Rambut sama hitamnya, kepala lain isinya. Itulah tamsil perbedaan pendapat di antara orang banyak dalam menilai sesuatu, Begitu pula tanggapan atas tulisan berjudul "Ramadhan, Bulan Paceklik bagi Seniman Tradisional".

Pro-kontra adalah sesuatu yang biasa. Apalagi, menurut ajaran Islam, perbedaan adalah rahmat. Perbedaan itu saling melengkapi, menyempurnakan menuju kesempurnaan hakiki, sesuatu yang di luar jangkauan manusia karena hanya Allah Yang Maha Sempurna.

Pihak yang pro mengatakan, memang seniman tradisional terlupakan selama bulan Ramadhan. Sebetulnya, mereka sudah lama terlupakan di negeri ini.

Tidak hanya pada bulan puasa, tetapi hampir sepanjang masa, termasuk kini ketika banyak warga negara dan iklan berteriak: "Saya Pancasila!" Padahal, seni-budaya nasional (dengan seniman-budayawan tradisional sebagai pemangku kepentingan utama) diagung-agungkan sebagai aset dan wujud kepribadian nasional.

Masih dari pihak yang pro: "Seniman tradisional di Jepang dibiayai negara. Padahal, Jepang adalah negara yang tidak menganut ideologi Pancasila lho," kata yang lain lagi.

Sebaliknya, pihak yang kontra mengatakan: "Rapopo (tidak mengapa, atau gpp dalam bahasa medsosnya), justru paceklik membuat seniman lebih kreatif".

Pendapat ini merujuk ungkapan yang dipercayai ajaran seorang wali dalam tembang "Tombo Ati" (Obat Hati), yang terjemahan bebasnya adalah "Jalani lapar" (Weteng luwe lakonono) melalui berpuasa.

Masih ada lagi rujukan lain dalam kitab "Serat Wulangreh" karya Pakubuwono IV, raja Kasunanan Surakarta yang terjemahan bebasnya: "Latihlah kalbumu agar peka dalam menangkap firasat, jangan hanya makan dan tidur," (Padha gulangen ing kalbu ing sasmito amrih lantip, aja pijer mangan nendro).

"Lantip" bisa diterjemahkan sebagai peka, sensitif, cerdas dan kreatif. Banyak ajaran yang terkandung dalam sastra religi Jawa yang menganjurkan agar orang mengendalikan hawa nafsu, antara lain lewat puasa.

Pihak yang kontra ini berargumen: "Apa salahnya mengalami paceklik satu bulan, toh 11 bulan lainnya dihabiskan sibuk untuk urusan duniawi?" Alasan ini ditambah lagi: "Ramadhan adalah bulan milik dan semata untuk Tuhan".

Seorang yang berpikiran bebas, independen, bahkan cenderung liberal, berkomentar bahwa dalam bulan Ramadhan "dunia malam" memang sedang mengalami paceklik. Penjual jasa "dugem" dan warung remang-remang memang mengalami paceklik karena ditutup. Tapi, seniman tradisional kan tidak termasuk "PSK" atau penjual jasa lainnya yang dikategorkan asusila?

Kurang produktif?

Seorang rekan dari suku Padang (Minangkabau), yang umumnya bernaluri kuat sebagai pedagang menyela: "Kalau untuk pedagang ya, berkat lapar jadi kreatif untuk mencari peluang baru". Tapi, ia juga berpendapat, jika lapar terus-terusan itu pertanda miskin, dan orang miskin umumnya kondisinya lemah, sakit-sakitan dst. Dalam kondisi lemah, apa mungkin kreatif, produktif dan kompetitif?

Beberapa orang yang pro perlunya perhatian terhadap seniman tradisional berkomentar dengan sedikit nuansa politik: "Jangan benturkan agama dan budaya".

Komentar ini merujuk pada adanya tengara (fenomena) yang ditampilkan kelompok Islam tertentu yang menolak pelibatan unsur-unsur budaya lokal dalam urusan agama, yang dianggap sebagai "bid'ah" karena Muhammad Rasulullah tidak melakukan hal itu.

Seorang sarjana agama Islam, lulusan UIN, menjelaskan, yang dilarang itu bid'ah dalam hal akidah. Contohnya, dalam sholat menambahi jumlah rakaat yang tidak dilakukan Rasullullah.

Tapi, dalam hal muamalah, urusan sosial masyarakat, boleh menyesuikan diri dengan situasi dan kondisi setempat.

Sementara itu ada pihak yang menyebut dirinya sendiri atau dicap sebagai "Islam kultural" berpendapat bahwa dakwah Islam perlu menempuh proses akulturasi, yakni peleburan Islam dan budaya lokal agar prosesnya berlangsung damai.

Seorang Muslim pencari hakikat berpendapat dengan mengutip Surat Al Hujurat, ayat 13 (QS 49:13), yang berbunyi: "Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal". Setiap bangsa punya budaya dan bahasa masing-masing, tambahnya.

Sebagai seorang Muslim, yang mengenal Islam waktu kecil dalam lingkungan budaya Jawa dan masih ingin terus belajar serta pegiat budaya, saya berpendapat sebagai berikut: Budaya ada sebelum agama. Agama lahir untuk menyempurnakan budaya.

Nabi Muhammad Rasulullah diutus Tuhan menyampaikan risalah Islam ketika budaya Arab sedang mengalami kegelapan (jaman Jahililiyah).

Sebagai penggagas, pendiri dan pembina Dompet Dhuafa (DD), sebuah lembaga filantropi Islam yang berkhidmat untuk pemberdayaan kaum miskin dengan pendekatan budaya, berdasar pengalaman saya berkesimpulan, seniman tradisional perlu diberdayakan dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, budaya (nilai-nilai luhur) dan iman dan takwa.

Rujukannya adalah ajaran kyai kampung dulu, mengutip hadis, sabda Muhammad Rasulullah: "Kefakiran (kemiskinan) mudah membawa orang kepada kekufuran (kekafiran)".

Tiba-tiba ketika sedang asyik menulis ini muncul kesadaran yang mengingatkan saya: "Hush, berhenti, ini bulan Ramadhan, kendalikan pikiran dan tulisanmu. Jangan menyulut polemik!" Astagfirullah, ampuni saya ya Allah. Wallhu a'lam. Mohon maaf lahir batin.

    
*) Penulis adalah pendiri Yayasan Dompet Dhuafa, wartawan senior, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

Pewarta: Parni Hadi

Editor : Riza Mulyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017