rangkaian telaah kelirumologi atas penolakan rakyat terhadap pembangunan infrastruktur di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang keliru pada semangat pembangunan infrastruktur yang digelorakan sebagai primadonna kepemerintahan Presiden Jokowi demi menyejahterakan rakyat.  

Sudah benar bahwa presiden Jokowi mencanangkan program pembangunan infrastruktur di gugus terdepan perjuangan bangsa, negara dan rakyat Indonesia. Yang keliru adalah penatalaksanaan yang dilakukan oleh para penatalaksana pembangunan infrastruktur.

    
Keliru Tafsir

Pada kenyataan di lapangan, semangat pembangunan infrastruktur yang digelorakan Presiden Jokowi kerap kali ditafsirkan secara keliru oleh para penatalaksana pembangunan.

Pembangunan ditafsirkan sebagai berhala lalu dipaksakan menjadi tujuan keramat maka hukumnya wajib ditatalaksana secara utilitarianistik alias menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.

Akibat terbius gelora semangat pembangunan sehingga memberhalakan sebagai tujuan sakral itu maka pembangunan infrastruktur keliru ditatalaksanakan secara "rawe-rawe-rantas-malang-malang-putung" seolah sama saja dengan peperangan melawan penjajah.  

Perang melawan penjajah memang perlu semangat maju-tak-gentar yang siap membunuh musuh yang ingin menjajah, padahal jelas bahwa pembangunan bukan peperangan.

Dalam pembangunan sama sekali tidak ada perang melawan musuh yang harus dibunuh.

Maka pembangunan infrastruktur menjadi keliru apabila ditatalaksana dengan ketegahatian mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya apalagi rakyat yang sama sekali bukan musuh yang harus ditaklukkan, namun justru merupakan subjek yang harus diutamakan untuk dijunjung tinggi harkat martabatnya. Rakyat bukan objek namun subjek pembangunan.

    
Solusi

Jangan salahkan apabila rakyat menolak pembangunan yang mengorbankan rakyat. Yang bersalah adalah mereka yang keliru menafsirkan pembangunan infrastruktur sebagai suatu tugas keramat maka bukan hanya boleh, namun bahkan hukumnya wajib dilaksanakan dengan mengorbankan rakyat.  

Sebagai satu di antara sekian banyak contoh kekeliruan  paling parah adalah penggusuran yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta pada tanggal 28 September 2016 di Bukit Duri dengan dalih yang dislogankan sebagai "Normalisasi Kali Ciliwung" demi menanggulangi banjir, jalan macet dan entah apa lagi, padahal pada saat bangunan dan tanah di Bukit Duri "de facto" dan "de jure" masih dalam proses hukum di PN dan PTUN.  

Tragedi penggusuran Bukit Duri 28 September 2016 menurut majelis hakim, mantan Ketua MK Prof Mahfud MD, Menkumham Dr Yasonna Laoly atau siapa pun yang paham hukum, jelas merupakan suatu pelanggaran hukum secara sempurna.  

Maka adalah wajar apabila pembangunan infrastruktur dengan mengorbankan rakyat di Kampung Pulo, Kalijodo, Kalibata, Pasar Ikan Akuarium, Karawang, Tangerang, Sukomulyo, Kendeng, Lampung, Papua atau di mana pun ditolak oleh rakyat.

Maka sebagai solusi berdasar hasil telaah Pusat Studi Kelirumologi terhadap amanat penderitaan rakyat akibat pembangunan yang mengorbankan rakyat, dengan penuh kerendahan hati saya memberanikan diri menyampaikan saran kepada Bapak Presiden Jokowi agar berkenan memaklumatkan suatu petunjuk pelaksanaan bagi para penatalaksana pembangunan agar tidak menatalaksana pembangunan secara melanggar hukum, HAM, amdal, agenda Pembangunan berkelanjutan yang telah disekapati para anggota PBB (termasuk Indonesia) sebagai pedoman pembangunan planet bumi abad XXI, Kontrak Politik yang ditandatangani Joko Widodo dengan rakyat miskin Jakarta, serta Pancasila demi mengejawantahkan semangat pembangunan tanpa mengorbankan lingkungan alam, sosial, budaya dan rakyat.

Pewarta: Jaya Suprana

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017