Beijing (Antara Babel) - Serangan maut di dekat salah satu masjid di London, Inggris, telah memicu perdebatan tentang Islamofobia di China.

Para ahli etnisitas dan keagamaan di negara berpenduduk terbesar di dunia itu meminta masyarakat setempat untuk mewaspadai hal-hal yang mengakibatkan kebencian terhadap umat Islam menyusul serangan tersebut, demikian laporan Global Times di Beijing, Selasa.

Serangan di London, Senin (19/6), menewaskan sedikitnya satu orang dan melukai 10 orang setelah seorang pria yang mengendarai mobil van menabrakkan diri ke arah para jemaah shalat tarawih.

Pria tersebut menyasar umat Islam setelah dua pegaris keras melancarkan serangan di Inggris dalam bulan yang sama.

Menurut sejumlah akademisi terkemuka di China, terorisme berkedok Islam timbul sebagai dampak dari kolonialisme negara-negara Barat dan kegagalan diplomasi mereka pada saat ini.

Namun media sosial arus utama di China ada kecenderungan mengkritik Islam karena warganet percaya bahwa agama telah menimbulkan keretakan dan memicu kebencian antarumat.

"Teroris Islam merupakan produk dari kolonialisme negara-negara Barat yang menjajah dan memerangi negara-negara Islam serta menabur kebencian. Negara-negara Barat seharusnya memikirkan hal ini," kata Su Wei, seorang profesor di Sekolah Partai Komunis Cabang Chongqing yang mengecam Islamofobia.

Beberapa pengamat di China yakin bahwa kebijakan keagamaan dan etnisitas di negaranya mampu mencegah Islamofobia.

"Kebijakan keagamaan dan etnisitas yang sudah lama diterapkan di China mampu mencegah Islamofobia di negara ini," kata Xiong Kunxin, seorang profesor Minzu Uninversity of China, Beijing.

    
Kebebasan berpuasa

Meskipun secara resmi berhaluan ateis, pemerintah China tetap melindungi hak setiap umat beragama dalam menjalankan kewajibannya.        

Umat Islam dalam berbagai etnis di seluruh penjuru daratan Tiongkok dibebaskan menjalankan ibadah puasa wajib pada bulan Ramadhan ini, demikian koran yang dikelola partai berkuasa di China itu melaporkan.

"Namun hal itu bukan berarti China tidak mewaspadai terhadap kekuatan yang berkeinginan memerangi kelompok garis keras Islam," kata Xiong.

Islamofobia diyakini akan marak setelah warga China menjadi korban ekstremisme dan separatisme, terutama di daerah otonomi Uighur di Provinsi Xinjiang (wilayah baratlaut China).

Di luar Xinjiang, kelompok etnis Muslim diperlakukan lebih baik melebihi etnis Han, etnis mayoritas.

Umat Islam di China berperilaku moderat dan berbaur dalam budaya masyarakat setempat selama berabad-abad. Namun dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat mulai khawatir adanya ideologi radikal yang didukung kekuatan asing telah menjadi ancaman dan kesalahpahaman dalam kehidupan bermasyarakat di China.

"Sebagian besar umat Islam di China sangat menentang terorisme dan mendukung stabilitas dan keutuhan China," demikian kata seorang pengamat keagamaan China yang tidak bersedia menyebutkan jati dirinya.

Dia menekankan bahwa Islamofobia seharusnya tidak bisa ditoleransi dan tidak diberi tempat di China.

"Menyelaraskan Islam dengan situasi negara saat ini dapat membantu agama dalam memainkan peran positif untuk membangun bangsa," ujar pengamat tersebut sebagaimana dikutip Global Times.

Pewarta: M. Irfan Ilmie

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017