Kekhawatiran elite politik yang berlatar belakang bidang kemiliteran atas fenomena maraknya kelompok-kelompok ekstrem dalam masyarakat memunculkan gagasan untuk menelurkan proyek bela negara di kalangan siswa dan mahasiswa.

Setelah mewacanakan pentingnya memasukkan pelatihan bela negara dalam kurikulum pendidikan, kini tampak mulai terwujudlah gagasan memberikan pelatihan bela negara ke siswa dan mahasiswa.

Kepada wartawan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan institusi yang dipimpinnya sudah menjalin koordinasi dengan sejumlah lembaga pendidikan tinggi. Modul kegiatan sudah disebar ke sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air. Modul itu berisi kegiatan bela negara yang dalam penyelenggaraannya dilakukan selama delapan hari. Selama empat hari dilakukan dalam ruang kelas dan empat hari sisanya dilakukan di lapangan.

Kegiatan bela negara itu, oleh Ryamizard, dinilai lebih baik dibandingkan dengan sistem perpeloncoan di masa orientasi pengenalan kampus yang biasa dilakukan setelah penerimaan mahasiswa baru diresmikan.

Tampaknya konsep bela negara dimaknai sebagai nilai yang melibatkan aspek militeristik dengan menggabungkan indoktrinasi ideologis dan olah fisik. Bila konsep ini masuk di ranah pendidikan, dikhawatirkan justru kontraproduktif bagi penumbuhkembangan nilai-nilai yang bermuara pada daya kritik siswa dan mahasiswa.

Itu sebabnya kalangan pengamat pendidikan berpandangan bahwa bela negara yang sesungguhnya istilah lain dari semangat patriotisme akan dengan sendirinya meningkat ketika daya kritis anak muda cukup memadai.

Dengan demikian, di masa orientasi studi, yang dibutuhkan bukannya pemantapan ideologis dan penempaan fisik, tapi diskusi-diskusi kritis dengan narasumber-narasumber yang kritis pula.

Apa yang dilakukan sekolah-sekolah favorit di Jakarta seperti Lab School tampaknya pantas jadi program nasional dalam mengisi masa orientasi studi setiap tahun ajaran baru. Di acara-acara orientasi studi pengenalan lingkungan sekolah, kegiatan yang diselenggarakan antara lain memberikan pelatihan jurnalistik, diskusi-diskusi dengan tema-tema yang berkaitan dengan kiat sukses dalam studi.

Program bela negara di perguruan tinggi konon untuk meredam penyebaran ideologi ekstrem. Sepintas, logika bahwa penyebaran ideologi ekstrem bisa diredam dengan program bela negara bisa berterima. Namun, jika ditelaah lebih jauh, efektivitasnya bisa dipertanyakan.

Untuk mencapai efektivitas dalam meredam ekstremisme, ada yang harus dijawab sebelum menawarkan program solusinya. Mengapa individu termakan oleh ideologi ekstrem, yang memandang bahwa perbedaan adalah haram adanya? Mengapa mereka meyakini bahwa kebenaran hanya ada pada sang pemilik ideologi ektrem itu?

Jawab atas pertanyaan itu sebetulnya sudah tersedia dalam rekaman peristiwa historis. Pertama, kondisi ekonomi yang sulit membuat individu termakan oleh ide-ide tentang ratu adil. Kedua, masuknya ide-ide ekstrem ke dalam benak individu yang belum pernah bersentuhan dengan nilai-nilai yang mengagungkan perbedaan dan keterbukaan.

Itu sebabnya, ketika di lembaga pendidikan, baik jenjang menengah maupun tinggi, sudah dihuni sejumlah siswa atau mahasiswa yang telah termakan oleh ide-ide ekstrem, solusi yang ditawarkan bukannya mencekoki mereka dengan ideologi tandingan yang konfrontatif, namun memberi kesempatan mereka untuk berinteraksi dalam diskusi-diskusi kritis.

Menyelenggarakan diskusi kritis agaknya tak akan memberikan hasil yang dikehendaki jika dilakukan oleh para instruktur yang berlatar belakang pendidikan kemiliteran, yang cenderung mengandalkan kedisplinan dan keseragaman.

Barangkali kalangan aktivis yang bergerak di isu-isu dialog antariman lebih pas untuk dijadikan narasumber dalam diskusi untuk meredakan semangat ekstremisme di kalangan siswa dan mahasiswa.

Masuknya para pejabat di lingkungan Kementerian Pertahanan untuk memberikan ceramah tentang bela negara di lembaga pendidikan, khususnya di hadapan siswa atau mahasiswa baru juga kurang menarik bagi siswa dan mahasiswa, generasi milenial yang sedikit-sedikit menghendaki unsur hiburan, keceriaan dalam aktivitas yang mereka geluti.

Mendatangkan komedian Indro Warkop di sekolah atau kampus  untuk berbicara tentang etos kreativitas hidupnya seghingga menjadi pelawak terkemuka dan bertahan menghadapi pesaing komedian muda lebih merangsang daya minat siswa dan mahasiswa.

Waktu delapan hari yang dibutuhkan untuk melakukan pelatihan bela negara akan menjadi cukup jika diisi dengan empat hari diskusi dengan kalangan selebritas berprestasi seperti sutradara Riri Riza, Garin Nugroho, produser terkemuka Mira Lesmana, aktivis lingkungan Nadine Candrawinata.

Untuk kalangan mahasiswa, masa orientasi studi akan lebih bermakna jika diisi dengan mengundang narasumber yang berprestasi di bidang sesuai dengan program studi yang akan digeluti mahasiswa. Tentu kendala terbesar adalah dana yang harus disediakan untuk mengundang tokoh-tokoh terkemuka itu.

Solusi untuk mengatasi kendala itu bisa dilakukan dengan cara kekeluargaan. Misalnya, mahasiswa baru yang mempunyai anggota keluarga atau kerabat yang kebetulan menjadi tokoh atau selebritas bisa menyumbangkan tenaganya untuk mengisi aktivitas semasa orientasi studi itu.

Menghadirkan orang sukses dalam kegiatan masa orientasi studi selalu memberikan inspirasi bagi mahasiswa. Saat ini, jumlah selebritas di Tanah Air cukup melimpah, baik yang masih aktif laris manis maupun yang sudah lebih banyak menganggur di rumah.

Namun, aspek yang tak kalah pentingnya, dalam mewujudkan ide menghadirkan selebritas di masa orientasi studi itu, adalah kesediaan sang selebritas untuk tidak terlalu komersial dalam memenuhi undangan berbicara atau berbagai pengalaman meraih sukses dalam berkarier.

Pewarta: M Sunyoto

Editor : Rustam Effendi


COPYRIGHT © ANTARA News Bangka Belitung 2017